West Side Story (1961) - Review
Sobekan tiket bioskop tertanggal 27 Februari 2011 edisi Glasgow Film Festival adalah West Side Story. Bahagianya gue ketika mengetahui bahwa dalam rangka 50 tahun perayaan rilisnya film ini, Glasgow Film Festival dengan baik mau mengangkat film klasik ini ke layar lebar. Gue memang baru nonton film ini satu kali, itu pun beberapa tahun lalu dan semenjak itu film ini langsung masuk dalam jajaran Top 5 All Time Favourite gue. Semenjak itu, gue selalu menunggu momen dan mood yang tepat untuk menontonnya lagi. Tapi siapa sangka kalau gue akan rewatch film ini di layar lebar! Belum lagi sobekan tiket film ini akan menjadi salah satu sobekan tiket yang paling berharga dalam koleksi gue. Ahey!
Cerita yang diadaptasi secara bebas dari kisah tragedi romantis klasik karya Shakespeare, Romeo and Juliet. Dalam film ini, kedua kubu yang bertikai adalah geng anak muda antara Jets, geng anak-anak kulit putih yang dipimpin oleh Riff, dengan Sharks, geng anak-anak imigran asal Puerto Rico yang dipimpin oleh Bernardo. Pertikaian dan perebutan wilayah di antara mereka pun semakin meningkat dan tidak terkontrol lagi. Namun sahabat baik dari Riff, Tony, bertemu dengan Maria di sebuah pesta dansa dan mereka berdua pun saling jatuh cinta. Tidak ada yang bisa menghentikan mengembangnya perasaan di antara mereka berdua, termasuk kenyataan bahwa ternyata Maria adalah adik kandung dari Bernardo.
Tony dan Maria pun harus sembunyi-sembunyi untuk sekedar bertemu dan melepas rindu. Lalu Sharks dan Jets akan mengadakan duel, Maria yang mendengar hal ini pun meminta Tony untuk menghentikan kekerasan dan duel tersebut. Tony yang muncul di tengah-tengah duel yang sedang berlangsung malah membuat keadaan menjadi tambah kacau. Ditambah dengan serentetan kejadian yang malah membuat jarak antara Tony dan Maria menjadi semakin jauh.
Cerita yang diadaptasi secara bebas dari kisah tragedi romantis klasik karya Shakespeare, Romeo and Juliet. Dalam film ini, kedua kubu yang bertikai adalah geng anak muda antara Jets, geng anak-anak kulit putih yang dipimpin oleh Riff, dengan Sharks, geng anak-anak imigran asal Puerto Rico yang dipimpin oleh Bernardo. Pertikaian dan perebutan wilayah di antara mereka pun semakin meningkat dan tidak terkontrol lagi. Namun sahabat baik dari Riff, Tony, bertemu dengan Maria di sebuah pesta dansa dan mereka berdua pun saling jatuh cinta. Tidak ada yang bisa menghentikan mengembangnya perasaan di antara mereka berdua, termasuk kenyataan bahwa ternyata Maria adalah adik kandung dari Bernardo.
Tony dan Maria pun harus sembunyi-sembunyi untuk sekedar bertemu dan melepas rindu. Lalu Sharks dan Jets akan mengadakan duel, Maria yang mendengar hal ini pun meminta Tony untuk menghentikan kekerasan dan duel tersebut. Tony yang muncul di tengah-tengah duel yang sedang berlangsung malah membuat keadaan menjadi tambah kacau. Ditambah dengan serentetan kejadian yang malah membuat jarak antara Tony dan Maria menjadi semakin jauh.
Diadaptasi dari drama panggung, duet sutradara Jerome Robbins dan Robert Wise tampak cukup setia untuk mengangkat gaya tutur cerita - sampai pada koreografi - ke dalam film ini. Jerome Robbins yang menulis dan menyutradari versi drama panggungnya, kebagian tugas untuk mengarahkan setiap musikal dan koreografi (karena memang beliau adalah seorang koreografer) dalam film ini. Sementara Robert Wise bertugas untuk mengarahkan segi drama dan tetek bengek lainnya. Jerome Robbins yang rada perfeksionis pun seringkali mengambil adegan musikal sampai beberapa kali take, namun terlihat bagaimana mengagumkannya hasil akhir pada film ini.
Walaupun gue sudah pernah nonton sebelumnya, namun gue masih dibuat berdecak kagum untuk setiap koreografi yang ada. Yup, salah satu daya tarik utama dalam film ini adalah memang pada koreografinya yang unik dan menawan. Gue rasa ini yang membuat film ini menjadi berbeda dari film-film musikal lainnya. Sementara Robert Wise membangun atmosfir film ini dengan sangat baik, tutur cerita yang ramah dan sopan; dari perkenalan para karakter, pertemuan Tony dengan Maria, sampai pada konflik yang dijaga tensinya sampai pada adegan klimaks yang bikin nelen ludah dan ngelap mata.
