When Marnie Was There
"Kisah dua remaja wanita yang indah, ketika orientasi seksual tidak menjadi fokus melainkan rasa cinta itu sendiri"
Anna, seorang remaja dengan penyakit asma dikirim ke daerah pedesaan untuk menyembuhkan diri. Di desa tersebut, Anna bertemu dengan seorang perempuan cantik berambut pirang, Marnie. Dengan cepat, persahabatan di antara mereka berdua pun terjalin semakin dalam. Namun ada satu syarat dari Marnie yang harus ditaati oleh Anna, bahwa hubungan mereka berdua harus dirahasiakan. Sampai suatu ketika Anna menemukan fakta yang mengejutkan tentang Marnie.
Ini adalah (kemungkinan besar) film terakhir dari Studio Ghibli sebelum mereka memutuskan untuk hiatus. Keputusan yang tidak jauh berselang dari pernyataan Hayao Miyazaki untuk pensiun di tahun 2014. When Marnie Was There diadaptasi dari novel berjudul sama keluaran tahun 1967 oleh pengarang Inggris, Joan G. Robinson. Konon, adaptasi filmnya sangat setia dengan kisah dalam bukunya. Termasuk kisah persahabatan Anna dengan Marnie - yang secara explisit lebih tepat disebut dengan hubungan percintaan - hingga twist ending yang ada untuk menetralisir kesan tersebut.
Kisah Anna dan Marnie pun diceritakan dengan sangat indah, dengan visual pemandangan desa kecil yang cantik. Belum lagi dengan beberapa alur mundur yang bukan memberikan jawaban, malah menimbulkan banyak pertanyaan. Sutradara Hiromasa Yonebayashi juga dengan sangat sabar membuka tabir misteri, sekaligus tetap bisa memancing rasa penasaran hingga akhir kisah. Tidak heran jika When Marnie Was There turut dinominasikan dalam Oscar tahun 2016, meski harus menyerahkan piala Animasi Terbaik kepada Inside Out (2015).
Perlu dipahami bahwa ketika Joan G. Robinson menulis buku ini di Inggris tahun 1967, pada masa itu hubungan sesama jenis memang menjadi hal yang tabu dan sangat dilarang. Maka dari itu, kisah percintaan antara Anna dengan Marnie diceritakan dengan sangat halus, kalau tidak mau dibilang absurd dan multi-interpretatif. Sebuah pendekatan yang sama dalam adaptasi filmnya, mengingat film ini dibuat oleh rumah produksi keluarga ternama di Jepang. Apalagi dengan pilihan ending yang menetralisir semua anggapan dan kesan bahwa kedua tokoh utamanya memang merasakan dan menjalin rasa cinta, dan jadilah sebuah film yang ramah keluarga dan anak-anak. Tetapi anggapan dan kesan yang muncul selama melihat pilihan kata dan gestur antara Anna dengan Marnie, itu tetap benar adanya; cinta eros di antara mereka berdua.
Sebuah pilihan yang patut diapresiasi setinggi mungkin terhadap Studio Ghibli, yang memilih materi cerita seperti ini untuk diangkat ke dalam film layar lebar. Sebuah kisah yang menghibur keluarga dan anak-anak, sekaligus di sisi lain akan menimbulkan diskusi panjang di komunitas LGBT. Kisah yang dari kulit luarnya saja sudah mengatakan hal yang implisit, dan terbilang cukup stereotip, mulai dari pilihan model rambut hingga pemilihan kata - yang konon dalam bahasa Jepang, ada perbedaan besar dalam kata cinta terhadap keluarga dengan cinta terhadap pasangan.
Namun jelas bukan hal tersebut yang menjadi fokus cerita, melainkan rasa cinta yang dialami oleh Anna di tengah dilematis dan keterpurukannya dalam hidup. Bahwa dalam diri Marnie, Anna menemukan hal yang selama ini hanya menjadi lubang menganga dalam hidupnya, untuk kemudian memberikan semangat baru dalam hidup Anna. Sebuah kisah yang bisa menjadi pelajaran berharga bagi siapapun, bahwa merasakan cinta adalah hal yang sangat berharga dan tidak perlu takut untuk merasakan hal tersebut. Apalagi jika perasaan tersebut meningkatkan potensi diri dan mengarahkan hidup ke jalan yang lebih baik.
Japan | 2014 | Animation | 103 mins | Flat Aspect Ratio 1.85 : 1
Nominated for Best Animated Film, Academy Awards, 2016.
Rating?
