Soul Boy

Sobekan tiket bioskop tertanggal 12 Februari 2011 edisi Glasgow Film Festival adalah Soul Boy. Sepeninggalan gue dari Jakarta, gue sempat sedih plus ngiri dengan bagaimana gue melewatkan JiFFest dalam dua tahun berturut-turut. Namun ternyata kali ini gue tidak perlu merasakan hal tersebut karena ternyata Glasgow memiliki festival film sendiri setiap bulan kedua di setiap tahunnya. Kali ini pilihan film pertama jatuh pada film dengan setting Nairobi, Kenya di benua hitam Afrika. Gue ingat film Afrika terakhir yang gue tonton adalah Gods Must be Crazy, jadi rasanya film ini akan mengobati kekangenan gue akan film-film dengan setting Afrika.

Abila, 14 tahun, yang hidup bersama ayahnya di salah satu daerah terkumuh di Kenya harus menemui kenyataan bahwa ayahnya sedang sakit parah. Ayahnya pun meracau bahwa jiwanya hilang. Dengan pandangan mistis yang kuat yang masih saja menghinggapi hampir semua lapisan masyarakat, Abila percaya bahwa jiwa ayahnya diambil oleh seorang dukun sihir supranatural. Untuk mengembalikan jiwa ayahnya yang hilang, Abila pun harus melakukan tujuh tugas yang harus diselesaikan dalam satu malam.

Menarik mengetahui bahwa ide pembuatan film ini datang dari beberapa pembuat film asal Jerman yang ingin memberdayakan orang-orang semi (bahkan non)-profesional di Afrika untuk membuat film. Maka dari itu lebih dari setengah kru film dan semua pemeran dalam film ini adalah orang-orang lokal yang dilatih untuk membuat film dan berakting di depan kamera. Hasilnya? Sama sekali tidak terlihat bahwa mereka adalah amatir. Akting yang begitu natural dari setiap pemainnya, apalagi berasa naturalnya karena mereka menggunakan bahasa Swahili. Setiap gerak kamera, sound, score, sampai sinematografi pun tidak kalah kelas dengan Hollywood.


Yang menarik adalah segi ceritanya. Mungkin seperti masyarakat Indonesia, mereka pun memiliki cerita mistis lokal yang beredar luas dan masih sangat dipercaya oleh masyarakat setempat. Namun rasanya cerita mistis ini hanyalah latar belakangnya saja, karena yang disuguhkan sepanjang film adalah bagaimana dedikasi Abila yang pantang menyerah menghadapi segala macam rintangan untuk satu tujuan; menyembuhkan ayahnya. Penonton seakan disuguhi bagaimana rasa kekeluargaan di masyarakat kumuh di Nairobi ini begitu kuat, walaupun ayahnya yang selalu mabuk-mabukkan dan sebagainya, tetap saja ia adalah seorang sosok ayah bagi Abila.
gambar diambil dari sini
Selain itu, penonton juga dapat melihat betapa kemiskinan telah menancapkan kuku-kukunya begitu dalam di benua Afrika ini. Rumah-rumah beratap-tembokkan seng, tidak adanya fasilitas sanitasi, kesehatan dan kebersihan adalah barang mahal, dan lain sebagainya. Ironisnya, dalam film ini kita juga disuguhkan betapa luar biasa timpangnya kehidupan antara orang kaya dan orang miskin, dimana orang kaya digambarkan sebagai orang-orang "kulit putih" atau orang Barat.

Bagi orang yang sangat tertarik pada kehidupan di Afrika seperti gue, film ini cukup menambah cakrawala pandang gue dan melihat realita sosial kehidupan di benua hitam tersebut. Selain itu film ini juga cukup edukatif dengan berbagai isu yang ditawarkan, dan juga cukup menghibur dengan melihat kocaknya tingkah laku para anak-anak muda Kenya ini.

Rating?
7 dari 10

Komentar