Postingan

Menampilkan postingan dari 2021

Sobekan Tiket Terbaik 2021

Gambar
Tahun ke-15 gue mengumpulkan film-film terbaik yang gue tonton selama tahun kalender 2021. Lagi-lagi di tahun ini, setengahnya film yang gue tonton di platform OTT macam Netflix, Disney+, dan Catchplay. Bioskop memang sudah buka dan berangsur kembali normal. Tapi platform tersebut juga menawarkan film-film berkualitas yang rilis eksklusif jadi ya mau nggak mau. Tahun ini daftar 10 film terbaik ini cukup bervariasi mulai dari dokumenter, musikal, dan romansa. Gue turut berbangga karena rasanya untuk pertama kali bukan satu tapi dua film Indonesia yang masuk daftar tahunan ini. Ya memang, tahun 2021 jadi tahun yang spesial untuk perfilman nasional karena banyak judul yang tembus beragam festival internasional. Urutan di daftar ini gue buat secara subjektif tergantung minat dan kesenangan gue pribadi. Kalau ada yang nggak setuju atau ada film favorit kalian yang nggak ada di daftar ini, silakan komen di bawah!

Spider-Man: No Way Home - No Spoilers Review!

Gambar
Jadi Spider-Man ada berapa? Ada Tobey Maguire dan Andrew Garfield gak? Untuk pertanyaan-pertanyaan macam ini nggak bisa gue jawab di tulisan ini ya, karena gue mau ulasan gue bisa dibaca oleh semua orang mulai dari yang belum sampai yang sudah nonton. Nah buat yang penasaran banget, gue cuma bisa bilang berekpektasilah setinggi mungkin karena seperti rindu dan dendam - semuanya akan terbayar tuntas! Sebagai orang yang ngikutin Spider-Man dari jaman Tobey Maguire sampai Tom Holland, gue sih takjub banget sama No Way Home ini. Fix jadi film Spider-Man terbaik dari semua sih karena beneran jadi full circle yang sempurna dan emosional. Terutama untuk trilogi "Home"-nya Tom Holland, ini jadi penutup trilogi yang sangat-sangat baik. Gue juga berani bilang kalau No Way Home ini adalah " Endgame level "! Untuk tahun 2021, jelas No Way Home jadi film superhero terbaik menurut gue. Jangan khawatir, kata produser Amy Pascal kerja sama dengan Disney dan MCU masih akan berjalan

House of Gucci - Review

Gambar
Diadaptasi dari buku karangan Sara Gay Forden berjudul A Sensational Story of Murder, Madness, Glamour, and Greed, sutradara Ridley Scott membawakan kisah glamor dan tragis dari keruntuhan dinasti keluarga Gucci. Gue yang nggak tahu apa-apa soal Gucci selain itu adalah brand mewah produk fashion dari kulit, cukup bisa ngikutin cerita ini tanpa roaming. Malah sering berdecak kagum sama kelakuan ajaib masing-masing anggota keluarga Gucci ini. Berdurasi dua setengah jam bercerita tentang biografi orang-orang dibalik merek Gucci, film ini nggak terasa terlalu lama ya. Untungnya Ridley Scott membawakan film ini dengan ringan dan menyenangkan, bahkan cenderung kocak yang sesekali berhasil bikin gue ngakak. Scott memang tahu tipikal film biografi ini bisa dengan mudah jatuh ke area membosankan, makanya penting untuk menyelipkan humor di sana-sini untuk meringankan suasana. Selain itu hal yang gue sangat suka adalah jelas di ensemble parade akting. Lady Gaga bener-bener ngebuktiin bahwa dia ad

