Fair Game
Sobekan tiket bioskop tertanggal 13 Maret 2011 adalah Fair Game. Terus terang, dari sinopsis dan trailer yang ditawarkan rasanya kurang menarik perhatian gue. Mungkin karena gue sudah terlalu kenyang dengan film-film mata-mata, apalagi yang memakai nama CIA dengan latar AS. Hanya duet cast-nya saja yang menggelitik rasa penasaran gue untuk akhirnya membeli tiket bioskop untuk film ini. Reuni antara Naomi Watts dengan Sean Penn setelah 21 Grams? Jelas sayang untuk dilewatkan.
Valerie Plame (Watts) adalah seorang agen CIA yang sedang dalam penyamaran untuk mencari bukti adanya WMD (Weapon of Mass Destruction) yang ada di Irak. Sementara suaminya, Joe Wilson, adalah mantan duta besar AS untuk Irak yang telah kembali dan tinggal di AS. Pasca-penyerangan 9/11 ketika pemerintahan Bush sedang membangun argumentasi untuk menyerang Irak dan menjatuhkan Saddam Hussein, Joe Wilson menerbitkan artikel di New York Times yang kontroversial. Dalam artikel tersebut, Joe Wilson menyatakan bahwa Bush dan pemerintahannya telah memanipulasi hasil data intelegen akan WMD sebagai justifikasi untuk menyerang Irak. Tentu saja Gedung Putih tidak tinggal diam dikritik dan dipertanyakan seperti itu, mereka pun membuka identitas Valerie Plame yang lalu membahayakan dirinya dan keluarganya. Jalan cerita pun berkembang dengan bagaimana pasangan Plame dan Wilson yang mati-matian berjuang untuk mempertahankan kebenaran, apapun itu arti dari kebenaran.
Datang dengan ekspektasi rendah dan siap menerima apa saja yang akan terjadi, ternyata malah membuat gue keluar bioskop dengan tersenyum puas. Cerita yang (ternyata) diadaptasi dari buku memoir "Fair Game: My Life as a Spy, My Betrayal by the White House" yang ditulis sendiri oleh Valerie Plame ini benar-benar tajam dan menggelitik. Nyata-nyatanya terjadi di tahun 2003 yang membuat gue cukup ngeri akan orang-orang yang berada di dalam Gedung Putih itu. Meminjam satu quote dalam film ini merujuk pada Gedung Putih; "those men are the most powerful people in the history".
Sebelum ini gue memang sudah pernah mendengar (isu) mengenai ragunya banyak orang akan keeksistensian WMDs di Irak, yang menjadi alasan AS untuk menginvasi negara penghasil minyak ini. Tapi baru kali ini gue tahu ada cerita, kisah nyata pula, tentang Valerie Plame dan suaminya vs Gedung Putih di tahun 2003 kemarin. Diceritakan secara kronologis dan cukup deskriptif, film ini cukup baik dalam menggambarkan dinamika jungkir-baliknya hidup Valeria Plame dan keluarga hanya dalam waktu 108 menit. Gue yakin cukup sulit untuk merangkum cerita seperti itu, tapi ternyata film ini mampu menjelaskan dengan baik dan tidak terlalu terburu-buru.
Doug Liman yang duduk di kursi sutradara pun memberikan sedikit bumbu-bumbu film yang pernah ia sutradari, The Bourne Identity dan Mr. and Mrs. Smith ke dalam film ini. Drama yang dibawakan dalam film ini pun sama sekali tidak membuat mata dan pikiran gue berpaling dari layar, malah gue dibuat selalu penasaran akan adegan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dibumbui dengan aroma thriller pun meningkatkan tensi dan keseruan tersendiri dalam menikmati film ini. Berbagai istilah politik yang digunakan dalam film ini di awal-awal memang sulit untuk dimengerti, namun lama-kelamaan menjadi cukup mudah untuk diikuti setelah memahami konteks dan gambaran besarnya.
Sulit rasanya untuk tidak memberikan komentar akan penampilan dari Watts dan Penn. Masing-masing dari mereka tampil dalam performa terbaik, seperti biasanya. Walaupun tidak banyak adegan percintaan layaknya suami-istri, chemistry diantara Watts dan Penn terlihat cukup kuat. Praktis tidak ada yang menonjol dari masing-masing penampilan mereka, dalam arti kehadiran salah satu dari mereka melengkapi yang satu lain. Watts seakan tidak tenggelam dan dapat mengimbangi nama besar seorang Sean Penn, terlihat dari bagaimana Watts memberikan kedalaman tersendiri dalam karakter Valerie Palmer. Gue sampai bisa merasakan bagaimana sulitnya seorang agen CIA yang dalam penyamaran, dibongkar identitasnya oleh negaranya sendiri, yang berbuntut pada keselamatan suami, anak-anak, dan dirinya sendiri. Penn juga sukses memancing empati penonton dengan bagaimana pantang menyerahnya dia dalam memperjuangkan apa yang dia anggap benar dalam karakternya, walaupun istri dan anak-anaknya jadi menjauhi dia.
