Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2021

Is Love Enough? Sir - Review

Gambar
Oh my God film ini gemes pake banget! Gue nontonnya sih mesem-mesem terus dari awal sampai akhir! Sir itu udah lama ada di My List gue dan nunggu waktu yang tepat buat nonton karena kayaknya butuh mood yang bagus. Dari trailer keliatan kaya film arthouse gitu kan soalnya, tapi ternyata gue salah besar! Film ini ringan seringan-ringannya, light-hearted dan heart-warming . Film ini tuh kisah cinta beda kelas sosial, jadi kaya versi romansanya The White Tiger. Ratna datang dari desa untuk jadi ART di apartemennya Ashwin, arsitek sukses yang baru aja membatalkan pernikahannya karena tunangannya selingkuh. Sedangkan Ratna baru aja kehilangan suaminya karena meninggal, dan menjadi janda di usia 19 tahun di pedesaan India artinya hidupnya selesai. Tapi Ratna nggak mau nyerah makanya dia datang ke kota dengan maksud sambil belajar jahit demi jadi fashion designer. Sehari-hari diurusin Ratna, Ashwin malah jadi jatuh cinta. Tapi beda kelas sosial yang jomplang di antara mereka berdua membuat si

The Eight Hundred - Review

Gambar
The Eight Hundred adalah film terlaris nomor satu di dunia tahun 2020 dengan pendapatan 473 juta dollar US, dan menjadi film pertama non-Hollywood dan bukan berbahasa Inggris yang bertengger di puncak box office dunia. Apalagi kalau bukan karena pandemi Covid-19 yang membuat Hollywood menahan film-film andalan mereka, dan tutupnya banyak bioskop. Apalagi kebanyakan penonton film ini memang dari bioskop di China, dan hal yang lumrah mengingat ini adalah film sejarah yang heroik. The Eight Hundred disyut seluruhnya dengan kamera IMAX, jadi memang sebuah keharusan untuk menonton film ini di layar IMAX atau minimal layar bioskop. Sayangnya IMAX di Jakarta hanya dibuka hari Rabu, dan Kamis ini sudah ditutup jadi gue harus puas nonton di layar biasa. Dengan bisingnya deru peluru dan setiap ledakan, film ini memang wajib ditonton di bioskop. Melihat bagaimana banyak serdadu yang bahkan sudah berlindung saja masih terkena peluru, benar-benar seakan menyedot gue untuk merasakan sendiri betapa m

Rocketman - Review

Gambar
Film ini udah lama ada di wishlist HBO GO gue, dan baru tahun ini gue niatkan hari untuk tonton. Gue nggak nyangka sih ternyata bentuknya musical, dalam artian ada banyak lagu yang dinyanyikan oleh para karakternya dalam adegan sesuai dengan jalan cerita yang ada. Jadi ini bukan tipikal Bohemian Rhapsody yang lagu-lagunya hanya pada saat manggung atau konser saja. Hal yang langsung membuat pengalaman menonton gue ini jadi sangat menyenangkan! Gue cukup syok juga ternyata Elton John punya pengalaman hidup - bahkan dari kecil - yang traumatis dan sangat tidak menyenangkan. Gue nggak ngikutin beliau, dan baru ngefans di tahun 90-an aja. Jadi kebanyakan lagu yang ditampilkan di sini juga gue nggak ngerti kecuali 2-3 lagu aja. Gue nggak tahu deh ya seberapa akurat film ini menggambarkan kehidupan penyanyi dengan nama asli Reggie Dwight ini. Tapi kurang lebihnya sih cukup tragis dan traumatis, yang lagi-lagi bersumber dari pola asuh tidak sehat dari masing-masing ayah dan ibunya. Pada akhirn

The White Tiger - Netflix Review

Gambar
THE WHITE TIGER IS INDIA 'S PARASITE! Suka paka banget gue sama film ini, yang tadinya gue sama sekali nggak tahu ini film apaan. Trailernya nongol di carousel dan langsung gue masukkin My List. Tepat gue tonton malam-malam sebagai penutup hari, bisa bikin gue tidur dengan nyenyak. Gue kira ya The White Tiger itu tipikal film from-zero-to-hero biasa; orang miskin dari kasta rendah yang jadi sukses di kemudian hari kaya Slumdog Millionaire (2008) atau Lion (2016). Tapi ternyata gue salah, The White Tiger is so much more than that ! Siapa yang sangka ternyata tindak tanduk Balram si karakter utama ini berupa kritik pedas nan satir terhadap kelas sosial, agama, dan politik di India. Nggak cuma si kaya, tapi si miskin juga kena kritik tanpa ampun! Oke oke gue perlu santai dan tarik nafas biar gue bisa memuji film ini lebih detil. Pertama-tama gue suka banget paruh pertama film ini, isinya kocak dan hangat! Gue senyum-senyum, ngakak, sampai dada berasa hangat ngeliat gimana Balram bi