West Side Story (2021) - Review

Gambar
Gak suka. Dua setengah jam kayak dragging gitu penuh dengan dialog-dialog yang nggak perlu. Musical sequence-nya sih lumayan dengan koreografi yang ciamik - karena memang koreo ini yang jadi daya tarik utama musikal West Side Story. Tapi salah gue memang yang selalu membandingkan dengan versi 1961, karena memang kalah jauh secara hati dan rasa. Adegan meet cute Tony dan Maria aja jauuuh banget lebih bagus di versi 1961, apalagi endingnya aduhhh. Tonton aja deh West Side Story versi 1961 ada di Apple TV+ rental 25rb, baca ulasannya di sini . Baca juga pengalaman gue nonton West Side Story versi 1961 di bioskop . - sobekan tiket bioskop tanggal 8 Desember 2021 - ---------------------------------------------------------- review film west side story steven spielberg review west side story steven spielberg west side story steven spielberg movie review west side story steven spielberg film review resensi film west side story steven spielberg resensi west side story steven spie

Yuni - Review

Gambar
Yuni adalah potret sosial kompleks yang apa adanya dan vulgar tentang perempuan pada umumnya, dan perempuan yang hidup di ekonomi menengah ke bawah di rural Indonesia pada khususnya. Dengan dialog 100% menggunakan bahasa Jawa Serang, penonton dibawa untuk menyelami kehidupan Yuni di kota kecilnya. Keseharian Yuni yang sangat sederhana dari obrolan tentang seks di padang rumput sampai dengan ayah yang suportif saat sedang potong kuku di malam hari. Lengkap dengan komunitas kecil, warga lokal yang penuh gosip, sampai tetek bengek politik yang efeknya sangat terasa bagi mereka. Film ini memang tipikal menceritakan keseharian karakter utamanya yang setiap gerak-geriknya yang tak luput dari sebab-akibat pandangan sosial dan politik yang berlaku pada saat itu. Mulai dari perempuan mau jadi apa kalau tidak menikah sampai dengan wacana tes keperawanan dari pemerintah.  Hal yang gue sangat suka dari film Yuni adalah bagaimana kamera selalu fokus pada Yuni sepanjang film, dan perlahan menyamarka

Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas - Review

Gambar
Bajingan! Memang bajingan film ini, bajingan vulgarnya, bajingan juga bagusnya! Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas benar-benar jadi standar baru perfilman Indonesia di segala segi. Sangat well-made dan terasa bahwa film ini dibuat dengan hati. Sebuah kapsul waktu dan pengingat miris tentang kondisi sosio-politik yang memengaruhi rakyat kecil bahwa kekerasan dan maskulinitas adalah token yang berlaku di jalanan. Pertama-tama, film ini memberikan hiburan mata yang maksimal. Dunia tahun 1989-1990an sangat terpercaya berkat kombinasi brilian dari gambar hasil dari kamera seluloid, desain latar yang detil, kostum retro, sampai bahasa tubuh dan dialog para pemainnya. Nggak sulit untuk menyelami world building yang digambarkan Edwin x Eka Kurniawan dalam film ini, dan jadi pintu masuk yang nyaman untuk turut menyelami setiap karakter dan ceritanya. Dengan menggandeng penulis bukunya sendiri untuk turut menggarap naskah, rasanya aman bahwa alihwahana dari buku berjudul sama ke film a

Ghostbusters: Afterlife - Review

Gambar
Ghostbusters: Afterlife ini adalah sekuel langsung dari Ghostbusters (1984) dan Ghostbusters II (1989). Jadi lupakan Ghostbusters versi gender-swapped tahun 2016 karena itu termasuk proyek gagal dan nggak dilanjutin lagi. Nah menurut gue, Afterlife ini cukup sukses untuk membangkitkan kembali franchise Ghostbusters yang udah terpendam lama di library-nya Sony. Benar-benar belajar dari kesalahan versi 2016, bahwa franchise ini tujuannya untuk fans service dan bukan reboot ulang. Jadi bisa dibilang Ghostbusters: Afterlife adalah film yang maksimal di fans service seakan-akan seluruh durasi 124 menit ini hanya untuk fans aja gitu. Tapi nggak juga sih, buat yang nggak nonton dwilogi Ghostbusters tahun 80-an menurut gue akan bisa menikmati film ini dengan baik tanpa roaming. Sepanjang film penonton memang diperlakukan sebagai orang-orang yang nggak tahu sebelumnya siapa itu tim Ghostbusters, sampai harus diperkenalkan lewat iklan jadul "who's you're gonna call" utnuk t

