Aisyah, Biarkan Kami Bersaudara
"Drama dengan kisah yang segar dan pemandangan Nusa Tenggara Timur yang indah, serta penuh dengan kritik sosial"
Aisyah adalah seorang sarjana pendidikan yang bercita-cita menjadi seorang guru. Suatu hari, ia mendapat tempat mengajar di lokasi terpencil, tepatnya di Dusun Derok, Kabupaten Timor Tengah Utara. Masyarakat dusun yang mayoritas beragama Katolik ternyata sedikit banyak membuat Aisyah merasa asing. Sempat dikira suster dan tidak memakan babi yang menjadi makanan sehari-hari, kehidupan Aisyah dibantu oleh Pedro. Namun ketika ia menghadapi kebencian dari salah satu muridnya, dan ia harus mengatasi kesalahpahaman atas nama agama tersebut.
Mendapatkan lima nominasi - termasuk Film Terbaik - dalam Festival Film Indonesia tahun 2016, beruntung gue masih bisa nonton film ini di bioskop di acara Korea Indonesia Film Festival. Betapa terkejutnya gue ternyata memang film ini sangat kaya akan nilai-nilai moralnya. Terutama soal agama yang belakang ini sedang marak diperdebatkan dan dipertarungkan di Indonesia. Gue benar-benar berharap film ini bisa menjadi tamparan keras bagi orang-orang di luar sana yang selalu meributkan soal agama.
Tidak usah jauh-jauh menggambarkan kehidupan seorang perempuan muslim berjilbab di luar negeri di mana mayoritas penduduk tidak beragama Islam. Datang saja ke negeri sendiri, tepatnya di daerah Nusa Tenggara Timur yang mayoritas beragama Katolik. Apalagi ketika ada masyarakat di sebuah dusun yang tidak ada listrik dan sinyal seluler, yang bisa menyangka perempuan berjilbab adalah seorang suster. Kejadian yang sangat dekat dan juga nyata, yang bisa saja terjadi pada siapa saja. Lewat skenario karya Jujur Prananto, penggambaran ini dieksplorasi panjang kali lebar lengkap dengan perkembangan karakter yang sangat signifikan.
Sulit juga untuk merasa bosan dalam film ini yang menyajikan banyak pemandangan Nusa Tenggara Timur yang indah. Ada deretan panoramic shot yang membuat gue bernostalgia akan perjalanan gue ke Flores tempo hari. Belum lagi dengan beberapa shot sederhana dengan komposisi yang indah. Meski terlihat gersang, tetapi arahan kamera yang apik membuat latar belakang Nusa Tenggara Timur menjadi terlihat eksotis.
Pujian jelas harus ditujukan pada Laudya Cynthia Bella yang nyaris sempurna memerankan karakter Aisyah. Tidak saja berlogat Sunda yang kental dan mampu beradu akting dengan aktris senior Lydia Kandou, tetapi juga mampu berlogat bahasa Sasak yang lancar dan tampak effortless. Apalagi melihat aktor anak Dionisius Rivaldo Moruk yang meski baru pertama kali berakting di depan kamera, tetapi terlihat sangat meyakinkan sebagai seorang anak kelas 5 SD yang sangat menyayangi ibu gurunya yang berasal dari Jawa.
Jalinan cerita yang dibawakan juga bisa dibilang cukup segar, seakan gue belum pernah menonton kisah yang seperti ini sebelumnya. Kecuali memang satu adegan yang sangat drama sinetron sekali yang berujung di sebuah rumah sakit. Dengan kisah segar yang ditawarkan, jelas kurang dapat dibandingkan dengan Laskah Pelangi (2008) yang sama-sama mengisahkan anak sekolah di daerah pedalaman. Fokus Aisyah, Biarkan Kami Bersaudara jelas pada perbedaan agama dan kisah seorang muslim yang harus menjadi minoritas di negeri sendiri.
Indonesia | 2015 | Drama | 109 menit | Scope Aspect Ratio 2.35 : 1
- sobekan tiket bioskop tanggal 29 Oktober 2016 -
Pemenang, Penulis Skenario Asli Terbaik (Jujur Prananto), Nominasi, Film Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik (Arie Kriting), Pemerean Pendukung Wanita Terbaik (Lydia Kandou), Pemeran Anak Terbaik (Dionisius Rivaldo Moruk), Festival Film Indonesia, 2016.
----------------------------------------------------------
Search Keywords:
Aisyah adalah seorang sarjana pendidikan yang bercita-cita menjadi seorang guru. Suatu hari, ia mendapat tempat mengajar di lokasi terpencil, tepatnya di Dusun Derok, Kabupaten Timor Tengah Utara. Masyarakat dusun yang mayoritas beragama Katolik ternyata sedikit banyak membuat Aisyah merasa asing. Sempat dikira suster dan tidak memakan babi yang menjadi makanan sehari-hari, kehidupan Aisyah dibantu oleh Pedro. Namun ketika ia menghadapi kebencian dari salah satu muridnya, dan ia harus mengatasi kesalahpahaman atas nama agama tersebut.