Entah kenapa setiap adegan berkelahi antar geng dalam film ini mengingatkan gue akan NEDS. Tapi tentunya adegan perkelahian dalam film ini dibawakan dengan gaya teatrikal dengan koreografi yang menarik dan meyakinkan. Gue masih terkagum-kagum dengan para pemeran dalam film ini yang kebanyakan dibawakan oleh anak-anak muda. Natalie Wood dan Richard Beymer yang memerankan Romeo dan Juliet versi Amerika ini saja baru berumur 23 tahun pada saat itu (Ya Tuhan, Natalie Wood cantik sekali di film ini). Tidak hanya akting yang cukup natural, tapi suara mereka dalam bernyanyi dan gerakan mulus-lancar-kompak dalam setiap koreografi dansa yang ada.
Mari bicara tentang lagu-lagunya. Salah satu yang membuat gue sangat mencintai sebuah film musikal adalah ketika lebih dari setengah dari semua lagu yang tampil di dalam film mudah untuk diingat kembali atau ear-catchy. Gue masih ingat lama setelah gue menonton film ini pertama kalinya, gue mendengar lagu Someday di radio dan entah kenapa gue merasa kenal dengan melodinya bahkan gue ikut bernyanyi.
Bagi gue, film ini memenuhi kesemua syarat gue untuk menjadi film yang benar-benar bagus. Saking gue memujanya film ini, ini adalah tipe film yang menurut gue engga sembarangan bisa ditonton lagi seenaknya. Harus menunggu mood dan momen yang benar-benar tepat untuk menontonnya lagi. Karena gue ingin menjaga agar gue tidak terlalu sering merasakan perasaan positif yang gue dapat setelah gue selesai menonton film ini.
Entah kenapa setiap adegan berkelahi antar geng dalam film ini mengingatkan gue akan NEDS. Tapi tentunya adegan perkelahian dalam film ini dibawakan dengan gaya teatrikal dengan koreografi yang menarik dan meyakinkan. Gue masih terkagum-kagum dengan para pemeran dalam film ini yang kebanyakan dibawakan oleh anak-anak muda. Natalie Wood dan Richard Beymer yang memerankan Romeo dan Juliet versi Amerika ini saja baru berumur 23 tahun pada saat itu (Ya Tuhan, Natalie Wood cantik sekali di film ini). Tidak hanya akting yang cukup natural, tapi suara mereka dalam bernyanyi dan gerakan mulus-lancar-kompak dalam setiap koreografi dansa yang ada.
Mari bicara tentang lagu-lagunya. Salah satu yang membuat gue sangat mencintai sebuah film musikal adalah ketika lebih dari setengah dari semua lagu yang tampil di dalam film mudah untuk diingat kembali atau ear-catchy. Gue masih ingat lama setelah gue menonton film ini pertama kalinya, gue mendengar lagu Someday di radio dan entah kenapa gue merasa kenal dengan melodinya bahkan gue ikut bernyanyi.
Tapi waktu itu gue sama sekali engga ngeh bahwa lagu itu berasal dari film ini, yang baru gue sadari ketika kemarin gue nonton untuk kedua kalinya "lha, ini kan lagu yang waktu itu gue denger di radio!". Liriknya mungkin memang rada cheesy, tapi mungkin memang itulah kebiasaan anak muda 50 tahun lalu. Yang menarik adalah bagaimana lagu-lagu tersebut ditampilkan dalam bentuk orkestra, yang semakin menambah megah feeling dari setiap lagu.
Mungkin banyak sutradara dan penulis naskah yang tergoda untuk mengadaptasi kisah klasik Romeo dan Juliet dengan baju, latar, dan setting yang berbeda. Dari pertikaian antara dua kubu suporter sepak bola sampai pada para gnomeo penghuni taman yang bertetanggaan. Tapi rasanya engga berlebihan kalau gue bilang bahwa film ini adalah adaptasi bebas terbaik yang pernah gue tonton. Walaupun gue belum lahir di tahun rilisnya film ini, tapi gue yakin bahwa film ini ingin mengangkat isu permasalahan sosial yang ada pada saat itu.
Dengan memakai latar New York, sebuah kota besar yang menjadi daya tarik bagi para imigran. Perselisihan antara para imigran dengan para penduduk lokal ini memang bukan hal baru di negara maju. Permasalahan imigran yang datang ke kota-kota besar di negara Barat diangkat dengan baik oleh Biutiful.