Encanto - Review

Gambar
Gue nggak siap-siap tisu pula, mana expect sih kalau ternyata Encanto punya ending yang bikin banjir air mata. Parah! Terlihat dari trailernya, Encanto ini emang film animasi yang punya tema keluarga yang sangat kuat. Secara khusus keluarga multigenerasi di Kolombia yang - sama seperti di Indonesia - punya konsep nuclear family di mana keluarga tiga generasi tinggal di dalam satu rumah yang sama. Ada nama Lin-Manuel Miranda sebagai pencipta lagu-lagu yang ada di film ini, tapi kali ini nggak sebagai penulis naskah dan sutradara. Jadi lagu-lagunya sangat khas dengan melodi yang menghentak dan lirik yang to the point tapi kena banget. Selain hiburan telinga, Encanto juga hiburan mata yang maksimal. Di sini keliatan banget sih Disney lagi pamer habis-habisan teknologi animasi terbaru mereka. Detil rambut keriting sampai dengan jahitan benang di bordiran baju bisa keliatan dengan jelas! Hal yang gue suka banget dari Encanto adalah nggak ada keluarga yang sempurna, hal yang gue rasa sanga

Tick Tick Boom - Netflix Review

Gambar
Tick Tick Boom adalah film adaptasi dari teater musikal Broadway berjudul sama, yang ditulis dan disutradarai oleh Jonathan Larsson. Kisahnya sendiri sangat unik buat jadi teater musikal dan film adaptasi; semi-biografi tentang bagaimana Jonathan Larson mencoba menulis dan menyutradarai musikal pertamanya sebelum dia berusia 30 tahun. Bintang utamanya jelas Andrew Garfield, yang menurut gue ini adalah penampilan terbaik dia. Bukan cuma ngebawain semua nyanyian lengkap dengan koreografinya, tapi bisa ngasih emotion range yang luar biasa meyakinkan. Ya setiap kali dia nyanyi sih gue lumayan syok ya karena suaranya bagus bener. Eh tapi kok Vanessa Hudgens cuma dapet porsi segitu doang ya, makin ke sini kok karir filmnya makin kecil porsinya.  Siapa lagi orang yang paling cocok untuk menyutradarai film adaptasi dari musikal Broadway kalau bukan sang maestro Lin Manuel Miranda. Tapi ya tugas dia kali ini hanya untuk sebatas menyutradarai dan mengalihwahanakan saja, bukan menulis naskah bah

Losmen Bu Broto - Review

Gambar
Gue suka banget sama Losmen Bu Broto! Ciamik mantap di berbagai segi. Akibatnya signifikan banget ngaduk-aduk emosi gue sepanjang film. Beneran usaha banget buat nahan air mata, apalagi sampai akhir film yang langsung berasa hangat di dada. Losmen Bu Broto ini menurut gue adalah film keluarga yang kalau ditonton langsung berada ada di rumah dengan segala kehangatan, lengkap dengan hal-hal yang emosional. Pertama-tama skripnya solid banget. Nggak salah deh ngasih update dan adaptasi film panjang dari serial TVRI tahun 1980-an ini. Naskah karya Alim Sudio ini benar-benar bisa membawakan semua permasalahan setiap karakter dengan sama rata dan tidak ada menonjol. Karakternya banyak padahal tapi kita bisa kenal dekat dengan setiap karakter mulai dari Bu Broto dan Pak Broto sampai ke tiga anaknya Pur, Sri, dan Tarjo. Okelah mungkin Tarjo yang agak tenggelam dan sia-sialah talenta Baskara Mahendra. Tapi drama masing-masing Pur dan Sri jelas jadi nyawa paling menyala, dan membawa film ini ke r