Affliction / Pulang - Review

Gambar
Duh mas Teddy. Gue tuh ngefans banget loh sama beliau, apalagi kalau bukan karena Lovely Man dan About A Woman. Buat gue, film-film yang dia tulis dan sutradarai itu selalu unik ditambah eksekusi yang ciamik pula. Tapi begitu nanganin film horor kok jadi gini hahahaha. Affliction / Pulang memang punya ide cerita yang oke, meski bukan hal yang segar atau yang belum pernah kita temui di ranah horor. Dari awal film gue udah dibuat nggak yakin dengan jalan ceritanya, lewat pilihan kata dalam dialog yang nggak natural - satu hal yang sebenarnya jadi ciri khas Teddy Soe dalam film-filmnya yang selalu senatural mungkin dialognya kaya di dunia nyata. Udah gitu lagi-lagi ada film horor yang nempelin karakter psikolog (anak) demi ada sisi sains yang nggak percaya dengan hal mistis. Udah gitu psikolognya batu, emosian, gak mau dengerin istrinya. Laaah gimana sihhh stereotipnya nggak konsisten deh. Iya ngerti profesi ini yang jadi kunci buat (twist) endingnya tapi ya please lah profesi psiko

Happy Old Year - Review

Gambar
Membuang barang yang udah nggak terpakai atau nggak "spark joy" emang gampang. Tapi apakah prinsip itu bisa berlaku buat manusia? Membuang orang yang udah nggak ngasih kebahagiaan, mulai dari anggota keluarga sampai mantan? Premis ini yang mau dieksplorasi oleh GDH di film Happy Old Year yang telat setahun rilis karena pandemi ini. GDH memang selalu nggak main-main kalau mainin tema drama atau keluarga, selalu dalem! Sebelum nonton gue udah tahu kalau Happy Old Year akan sedalem itu, tapi pas nonton tetap nggak nyangka bisa sedalam itu. Gue sebagai penganut gerakan minimalism aja sampai tertampar-tampar dengan jalan cerita yang ada. Setan emang. Jujur selama ini gue berpikir bahwa kalau pernah berhubungan dengan orang lalu nggak lagi, apa perlu jalin kontak dengan orang tersebut. Toh udah gak "spark joy". Happy Old Year nggak ngasih jawaban sama sekali untuk itu sih. Tapi cuma ngasih gambaran aja kaya gini jadinya kalo kontak lagi, dan kaya gini jadinya kalo ga kont

Sobat Ambyar - Review

Gambar
Sebagai alumni patah hati di mana bisa kuat nyapa mantan dan cowo barunya trus abis itu nangis kejer, gue bisa sangat relate dengan film Sobat Ambyar! Jatmiko memang baper parah, Saras juga lebih bangsat ketimbang Arini dan bahkan Summer. Tapi gue bisa berani bilang bahwa kebaperannya Jatmiko dan kebangsatannya Saras itu akurat. Iya memang banyak kok cowo-cowo super baper kaya gitu, dan pastinya adaaaa aja cewe-cewe yang nggak mau kehilangan fans dan nggak bisa jomblo di satu kota kaya Saras. Oya tolong jangan dirajam, tapi gue bukan pendengar lagu-lagunya alm. Didi Kempot. Gue cuma tahu bahwa alm. Didi Kempot adalah legenda campursari dengan lagu-lagu khas patah hati dan punya kelompok fans yang disebut sebagai Sobat Ambyar. Jadi gue nggak tahu deh tuh kalau ada lirik yang dijadikan dialog atau bahkan jalan cerita. Tapi buat gue sih ceritanya masih cukup meyakinkan dan lumayan akurat buat baper-baperan. Gue sih sangat menikmati paruh pertama film ini, ngakak banget! Padahal awalnya ek