Mungkin banyak sutradara dan penulis naskah yang tergoda untuk mengadaptasi kisah klasik Romeo dan Juliet dengan baju, latar, dan setting yang berbeda. Dari pertikaian antara dua kubu suporter sepak bola sampai pada para gnomeo penghuni taman yang bertetanggaan. Tapi rasanya engga berlebihan kalau gue bilang bahwa film ini adalah adaptasi bebas terbaik yang pernah gue tonton. Walaupun gue belum lahir di tahun rilisnya film ini, tapi gue yakin bahwa film ini ingin mengangkat isu permasalahan sosial yang ada pada saat itu.
Dengan memakai latar New York, sebuah kota besar yang menjadi daya tarik bagi para imigran. Perselisihan antara para imigran dengan para penduduk lokal ini memang bukan hal baru di negara maju. Permasalahan imigran yang datang ke kota-kota besar di negara Barat diangkat dengan baik oleh Biutiful.
Sementara permasalahan sosial yang menjangkit anak-anak muda lokal dengan latar belakang keluarga yang kacau, diangkat dengan cukup vulgar oleh NEDS. Nah pertikaian antara Jets dan Shark serta isu anak-anak Jets ini mungkin senada dengan isu-isu dalam Biutiful dan NEDS. Yang membuat gue geleng-geleng kepala adalah, ternyata isu yang sama telah ada sejak 50 tahun yang lalu (atau masih ada sampai 50 tahun kemudian).
Menariknya, isu-isu sosial tersebut tidak saja digambarkan dengan jalan cerita, tapi juga digambarkan dalam lirik lagu. Satu lagu yang menurut gue sangat menggambarkan isu permasalahan sosial anak-anak Jets terdapat dalam lirik dan bercandaan anak-anak Jets dalam lagu "Gee, Offiicer Krupke" (baca liriknya disini). Ada juga seru-seruan anak-anak Sharks tentang mengapa mereka tertarik untuk datang ke Amerika yang ditumpahkan dalam lagu "America" (baca liriknya disini).
Jujur gue baru sadar dan tercengang-cengang setelah memperhatikan benar-benar barisan lirik lagu itu di kali kedua gue menonton. Bukan saja setiap kata dan kalimatnya yang tajam dan blak-blakan, tapi mereka juga bisa membuat penampilan lagu ini menjadi bahan bercandaan yang satire. Untuk orang-orang Barat yang tersenyum atau menertawai saat anak-anak Jets bernyanyi dan bercandaan dalam lagu ini, menurut gue mereka seakan menertawai kondisi masyarakatnya sendiri.
Bagi gue, film ini memenuhi kesemua syarat gue untuk menjadi film yang benar-benar bagus. Saking gue memujanya film ini, ini adalah tipe film yang menurut gue engga sembarangan bisa ditonton lagi seenaknya. Harus menunggu mood dan momen yang benar-benar tepat untuk menontonnya lagi. Karena gue ingin menjaga agar gue tidak terlalu sering merasakan perasaan positif yang gue dapat setelah gue selesai menonton film ini.
Oya, film ini masuk dalam 11 nominasi Oscar di tahun 1961 dan memenangkan 10 piala Oscar diantaranya (daftarnya bisa dilihat disini). Film pertama pula yang piala Best Director diserahkan kepada dua sutradara sekaligus, dimana kali kedua kejadian seperti itu terjadi 46 tahun kemudian saat Joel & Ethan Coen berbagi piala Best Director untuk No Country for Old Men (2007).
Rating?
10 dari 10
*BONUS: salah satu adegan favorit gue, ketika Tony dan Maria pertama kali bertemu. Kalau di Romeo + Juliet - nya Baz Luhrman, digambarkan dengan indah lewat lagu Kissing You-nya Desree, di film ini digambarkan dengan rada norak dan cheesy tapi somehow sangat menggambarkan kira-kira apa yang Tony dan Maria rasakan (dan lihat) ketika saling melihat satu sama lain. Setelah itu, mereka yang dansa dengan koreografi yang imut dan menarik.
Rating?
10 dari 10
*BONUS: salah satu adegan favorit gue, ketika Tony dan Maria pertama kali bertemu. Kalau di Romeo + Juliet - nya Baz Luhrman, digambarkan dengan indah lewat lagu Kissing You-nya Desree, di film ini digambarkan dengan rada norak dan cheesy tapi somehow sangat menggambarkan kira-kira apa yang Tony dan Maria rasakan (dan lihat) ketika saling melihat satu sama lain. Setelah itu, mereka yang dansa dengan koreografi yang imut dan menarik.
Ah! Review anda indah sekali. Jadi kangen pengen nonton lagi. Gue inget banget, gue merinding tiap kali nonton adegan tangga itu (lagu: Tonight)^^
BalasHapuskalo mau liat full movienya dimana sii?
BalasHapus@fyrsta: adegan itu memang sweet banget ya :D
BalasHapus@anonymous: saya sih nonton di bioskop. coba cari saja DVDnya.