Venom: Let There Be Carnage - Review

Gambar
Gue sebenernya nggak terlalu cocok dan suka dengan Venom yang pertama . Tapi ya karena Carnage baru hadir di sekuel yang kedua ini - diperankan pula oleh Woody Harrelson - gue pun tertarik. Apalagi yang namanya film superhero di mana Sony sedang mempersiapkan universe baru, jadi rasanya sayang ya untuk melewatkan yang satu ini. Harus gue akui, yang kedua ini jauh lebih baik daripada yang pertama. Semua kesalahan minor dan klise yang ada di film pertama praktis nihil. Jalan cerita bergerak logis dan masuk akal jadi cukup meyakinkan untuk menikmati cerita yang ada. Elemen leluconnya juga masih sama besarnya dan gue cukup ngakak di momen Mrs. Chen. Tapi ya gitu, kok menurut gue datar aja ya. Franchise Venom ini mungkin karena masih premature, jadi belum bisa menandingi kualitas yang sudah diberikan oleh Marvel dan DC. Mungkin karena gaya bercerita yang sedikit terburu-buru supaya bisa cepat sampai ke adegan klimaks. Atau menurut gue karena banyak adegan komedi yang off dan nggak berhasil

Paranoia - Review

Gambar
Sebagai fans Riri Riza dan Mira Lesmana dan selalu suka dengan (hampir) semua karyanya, gue cukup kecewa dengan yang satu ini. Oke ini adalah (percobaan) film thriller pertama karya mereka, tapi jadi terkesan sebagai film aji mumpung harus-produktif-di-saat-pandemi dengan budget rendah. Ceritanya memang kompleks tapi kok nanggung, eksekusi thriller yang sama sekali nggak menegangkan, satu-satunya yang menyelamatkan film ini hanyalah akting Nirina Zubir. Nirina Zubir jelas bersinar terang dengan naskah seperti ini, jauh di atas Lukman Sardi yang hanya menjadi Lukman Sardi tapi agak over-the-top dan Nicsap yang hanya menjadi Nicsap. Sementara yang paling ganggu sih menurut gue Caitlin North-Lewis ya. Keliatan banget aksennya udah usaha dilatih senormal dan se-Indonesia mungkin, tapi masih ada beberapa kata yang kepeleset. Jadi setiap kali dia ngomong, gue malah udah siap-siap takut dia kepleset lidah. Udah gitu jualan belahan banget sih buset entah apa fungsinya, ya masa cuma jadi peman

Eternals - Review

Gambar
Setelah drama tarik ulur sensor-sensoran minggu lalu, akhirnya Disney ngalah juga. Nggak cuma satu tapi total tiga adegan bibir ketemu bibir yang dipotong demi memuaskan hasrat LSF. Kocak sih ini kaya mau main aman banget tapi ya udah lah yang penting kita penonton udah bahagia bisa nonton Eternals di layar lebar. Yes banyak adegan yang disyut dengan kamera IMAX meski nggak 100% jadi asyik banget sih ditonton di IMAX. Untuk filmnya sendiri, kok gue ngerasa Chloe Zhao kena big budget syndrome ya. Biasa megang film no to low budget , sekalinya dikasih budget fantastis kok jadi gitu. Sebenernya menurut gue permasalahan utama ada di storytelling , di mana Eternals ini nyeritain SEMBILAN karakter utama pahlawan super yang semuanya baru buat penonton (setidaknya yang nggak baca komiknya).  Gue paham sih idealismenya untuk menceritakan sembilan-sembilannya sama rata tanpa salah satu yang menonjol - dan ini berhasil. Tapi sayangnya jadi nggak efektif karena dicampur aduk dengan misi dan adega