Sebuah film dengan jalan cerita yang sangat menarik, yang lumayan untuk menambah pengetahuan tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik perang Irak. Tentunya kesimpulan dari benar atau tidaknya adanya WMD di Irak itu dikembalikan sendiri kepada para penonton.
Rating?
7 dari 10
Valerie Plame (Watts) adalah seorang agen CIA yang sedang dalam penyamaran untuk mencari bukti adanya WMD (Weapon of Mass Destruction) yang ada di Irak. Sementara suaminya, Joe Wilson, adalah mantan duta besar AS untuk Irak yang telah kembali dan tinggal di AS. Pasca-penyerangan 9/11 ketika pemerintahan Bush sedang membangun argumentasi untuk menyerang Irak dan menjatuhkan Saddam Hussein, Joe Wilson menerbitkan artikel di New York Times yang kontroversial. Dalam artikel tersebut, Joe Wilson menyatakan bahwa Bush dan pemerintahannya telah memanipulasi hasil data intelegen akan WMD sebagai justifikasi untuk menyerang Irak. Tentu saja Gedung Putih tidak tinggal diam dikritik dan dipertanyakan seperti itu, mereka pun membuka identitas Valerie Plame yang lalu membahayakan dirinya dan keluarganya. Jalan cerita pun berkembang dengan bagaimana pasangan Plame dan Wilson yang mati-matian berjuang untuk mempertahankan kebenaran, apapun itu arti dari kebenaran.
Datang dengan ekspektasi rendah dan siap menerima apa saja yang akan terjadi, ternyata malah membuat gue keluar bioskop dengan tersenyum puas. Cerita yang (ternyata) diadaptasi dari buku memoir "Fair Game: My Life as a Spy, My Betrayal by the White House" yang ditulis sendiri oleh Valerie Plame ini benar-benar tajam dan menggelitik. Nyata-nyatanya terjadi di tahun 2003 yang membuat gue cukup ngeri akan orang-orang yang berada di dalam Gedung Putih itu. Meminjam satu quote dalam film ini merujuk pada Gedung Putih; "those men are the most powerful people in the history".
Sebelum ini gue memang sudah pernah mendengar (isu) mengenai ragunya banyak orang akan keeksistensian WMDs di Irak, yang menjadi alasan AS untuk menginvasi negara penghasil minyak ini. Tapi baru kali ini gue tahu ada cerita, kisah nyata pula, tentang Valerie Plame dan suaminya vs Gedung Putih di tahun 2003 kemarin. Diceritakan secara kronologis dan cukup deskriptif, film ini cukup baik dalam menggambarkan dinamika jungkir-baliknya hidup Valeria Plame dan keluarga hanya dalam waktu 108 menit. Gue yakin cukup sulit untuk merangkum cerita seperti itu, tapi ternyata film ini mampu menjelaskan dengan baik dan tidak terlalu terburu-buru.
Doug Liman yang duduk di kursi sutradara pun memberikan sedikit bumbu-bumbu film yang pernah ia sutradari, The Bourne Identity dan Mr. and Mrs. Smith ke dalam film ini. Drama yang dibawakan dalam film ini pun sama sekali tidak membuat mata dan pikiran gue berpaling dari layar, malah gue dibuat selalu penasaran akan adegan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dibumbui dengan aroma thriller pun meningkatkan tensi dan keseruan tersendiri dalam menikmati film ini. Berbagai istilah politik yang digunakan dalam film ini di awal-awal memang sulit untuk dimengerti, namun lama-kelamaan menjadi cukup mudah untuk diikuti setelah memahami konteks dan gambaran besarnya.
Sulit rasanya untuk tidak memberikan komentar akan penampilan dari Watts dan Penn. Masing-masing dari mereka tampil dalam performa terbaik, seperti biasanya. Walaupun tidak banyak adegan percintaan layaknya suami-istri, chemistry diantara Watts dan Penn terlihat cukup kuat. Praktis tidak ada yang menonjol dari masing-masing penampilan mereka, dalam arti kehadiran salah satu dari mereka melengkapi yang satu lain. Watts seakan tidak tenggelam dan dapat mengimbangi nama besar seorang Sean Penn, terlihat dari bagaimana Watts memberikan kedalaman tersendiri dalam karakter Valerie Palmer. Gue sampai bisa merasakan bagaimana sulitnya seorang agen CIA yang dalam penyamaran, dibongkar identitasnya oleh negaranya sendiri, yang berbuntut pada keselamatan suami, anak-anak, dan dirinya sendiri. Penn juga sukses memancing empati penonton dengan bagaimana pantang menyerahnya dia dalam memperjuangkan apa yang dia anggap benar dalam karakternya, walaupun istri dan anak-anaknya jadi menjauhi dia.
gambar diambil dari sini |
Rating?
7 dari 10
Komentar
Posting Komentar