The King's Speech
Sobekan tiket bioskop tertanggal 12 Januari 2011 adalah The King's Speech. Trailer untuk film ini sudah keluar sekitar dua bulan yang lalu dan gue sudah tertarik untuk nonton film ini, bahkan sebelum film ini meraih 7 nominasi Golden Globes 2011. Melihat jajaran cast-nya yang terdiri dari aktor-aktris Inggris papan atas saja sudah membuat gue merinding, mulai dari Colin Firth, Helena Bonham Carter, Geoffrey Rush, Michael Gambon, Guy Pearce, sampai Timothy Spall. Rasanya cuma film ini yang mampu menyaingi Harry Potter dalam soal "orkestra" aktor-aktris papan atas dari tanah Britania Raya.
Cerita yang diangkat dari kisah nyata, seorang pria yang kemudian menjadi Raja George VI. Selepas meninggalnya George V dan kakaknya yang menurunkan mahkotanya, George (Firth) yang enggan pun harus menduduki tahta kerajaan Inggris yang pada waktu itu memimpin hampir seperempat manusia di bumi. George yang sebenarnya bisa menjadi raja yang baik, merasa tidak layak memegang mahkota (hanya) karena satu hal; dia mengalami kesulitan berbicara. Lewat Ratu Elizabeth (Bonham Carter), istrinya, dia pun mencari bantuan untuk menyembuhkan penyakitnya lewat seorang terapis bicara, Lionel (Rush). Di tengah kewajibannya untuk memberi pidato-pidato kerajaan, George membangun hubungan pertemanan yang naik-turun dengan Lionel, yang menggunakan teknik terapi yang tidak biasa.
Kalau memang ada teori yang mengatakan bahwa kita dapat menilai bagus tidaknya sebuah film lewat opening scene-nya, maka film ini dapat menjadi salah satu contoh yang tepat. Film ini dibuka dengan opening credit yang menarik dan artistik, kemudian dilanjutkan dengan adegan awal yang sempurna untuk menjadi pondasi dasar untuk menceritakan tema besar film ini. Sebuah adegan awal yang seakan menjanjikan akan kekuatan drama dan akting dari film ini, dimana Colin Firth dan Helena Bonham Carter memberikan yang terbaik dari yang terbaik walaupun hanya dalam waktu sekian menit. Bahkan bisa gue bilang, adegan awal yang tensinya hampir menyaingi klimaks sekalipun.
Bagi penggemar akting-akting dari Helena Bonham Carter seperti gue, menarik untuk melihat tante Carter berakting "serius dan normal" dalam film ini. Menurut gue ini adalah suatu tantangan bagi aktris yang biasa menyambangi peran-peran nyeleneh macam karakter Marla Singer, Mrs. Bucket, Corpse Bride, Mrs. Lovett, sampai Bellatrix Lestrange. Tidak hanya tantangan tersebut dijawab dengan sangat baik, akting tante Carter sebagai pendamping Raja Geroge VI ini pun tidak tenggelam oleh "duet" Firth dan Rush. Walaupun film ini fokus pada Raja George VI dan masa-masa terapi bicaranya dengan Lionel Logue, tante Carter bisa membawakan karakter Ratu Elizabeth yang memiliki peran cukup signifikan dalam perkembangan terapi bicara sang Raja. Engga heran kalau si tante masuk dalam nominasi Pemeran Pembantu Wanita Terbaik dalam Golden Globe tahun ini.
Gue cukup takjub oleh penampilan dari Colin Firth, yang memerankan karakter yang memiliki kesulitan bicara, yang kalau bahasa slank-nya; gagap. Setahu dan sepengalaman gue, akting gagap adalah akting yang gampang-gampang-susah. Gampang untuk menirukan gaya bicara terbata-bata namun susah untuk membuat orang lain percaya bahwa si orang gagap ini benar-benar gagap. Kalau Indonesia punya Azis Gagap, maka sekarang Inggris punya Colin Firth yang sukses membuat gue melupakan image Firth di film-film sebelumnya dan percaya bahwa dia mengalami kesulitan berbicara dari umur 5 tahun. Salah satu hal yang membuat akting seseorang yang gagap benar-benar terasa riil adalah bagaimana reaksi gregetan kita ketika menunggu dia menyelesaikan kalimatnya. Tidak hanya gagap, Firth juga membawakan karakter Raja George VI yang ternyata mengalami beban psikologis sejak kecil, ditambah lagi ketika ia harus memakai mahkota Raja walaupun sebenarnya dia sadar bahwa suatu saat dia akan berada disana. Beban psikologis tersebut tidak harus melulu diceritakan dalam bentuk adegan atau narasi, tapi juga bisa digambarkan dengan baik oleh sorot mata lemah dan ekspresi canggung dari Firth.