Last Night in Soho - Review

Gambar
Sebagai fans garis keras terhadap sutradara dan penulis naskah Edgar Wright, gue selalu suka setiap karyanya mulai dari Shaun of the Dead (2004) sampai yang terakhir Baby Driver (2017). Menurut gue, Edgar Wright adalah salah satu sutradara yang selalu ciamik dalam membuat komedi visual dan mencampurnya dengan alunan lagu-lagu yang stylish . Karya terbarunya di Last Night in Soho menurut gue jadi pencapaian terbaik dia, sekaligus nunjukkin evolusi yang sempurna dari filmmaker berbakat! Jelas ini adalah karya horor pertama dari Edgar Wright, ya Shaun of the Dead isinya zombie sih tapi kan lebih ke komedi. Udahlah horor meski baru berasanya di paruh kedua film, tapi seremnya beneran ngagetin karena sebegitu nyatanya. Bisa dibilang film ini nggak ngejual sebagai genre horor sih, lebih ke thriller atau crime. Tapi malah ini yang jadi pengalaman menonton yang asyik karena jadi ga bisa ngeduga apa yang akan terjadi selanjutnya. Cerita yang ditawarkan mungkin bukan hal yang baru, tapi cara

Story of Dinda: Second Chance of Happiness - Review

Gambar
Spin-off dari spin-off ini sebenernya kurang penting dan seakan biar imbang aja ada sisi cewenya juga. Teknisnya sih oke banget meski chemistry antara Aurelie dan Abimana agak kurang ya. Yang gue suka sih inti ceritanya yang bilang bahwa harusnya individu itu bahagia dan secure dulu sebelum ngejalanin hubungan. Tapi tema ini terkesan repetitif dan diulang-ulang, padahal durasinya cuma 1 jam loh. Gue cukup suka sih dengan gaya bercerita film ini, seakan dua orang yang lagi ngobrol dari hati ke hati di pinggir pantai pas matahari terbenam. Kasus Dinda dan Pram sangat mungkin terjadi meski dua-duanya salah juga sih ya sama-sama main api. Tapi ya mereka cuma butuh teman cerita yang bisa mendengarkan dengan baik, dan mereka saling menemukan itu. Lalu pas keduanya lagi di posisi yang sama-sama bisa saling rangkul. Ditambah bumbu rasa, jadi kompleks deh masalahnya. Dinda juga cukup peka untuk melabeli hubungan mereka berdua sebagai selingkuh, karena memang tepat.  Yang gue suka adalah gue lu

Free Guy - Review

Gambar
Ya ampun gue nggak expect Free Guy sebagus itu! Gue kira cuma film action biasa aja, ternyata Free Guy punya makna hidup yang sedalam itu. Hiburan audio visualnya memang maksimal banget, apalagi banyak referensi ke film dan game favorit semua orang. Tapi ternyata ceritanya juga punya hati dan emosi yang bisa bikin gue mikir lagi soal mundane life yang pastinya lebih bermakna ketimbang hidup pada NPC ( Non-Playable Characters ) di game. Filmnya benar-benar menyenangkan untuk ditonton. Selain kocak nggak ada obat apalagi komentar-komentar polos nyaris idiotnya Ryan Reynolds. Sayangnya gue bukan gamer, tapi rasanya film ini juga sangat menghibur bagi para gamer sih. Referensi gamenya banyak, apalagi game di Free Guy kaya referensi dari Grand Theft Auto plus cameo dari seleb Youtuber Gamer. Yang gue suka banget jelas ceritanya yang kepleset di ranah eksistensi yang lumayan filosofis. Tema hidup yang sebenarnya klasik banget dari jaman Pinnochio sampai The Truman Show, tapi tetap penting u

The Haunting of Hill House - Series Review

Gambar
Nonton ulang dalam rangka selesai nonton Midnight Mass (2021) yang kuat banget mengangkat tema apa yang terjadi setelah kematian. Ternyata itu juga jadi tema utama di The Haunting of Hill House (2018) yang melejitkan nama sutradara dan penulis naskah Mike Flanagan. Meski di Midnight Mass , apa yang terjadi setelah kematian dikasih twist  yang gila, tapi di Hill House ini masih di ranah yang "mainstream"; ya jadi hantu tapi selamanya tinggal di rumah Hill. Ada beberapa hal yang gue baru sadar di kali kedua gue nonton ini, mulai dari detil kecil yang patung di rumahnya bisa nengok sampai ke beberapa monolog Poppy Hill yang ternyata nyeritain beberapa hantu yang ada di rumah itu. Oya monolog ini memang ciri khas Mike Flanagan ya, cara yang nggak biasa tapi ternyata efektif banget memperlambat tempo demi menciptakan atmosfer tegang sekaligus ganjil. Satu hal yang gue sangat suka dari Hill House adalah gimana Flanagan meromantisasi kehidupan setelah kematian bahwa ada loh beber