Monster Hunter - Review

Gambar
It's not that bad! Dari berbagai review negatif yang gue baca, ternyata nonton film ini di bioskop nggak sejelek itu kok. Ya memang soal cerita perlu dikesampingkan karena Monster Hunter hanya menyajikan pertarungan antara manusia dengan monster-monster besar. Ya well sebenarnya ceritanya juga ga jelek-jelek amat sih, masih cukup meyakinkan dan enak ngikutinnya. Di segi visual sendiri cukup ciamik, rapi banget CGI-nya dan jadi enak banget ngeliatin detil monster yang keren. Apalagi detil dunia paralel yang ada, berasa kering dan menakutkannya ditonton di layar IMAX. Satu keluhan gue adalah editing yang nggak enak banget, potongannya kaya cincang kacang panjang alias cepet dan pendek-pendek banget jadi pusing. Trus Tony Jaa itu berasa banget ya kharismanya. Bener-bener nggak tenggelam walaupun satu layar berdua bareng bintang Hollywood Milla Jovovich. Meski sayang doi nggak dikasih dialog bahasa Inggris yang bener gitu tapi ya daripada dialognya jadi berlogat Thai ya makanya ngg

Mola Living Live - Review

Gambar
Mola TV turut menyemarakkan dunia perfilman dengan kehadirannya yang akhir-akhir ini mengembangkan sayapnya di luar pemegang hak siar resmi liga Inggris. Banyak film dan serial berkualitas telah diakusisi dan dapat ditonton secara eksklusif di Mola TV. Tidak hanya itu saja, kini Mola TV juga menghadirkan konten orisinil yang tidak kalah seru dan eksklusif; bincang-bincang dengan bintang Hollywood dalam Mola Living Live. Dipandu oleh Rayya Makarim dan pemeran atau kru film tenar Indonesia, setiap bulan mereka menghadirkan sineas Hollywood ternama. Mulai dari Luc Besson, Sharon Stone, Darren Aronofsky, Spike Lee, Robert de Niro, hingga yang terbaru Francis F. Coppola. Ini adalah diskusi interaktif secara langsung di mana penonton bisa langsung bertanya pada sineas Hollywood pujaannya. Cukup seru dan unik di era di mana jarak dan waktu tidak lagi menjadi halangan. Apalagi topik-topik yang dibawakan sangat seru dan menarik. Mulai dari berbicara soal perfilman dan balik layar, hingga obrola

Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba the Movie: Mugen Train - Review

Gambar
Oke gue bukan penonton anime dan pembaca manga, gue sama sekali nggak kenal apa itu dan siapa itu Demon Slayer. Jadi satu-satunya alasan gue untuk nonton film yang judulnya panjang bener ini adalah karena penasaran akan dua hal; film terlaris di Jepang sepanjang masa (ngalahin Spirited Away dan Titanic), dan review positif yang konsisten bermunculan. Bahkan nggak jarang gue denger banyak penonton (pria) yang nangis selepas nonton ini. Wow! Kalimat terakhir itu pun terbukti pas lampu studio menyala, gue nengok ke baris sebelah kiri ada cowo gondrong ngelap matanya pakai tissue. Wow wow wow! Sementara gue sendiri pun nggak mengeluarkan air mata, tapi memang cukup merasakan kesedihan yang ditampilkan di layar. Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba the Movie: Mugen Train memang sebuah film anime yang sangat - sangat - seru, dengan naskah dan jalan cerita yang sangat solid, adegan berantem yang oke banget, dan yang gue paling suka adalah scoringnya yang super ciamik! Sekarang gue bisa paham kenapa

Pieces of a Woman - Netflix Review

Gambar
Pertama-tama mari kita mengapresiasi betapa indahnya poster Pieces of a Woman ini. Ya selain karena Vanessa Kirby cakepnya kelewatan sampe ga bisa disuruh puter balik. Tapi kaya komposisinya enak aja gitu dan bener-bener ngegambarin judul dan isi filmnya. Kedua, film ini disutradarai oleh duet sutradara Kornél Mundruczó dan penulis naskah Kata Wéber asal Hungaria, yang sebelumnya sudah bekerja sama dalam Jupiter's Moon (2017) dan White God (2014). Film yang terakhir disebut, berhasil membawa Kornél Mundruczó memenangkan penghargaan Un Certain Regard di Cannes Film Festival. Jadi meski Pieces of a Woman menampilkan aktor-aktris terbaik Hollywood seperti Vanessa Kirby, Shia LeBouf, dan Ellen Burstyn, kita sama-sama tahu bahwa kurang lebih film ini akan memiliki nuansa khas Eropa yang kuat. Tiga puluh menit pertama, nggak main-main penonton langsung disuguhkan adegan persalinan yang sangat detil dan akurat dengan one take long shot . Maaf Sam Mendes dan Roger Deakins, tapi one tak