Geoffrey Rush pun tampil cemerlang dalam film ini, dan memang gue selalu suka akting-akting dia khususnya setelah dia menjadi Kapten Barbossa. Sebagai seorang ahli terapis bicara yang tinggal di rumah yang kemewahannya bertolak belakang dari Istana Buckingham, penampilan Rush mampu menyaingi Firth yang memerankan karakter yang kedudukannya jauh lebih tinggi dari karakternya. Walaupun sepanjang film terlihat bagaimana sang Raja terkadang menganggap remeh profesi dan kedudukan Lionel, namun Rush tetap bisa mempertahankan karismanya sebagai seorang ahli terapi bicara yang idealis sekaligus humoris.
Gue sangat suka dengan penggambaran sejarah Britania Raya ini yang dijadikan dalam bentuk film. Sejarah yang identik dengan membosankan, dipatahkan dengan mudah oleh penggambaran audio-visual dari film ini. Screenplay yang ditulis oleh David Seidler ini menarik, menyenangkan untuk diikuti, ditambah dengan klimaks yang bikin gregetan, dan ditutup dengan eksekusi yang menggoda anda untuk ikut bertepuk tangan bersama jutaan rakyat Britania Raya di hadapan sang Raja. Belum lagi digambarkan dengan sinematografi yang engga biasa namun malah terkesan artistik. Danny Cohen sebagai sinematografer tampaknya tidak kehabisan akal untuk membuat tampilan setiap adegan agar tetap menarik dan tidak membosankan. Selain itu, engga heran kalau scoring dalam film ini terasa begitu menghanyutkan dan menyeret penonton dalam luapan emosional, karena Alexandre Desplat menggarap scoring ini dengan tipikal gaya orkestranya. Scoring Desplat dalam setiap adegan membuat film ini lebih royal, elite, dan classy, terutama pada adegan klimaks yang dieksekusi secara brilian.
Film ini adalah film layar lebar ketiga yang disutradarai oleh Tom Hooper, sutradara yang lahir di tempat yang sama dimana Raja-raja Inggris bernaung. Film sebelumnya yang ia sutradarai juga diangkat dari sebuah kisah nyata tentang sepak terjang seorang manajer super-idealis di tim sepak bola Leeds United (The Damned United - 2009). Mungkin memang ini kelebihan dari Hooper sebagai sutradara, mampu membawakan cerita kisah nyata ke dalam bentuk film layar lebar yang menarik untuk ditonton dari menit awal sampai menit akhir. Pembawaan cerita yang tidak biasa di The Damned United seperti menjadi bekal tersendiri untuk menyutradari karya terbarunya ini.
Dengan jajaran cast papan atas yang luar biasa, penggambaran cerita yang menarik dan mudah melarutkan emosi penonton, serta scoring yang membuat anda tiba-tiba ingin jadi seorang konduktor, film ini memang layak untuk meraup berbagai penghargaan di dunia perfilman. Tom Hooper terbilang sukses membawa film ini meraih berbagai penghargaan, sebagaimana Brian Clough dengan gaya melatihnya yang tidak biasa namun meraih kesuksesan bersama tim binaannya, Raja George VI juga berani untuk terus berjuang untuk melawan kesulitan bicaranya agar dapat memimpin negara dan rakyatnya dengan baik.
Long live the King! ;p
Rating?