The Billion Dollar Code - Series Review

Gambar
Limited mini-series ini mendramatisasi kisah nyata perseteruan legal antara Terravision yang rilis tahun 1993 dan Google Earth yang punya algoritma yang sama dan baru rilis tahun 2004. The Billion Dollar Code bisa dibilang The Social Network versi Jerman, tapi dari sudut pandang yang berbeda. Hanya 4 episode dengan durasi kurang lebih 1 jam, seru dan menyenangkan banget sih nontonnya. Kaya kita sebagai penonton juga ikutan gemes ngeliat pertarungan klasik David vs Goliath kaya gini. Yang sebenernya inti permasalahannya sangat mirip dengan The Social Network, bahwa yang ditiru adalah ide dan pola tapi sistem legal intellectual property sayangnya belum bisa mengakui itu dengan sempurna. Akhirnya ngejiplak atau nggak kekmbali pada interpretasi banyak orang. Kisah mini-series ini diambil dari sudut pandang court-room drama, tapi 3 episode awal masih di persiapan dan baru benar-benar masuk di ruang pengadilan di episode 4. Sebuah langkah yang efektif karena jadi menambah tensi dan keseruan

The Medium - Review

Gambar
The Medium is creepy as fuck ! Ini kaya ngasih apa yang The Blair Witch Project (1999) ga bisa kasih di endingnya, tapi dinaikin bahkan lebih parah ketimbang endingnya Midsommar (2019)! Gue nggak expect juga horornya akan segrafis itu. Okelah masih gigit-gigit dan makan orang, tapi ini udah sampai ranah yang lain juga gila. Nggak kaleng-kalengan banget sih ini horornya, beneran weird, sick, and fucked up ! Tapi memang beginilah kalau dua master horor Asia bersatu; sutradara Banjong Pisanthanakun ( Alone, Shutter ) dari Thailand dan produser Na Hong Jin ( The Wailing ) dari Korea Selatan bekerja sama bikin horor paling bangsat tahun ini. Setengah film pertama memang perlu kesabaran ekstra karena banyak dialog dan minim horor, tapi jangan songong dulu karena itu semua akan berbalik 180' di klimaks yang bisa bikin gue tahan nafas dan mulut nganga sambil berujar what the fuck what the fuck what the fuck  berulang kali. Dari awal film, atmosfernya sudah dibuat seganjil mungkin. Horor

Dune - IMAX Review

Gambar
Dune versi sutradara Denis Villeneuve ini adalah adaptasi film kedua dari novel karya Frank Herbert tahun 1965, setelah yang pertama tahun 1984 oleh sutradara David Lynch gagal total. Konon memang sangat sulit mengadaptasi kisah Dune ini lantaran plot yang sangat kompleks. Bahkan Villeneuve sendiri memilih mengerjakan Arrival (2016) dan Blade Runner 2049 (2017) dulu untuk meningkatkan kemampuan dan pengalaman. Film adaptasi space opera sekompleks Dune memang sangat cocok berada di tangan dingin Villenueve dengan deretan ciri khasnya. Stylish, penuh visual yang cantik, scoring megah dari Hans Zimmer, dan gaya bercerita yang mudah untuk dimengerti menjadikan Dune sebagai tontonan sinematik yang sempurna. Menurut gue, adalah murtad menonton Dune di layar kecil seperti televisi atau bahkan telepon genggam. Banyak shot dan frame yang sebegitu indahnya layaknya lukisan yang terlihat megah di layar bioskop - bahkan IMAX. Gue udah nonton Dune versi David Lynch di Lionsgate Play dan sempet