Josée - Review

Gambar
Pertama-tama, Josée itu tipikal film yang punya ending yang bangsat. Bangsat! Pilihan akhir jalan cerita yang sangat sengaja untuk memporak-porandakan hati setiap penonton yang lemah. Jelas terlihat bahwa fokus film ini hanya ingin menggambarkan interaksi romansa antara Yeong Suk dengan Josée, tanpa memerdulikan pilihan akhir jalan cerita yang membuat semua - literally semua orang mulai dari penonton sampai karakternya sendiri - bahagia. Josée bercerita tentang mahasiswa yang membantu seorang gadis lumpuh yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di atas kursi roda. Padal awalnya Yeong Suk terkesima dengan kegigihan dan keras hatinya Josée, sampai pada akhirnya jatuh cinta padanya. Sedangkan Josée yang sedari kecil jarang keluar rumah banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Saking seringnya baca buku, dia pun memilih beberapa cerita menarik di buku sebagai kenyataan aslinya, sebagai bentuk mekanisme bertahan hidup. Film romansa yang sebenarnya ceritanya banyak ditemukan di si

Rabun - Review

Gambar
Perjumpaan ketiga di hari ketiga dengan Yasmin Ahmad, dan gue harus menunggu entah berapa lama lagi sampai Netflix Indonesia memasukkan film-film beliau lainnya. Di antara Mukhsin dan Talentime, menurut gue Rabun / My Failing Eyesight (2002) sebagai film pertama beliau adalah yang paling sederhana dan to the point . Kisahnya hanya fokus pada pasangan suami istri saja, dengan sangat sedikit kisah sampingan orang-orang yang ada di sekitarnya. Rabun bercerita tentang pasangan suami istri yang sudah pensiun hendak meninggalkan rumahnya di kota besar dan mencoba tinggal di desa. Awalnya mereka mengira bisa tinggal dengan tenang di desa dan jauh dari kebisingan di kota. Tetapi kenyataannya kehidupan di desa "jaman sekarang" ternyata justru malah lebih kompetitif dan sulit secara sosial, terutama berhadapan dengan iri hati dan dengki tetangga. Ya ini adalah isu sosial yang hendak dibawa oleh Yasmin Ahmad, dan dieksplorasi dengan sangat baik lewat Rabun. Lagi-lagi pasangan suami istr

Talentime - Review

Gambar
Perjumpaan kedua gue dengan Yasmin Ahmad, rasanya gue langsung menempatkan Talentime (2009) sebagai film favorit gue dari beliau. Masih ada satu film lagi sih di netflix yang belum gue tonton, tapi rasanya sulit untuk menyaingi Talentime yang punya emosi yang lengkap. Mulai dari komedi yang super kocak dan bikin ngakak, drama yang menghangatkan hati, sampai tragedi yang bikin hati remuk berkeping-keping.  Talentime bercerita tentang kompetisi bakat yang diadakan oleh salah satu sekolah, dengan peserta dari sekolah-sekolah lain. Tapi kompetisi bakat ini hanyalah cara untuk menceritakan beberapa karakter yang saling bersinggungan di luar panggung. Kisah yang ada pun lebih kaya karena latar belakang yang sangat berbeda dari setiap karakter yang ada. Interaksi mereka pun menjadi semakin menarik karena ada isu ras hingga isu beda agama dalam konteks romansa. Ternyata, isu cinta beda agama (dan ras) nggak hanya di Indonesia guys! Satu hal yang gue sangat suka adalah adanya karakter bisu tuli