9 dari 10
Cerita yang diangkat dari kisah nyata, seorang pria yang kemudian menjadi Raja George VI. Selepas meninggalnya George V dan kakaknya yang menurunkan mahkotanya, George (Firth) yang enggan pun harus menduduki tahta kerajaan Inggris yang pada waktu itu memimpin hampir seperempat manusia di bumi. George yang sebenarnya bisa menjadi raja yang baik, merasa tidak layak memegang mahkota (hanya) karena satu hal; dia mengalami kesulitan berbicara. Lewat Ratu Elizabeth (Bonham Carter), istrinya, dia pun mencari bantuan untuk menyembuhkan penyakitnya lewat seorang terapis bicara, Lionel (Rush). Di tengah kewajibannya untuk memberi pidato-pidato kerajaan, George membangun hubungan pertemanan yang naik-turun dengan Lionel, yang menggunakan teknik terapi yang tidak biasa.
Kalau memang ada teori yang mengatakan bahwa kita dapat menilai bagus tidaknya sebuah film lewat opening scene-nya, maka film ini dapat menjadi salah satu contoh yang tepat. Film ini dibuka dengan opening credit yang menarik dan artistik, kemudian dilanjutkan dengan adegan awal yang sempurna untuk menjadi pondasi dasar untuk menceritakan tema besar film ini. Sebuah adegan awal yang seakan menjanjikan akan kekuatan drama dan akting dari film ini, dimana Colin Firth dan Helena Bonham Carter memberikan yang terbaik dari yang terbaik walaupun hanya dalam waktu sekian menit. Bahkan bisa gue bilang, adegan awal yang tensinya hampir menyaingi klimaks sekalipun.
Bagi penggemar akting-akting dari Helena Bonham Carter seperti gue, menarik untuk melihat tante Carter berakting "serius dan normal" dalam film ini. Menurut gue ini adalah suatu tantangan bagi aktris yang biasa menyambangi peran-peran nyeleneh macam karakter Marla Singer, Mrs. Bucket, Corpse Bride, Mrs. Lovett, sampai Bellatrix Lestrange. Tidak hanya tantangan tersebut dijawab dengan sangat baik, akting tante Carter sebagai pendamping Raja Geroge VI ini pun tidak tenggelam oleh "duet" Firth dan Rush. Walaupun film ini fokus pada Raja George VI dan masa-masa terapi bicaranya dengan Lionel Logue, tante Carter bisa membawakan karakter Ratu Elizabeth yang memiliki peran cukup signifikan dalam perkembangan terapi bicara sang Raja. Engga heran kalau si tante masuk dalam nominasi Pemeran Pembantu Wanita Terbaik dalam Golden Globe tahun ini.
gambar diambil dari sini |
Geoffrey Rush pun tampil cemerlang dalam film ini, dan memang gue selalu suka akting-akting dia khususnya setelah dia menjadi Kapten Barbossa. Sebagai seorang ahli terapis bicara yang tinggal di rumah yang kemewahannya bertolak belakang dari Istana Buckingham, penampilan Rush mampu menyaingi Firth yang memerankan karakter yang kedudukannya jauh lebih tinggi dari karakternya. Walaupun sepanjang film terlihat bagaimana sang Raja terkadang menganggap remeh profesi dan kedudukan Lionel, namun Rush tetap bisa mempertahankan karismanya sebagai seorang ahli terapi bicara yang idealis sekaligus humoris.
gambar diambil dari sini |
Film ini adalah film layar lebar ketiga yang disutradarai oleh Tom Hooper, sutradara yang lahir di tempat yang sama dimana Raja-raja Inggris bernaung. Film sebelumnya yang ia sutradarai juga diangkat dari sebuah kisah nyata tentang sepak terjang seorang manajer super-idealis di tim sepak bola Leeds United (The Damned United - 2009). Mungkin memang ini kelebihan dari Hooper sebagai sutradara, mampu membawakan cerita kisah nyata ke dalam bentuk film layar lebar yang menarik untuk ditonton dari menit awal sampai menit akhir. Pembawaan cerita yang tidak biasa di The Damned United seperti menjadi bekal tersendiri untuk menyutradari karya terbarunya ini.
gambar diambil dari sini |
Long live the King! ;p
Rating?
9 dari 10
Nice review... Membuat gue pengen nonton film ini karena gue selalu suka film2nya Colin Firth
BalasHapus