Mendapatkan lima nominasi - termasuk Film Terbaik - dalam Festival Film Indonesia tahun 2016, beruntung gue masih bisa nonton film ini di bioskop di acara Korea Indonesia Film Festival. Betapa terkejutnya gue ternyata memang film ini sangat kaya akan nilai-nilai moralnya. Terutama soal agama yang belakang ini sedang marak diperdebatkan dan dipertarungkan di Indonesia. Gue benar-benar berharap film ini bisa menjadi tamparan keras bagi orang-orang di luar sana yang selalu meributkan soal agama.
Tidak usah jauh-jauh menggambarkan kehidupan seorang perempuan muslim berjilbab di luar negeri di mana mayoritas penduduk tidak beragama Islam. Datang saja ke negeri sendiri, tepatnya di daerah Nusa Tenggara Timur yang mayoritas beragama Katolik. Apalagi ketika ada masyarakat di sebuah dusun yang tidak ada listrik dan sinyal seluler, yang bisa menyangka perempuan berjilbab adalah seorang suster. Kejadian yang sangat dekat dan juga nyata, yang bisa saja terjadi pada siapa saja. Lewat skenario karya Jujur Prananto, penggambaran ini dieksplorasi panjang kali lebar lengkap dengan perkembangan karakter yang sangat signifikan.
Sulit juga untuk merasa bosan dalam film ini yang menyajikan banyak pemandangan Nusa Tenggara Timur yang indah. Ada deretan panoramic shot yang membuat gue bernostalgia akan perjalanan gue ke Flores tempo hari. Belum lagi dengan beberapa shot sederhana dengan komposisi yang indah. Meski terlihat gersang, tetapi arahan kamera yang apik membuat latar belakang Nusa Tenggara Timur menjadi terlihat eksotis.
Pujian jelas harus ditujukan pada Laudya Cynthia Bella yang nyaris sempurna memerankan karakter Aisyah. Tidak saja berlogat Sunda yang kental dan mampu beradu akting dengan aktris senior Lydia Kandou, tetapi juga mampu berlogat bahasa Sasak yang lancar dan tampak effortless. Apalagi melihat aktor anak Dionisius Rivaldo Moruk yang meski baru pertama kali berakting di depan kamera, tetapi terlihat sangat meyakinkan sebagai seorang anak kelas 5 SD yang sangat menyayangi ibu gurunya yang berasal dari Jawa.
Jalinan cerita yang dibawakan juga bisa dibilang cukup segar, seakan gue belum pernah menonton kisah yang seperti ini sebelumnya. Kecuali memang satu adegan yang sangat drama sinetron sekali yang berujung di sebuah rumah sakit. Dengan kisah segar yang ditawarkan, jelas kurang dapat dibandingkan dengan Laskah Pelangi (2008) yang sama-sama mengisahkan anak sekolah di daerah pedalaman. Fokus Aisyah, Biarkan Kami Bersaudara jelas pada perbedaan agama dan kisah seorang muslim yang harus menjadi minoritas di negeri sendiri.
Indonesia | 2015 | Drama | 109 menit | Scope Aspect Ratio 2.35 : 1
- sobekan tiket bioskop tanggal 29 Oktober 2016 -
Pemenang, Penulis Skenario Asli Terbaik (Jujur Prananto), Nominasi, Film Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik (Arie Kriting), Pemerean Pendukung Wanita Terbaik (Lydia Kandou), Pemeran Anak Terbaik (Dionisius Rivaldo Moruk), Festival Film Indonesia, 2016.
----------------------------------------------------------
Search Keywords:
- review film aisyah biarkan kami bersaudara laudya cynthia bella
- review aisyah biarkan kami bersaudara laudya cynthia bella
- aisyah biarkan kami bersaudara laudya cynthia bella review
- resensi film aisyah biarkan kami bersaudara laudya cynthia bella
- resensi aisyah biarkan kami bersaudara laudya cynthia bella
- ulasan aisyah biarkan kami bersaudara laudya cynthia bella
- ulasan film aisyah biarkan kami bersaudara laudya cynthia bella
- sinopsis film aisyah biarkan kami bersaudara laudya cynthia bella
- sinopsis aisyah biarkan kami bersaudara laudya cynthia bella
- cerita aisyah biarkan kami bersaudara laudya cynthia bella
- jalan cerita aisyah biarkan kami bersaudara laudya cynthia bella
Komentar
Posting Komentar