8 dari 10
- sobekan tiket bioskop tanggal 10 September 2017 -
----------------------------------------------------------
Anna, seorang remaja dengan penyakit asma dikirim ke daerah pedesaan untuk menyembuhkan diri. Di desa tersebut, Anna bertemu dengan seorang perempuan cantik berambut pirang, Marnie. Dengan cepat, persahabatan di antara mereka berdua pun terjalin semakin dalam. Namun ada satu syarat dari Marnie yang harus ditaati oleh Anna, bahwa hubungan mereka berdua harus dirahasiakan. Sampai suatu ketika Anna menemukan fakta yang mengejutkan tentang Marnie.
Ini adalah (kemungkinan besar) film terakhir dari Studio Ghibli sebelum mereka memutuskan untuk hiatus. Keputusan yang tidak jauh berselang dari pernyataan Hayao Miyazaki untuk pensiun di tahun 2014. When Marnie Was There diadaptasi dari novel berjudul sama keluaran tahun 1967 oleh pengarang Inggris, Joan G. Robinson. Konon, adaptasi filmnya sangat setia dengan kisah dalam bukunya. Termasuk kisah persahabatan Anna dengan Marnie - yang secara explisit lebih tepat disebut dengan hubungan percintaan - hingga twist ending yang ada untuk menetralisir kesan tersebut.
Kisah Anna dan Marnie pun diceritakan dengan sangat indah, dengan visual pemandangan desa kecil yang cantik. Belum lagi dengan beberapa alur mundur yang bukan memberikan jawaban, malah menimbulkan banyak pertanyaan. Sutradara Hiromasa Yonebayashi juga dengan sangat sabar membuka tabir misteri, sekaligus tetap bisa memancing rasa penasaran hingga akhir kisah. Tidak heran jika When Marnie Was There turut dinominasikan dalam Oscar tahun 2016, meski harus menyerahkan piala Animasi Terbaik kepada Inside Out (2015).
Perlu dipahami bahwa ketika Joan G. Robinson menulis buku ini di Inggris tahun 1967, pada masa itu hubungan sesama jenis memang menjadi hal yang tabu dan sangat dilarang. Maka dari itu, kisah percintaan antara Anna dengan Marnie diceritakan dengan sangat halus, kalau tidak mau dibilang absurd dan multi-interpretatif. Sebuah pendekatan yang sama dalam adaptasi filmnya, mengingat film ini dibuat oleh rumah produksi keluarga ternama di Jepang. Apalagi dengan pilihan ending yang menetralisir semua anggapan dan kesan bahwa kedua tokoh utamanya memang merasakan dan menjalin rasa cinta, dan jadilah sebuah film yang ramah keluarga dan anak-anak. Tetapi anggapan dan kesan yang muncul selama melihat pilihan kata dan gestur antara Anna dengan Marnie, itu tetap benar adanya; cinta eros di antara mereka berdua.
Sebuah pilihan yang patut diapresiasi setinggi mungkin terhadap Studio Ghibli, yang memilih materi cerita seperti ini untuk diangkat ke dalam film layar lebar. Sebuah kisah yang menghibur keluarga dan anak-anak, sekaligus di sisi lain akan menimbulkan diskusi panjang di komunitas LGBT. Kisah yang dari kulit luarnya saja sudah mengatakan hal yang implisit, dan terbilang cukup stereotip, mulai dari pilihan model rambut hingga pemilihan kata - yang konon dalam bahasa Jepang, ada perbedaan besar dalam kata cinta terhadap keluarga dengan cinta terhadap pasangan.
Namun jelas bukan hal tersebut yang menjadi fokus cerita, melainkan rasa cinta yang dialami oleh Anna di tengah dilematis dan keterpurukannya dalam hidup. Bahwa dalam diri Marnie, Anna menemukan hal yang selama ini hanya menjadi lubang menganga dalam hidupnya, untuk kemudian memberikan semangat baru dalam hidup Anna. Sebuah kisah yang bisa menjadi pelajaran berharga bagi siapapun, bahwa merasakan cinta adalah hal yang sangat berharga dan tidak perlu takut untuk merasakan hal tersebut. Apalagi jika perasaan tersebut meningkatkan potensi diri dan mengarahkan hidup ke jalan yang lebih baik.
Japan | 2014 | Animation | 103 mins | Flat Aspect Ratio 1.85 : 1
Nominated for Best Animated Film, Academy Awards, 2016.
Rating?
8 dari 10
- sobekan tiket bioskop tanggal 10 September 2017 -
- review film when marnie was there studio ghibli
- review when marnie was there studio ghibli
- when marnie was there studio ghibli movie review
- when marnie was there studio ghibli film review
- resensi film when marnie was there studio ghibli
- resensi when marnie was there studio ghibli
- ulasan when marnie was there studio ghibli
- ulasan film when marnie was there studio ghibli
- sinopsis film when marnie was there studio ghibli
- sinopsis when marnie was there studio ghibli
- cerita when marnie was there studio ghibli
- jalan cerita when marnie was there studio ghibli
Komentar
Posting Komentar