Mukhsin - Review

Gambar
Mukhsin (2006) adalah perjumpaan pertama gue dengan almarhumah sutradara dan penulis naskah kenamaan asal Malaysia, Yasmin Ahmad. Ini juga karena berbagai review positif yang berseliweran di linimasa twitter. Belum lagi algoritma Netflix selalu merekomendasikan film ini, meski awalnya gue nggak begitu tertarik karena cover art-nya yang terlihat sangat jadul. Tapi ya balik lagi, don't judge a film by its cover art .  Mukhsin adalah kisah cinta pertama antara anak laki-laki 12 tahun dan anak perempuan 10 tahun yang sangat unyu dan menggemaskan. Menonton Mukhsin menjadi pengalaman yang unik dan menyenangkan buat gue. Ini seperti melihat sekelumit kehidupan orang desa di Malaysia dengan apa adanya tanpa kejadian dramatis dan berlebihan satupun, tetapi dibungkus dengan gaya bercerita film Eropa. Minim scoring, banyak adegan panjang tanpa putus dengan dialog yang panjang, kamera pun statis yang seakan menempatkan penonton sebagai pengamat sekaligus ikut berinteraksi dengan karakter yang

Generasi 90an: Melankolia - Review

Gambar
Visinema please stop bikin konten jualan kesedihan! Ini kaya udah jadi formula kebanggaan mentang-mentang Keluarga Cemara dan NKCTHI sukses di pasaran ya. Kalau di Keluarga Cemara masih 50% kesedihan, NKCTHI makin banyak jadi 75%, dan nggak nyangka di Melankolia jadi 100% begini. Ayolaaah! Oke, bikin film tentang grief itu nggak harus melulu jualan kesedihan, air mata, emosi, dan depresi ya. Ada banyak cara cantik lainnya yang menjadikan medium film ini jadi ENAK untuk ditonton. Mulai dari Rabbit Hole, The Disappearance of Eleanor Rigby, A Monster Calls, sampai Collateral Beauty.  Kalau nggak, bisa ambil dari teori psikologi populer The Stages of Grieving-nya Kubler-Ross lalu bikin plot dari situ. Di mana teori tersebut juga sudah menggambarkan perjalanan psikologis seseorang dalam mengalami duka dari masuk hingga keluar, yang bisa banget jadi kisah film dan sudah banyak yang mengaplikasikannya juga. Gue paham sih ini pasti akan relate banget sama penonton yang pernah merasa kehilangan

Romulus - Series Review

Gambar
Pernah dengar tentang legenda kakak-beradik kembar yang dirawat dan diberikan air susu oleh serigala? Itu adalah legenda Romulus dan Remus, yang konon Romulus membunuh Remus demi tahta raja untuk kemudian membangun kota berdasarkan namanya; Roma. Sebuah kota besar dan abadi yang menjadi pemukiman manusia selama 3 abad lamanya. Kota legendaris ini akhirnya mendapat penghormatan tertinggi dengan divisualisasikan legenda kelahirannya dalam serial asal Italia yang dirilis tahun 2020. Alkisah tahun 8 BC hiduplah kakak-beradik kembar yang sebagai penerus tahta kerajaan hidupnya berubah seketika saat ayahnya diusir dari tanah kerajaan sebagai tumbal bencana kekeringan. Sementara sang paman merencanakan konspirasi demi merebut tahta. Di sisi hutan yang lain, sekelompok pria yang diasingkan selama enam bulan demi upacara inisiasi harus bertahan hidup dari ancaman Rumina, dewi jahat dan misterius yang tinggal di hutan. Situasi menjadi kompleks ketika sang putra mahkota harus melarikan diri dar

The First - Series Review

Gambar
Kesuksesan SpaceX sebagai pihak swasta pertama yang berhasil membawa roket ke luar angka - bahkan memangkas biaya operasional dengan menggunakan kembali roket pendorong - tampaknya menjadi inspirasi berbagai pihak. Apalagi niat ambisius pendiri SpaceX, Elon Musk, untuk mengirim manusia pertama ke Mars pada tahun 2027. Tampaknya ini yang kurang lebih menjadi inspirasi dibalik serial tv yang dibintangi oleh Sean Penn; The First. Serial The First bercerita tentang persiapan tim astronot dari perusahaan swasta Vista yang akan berangkat ke Mars untuk menjadi manusia pertama yang bepergian antar-planet. Menariknya, serial ini tidak hanya fokus pada para astronot saja, tetapi juga pada keluarga serta kru darat yang ada di bumi. Lebih detil lagi, serial ini banyak mengeksplorasi dan mengupas berbagai konflik dan dilematis yang terjadi jika ada lima orang yang pergi selama 3-5 tahun ke planet lain tanpa tahu apakah mereka bisa kembali dengan selamat. Bisa dibilang, ini adalah serial fiksi i