Hanna

Sobekan tiket bioskop tertanggal 7 Mei 2011 adalah Hanna. Film ini sudah masuk dalam daftar waiting-list gue semenjak kemunculan trailernya beberapa bulan yang lalu. Ada banyak hal yang membuat gue tidak ingin melewatkan film ini di bioskop. Grup musik elektronik The Chemical Brothers yang mengisi score-nya, Saoirse Ronan yang menjadi pemeran utamanya, serta kehadiran Eric Bana dan Cate Blanchett sebagai pemeran pembantu dalam film ini. Apalagi ini adalah film pertama dari sutradara Joe Wright di luar teritori dia. Belum lagi dengan premis cerita yang sangat menarik yang ditawarkan oleh film ini.

Hanna (Ronan) adalah remaja berusia 16 tahun yang dibesarkan di kerasnya hutan Finlandia oleh ayahnya yang seorang mantan agen CIA, Erik (Bana). Secara khusus, Erik membesarkan dan melatih Hanna menjadi seorang "prajurit" untuk menjalankan satu misi; membunuh mereka yang mengancam keselamatan mereka berdua. Ketika Hanna siap, tiba saatnya bagi Hanna untuk membuktikan apa yang sudah ia persiapkan sejak kecil, dengan menjelajahi benua Eropa untuk menjalankan misi tersebut.

Wow, wow, dan wow. Film ini telah membuat gue kagum bahkan dari menit-menit pertamanya. Dari premis cerita yang menarik, sinematografi yang indah dan artistik, score elektronik yang menghentak dan meningkatkan ketegangan, tapi diatas itu semua adalah penampilan brilian dari Saoirse (diucapkan "seer-sah") Ronan.

Hanna adalah Saoirse Ronan dan Saoirse Ronan adalah Hanna. Gue tidak yakin jika karakter Hanna dapat dimainkan oleh aktris remaja lain selain Ronan. Tidak hanya gerakan tubuh dan ekspresi, mata biru dari Ronan benar-benar membuat gue yakin dan percaya bahwa ia adalah seorang anak remaja 16 tahun yang dilatih untuk menjadi seorang pembunuh bertangan dingin. Aksen Irlandianya di dunia nyata pun tergantikan sama sekali dengan aksen Inggris-Jerman, plus, dapat dengan lafal berbicara bahasa Jerman, Itali, Spanyol, Perancis, dan Arab! Ya, kematangan Saoirse Ronan dalam berakting memang tidak perlu diragukan lagi. Di umur 13 tahun, ia telah menantang Cate Blanchett dalam perebutan piala Oscar untuk nominasi Aktris Pendukung Terbaik lewat Atonement (2007), dimana pada film ini mereka berdua harus beradu akting. Benar saja, ketika Blanchett dan Ronan berada dalam satu layar, gue bisa merasakan betapa akting Ronan tidak tenggelam dan malah mendominasi suasana adegan dengan karakter Hanna yang super-dingin. Bagi seorang Ronan yang sudah pernah meninggal dan terjebak dalam alam penantian dalam The Lovely Bones (2009) dan pernah menyeberangi Rusia, Cina, sampai India dalam The Way Back (2010), tentunya bukan masalahnya baginya untuk beradu akting dengan Cate Blanchett maupun Eric Bana. Terlalu dini untuk memprediksikan nominasi Oscar pada Ronan, apalagi Oscar cenderung lebih suka pada film-film drama. Tapi gue memprediksikan nama Ronan akan terselip dalam nominasi Golden Globe atau BAFTA.
gambar diambil dari sini
Mungkin banyak orang akan membandingkan Hanna dengan karakter Hit Girl dalam Kick-Ass (2010). Menurut gue, Hanna dengan Hit Girl adalah karakter yang berbeda, meskipun dibesarkan dengan tujuan yang sama oleh ayah mereka. Karakter Hanna adalah karakter pembunuh yang jauh lebih elegan dibandingkan Hit Girl yang sedikit banyak mengandalkan perilaku cuek dan sumpah-serapahnya. Dinginnya karakter Hanna, ditambah dengan mata biru Ronan, membuat gue merasa takut dan ngeri akan anak itu meskipun ia berada di pihak protagonis. Baiknya lagi, jalan cerita dalam film ini menggambarkan bahwa dibalik insting pembunuh yang kuat, Hanna hanyalah seorang remaja wanita yang merindukan kehidupan "normal" layaknya remaja wanita lainnya.

Belum cukup dengan dinginnya peran antagonis yang diperankan dengan baik oleh Cate Blanchett, film ini menghadirkan Tom Hollander sebagai kaki tangan dari Marissa. Tampaknya Joe Wright senang sekali bekerja sama dengan Hollander, setelah kerja sama mereka dalam Pride & Prejudice (2005) dan The Soloist (2009). Hollander yang rasanya memang tipikal karakter dia untuk menjadi peran antagonis, selalu berhasil membuat gue sebal-sesebal-sebalnya dengan semua peran antagonis yang ia perankan. Meskipun tingkat kesebalan itu tidak setinggi saat ia menjadi Lord Beckett dalam trilogi Pirates of the Caribbean, namun karakter yang ia perankan dalam film ini ditampilkan dengan sedikit psycho dan bukan karakter orang yang ingin anda hadapi dalam kehidupan nyata. 
gambar diambil dari sini
Film ini membuat penonton melihat dunia seperti halnya Hanna memandang dunia. Bagaimana culture-shock-nya dia ketika tiba di peradaban modern setelah hampir seluruh hidupnya dihabiskan di sebuah hutan terpencil di Finlandia. Lalu betapa fokus dan terobsesinya dia untuk menyelesaikan misi yang memang sudah ditanam sejak kecil oleh ayahnya. Serta betapa penasaran dan terguncangnya ia ketika mengetahui sebuah fakta mengejutkan terkait dengan dirinya, ayahnya, dan Marissa. Semua ini digambarkan dengan baik oleh sinematografi yang brilian dan cerdas. Gue sangat suka setiap shot pada adegan tertentu untuk menyampaikan apa yang sedang terjadi pada adegan tersebut. Apalagi dengan minimnya dialog, seakan penonton tidak butuh labelisasi untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam layar. Gue hampir memasukkan film ini ke dalam kategori arthouse akibat nyelenehnya berbagai shot yang diambil dan bagaimana penonton harus memberikan interpretasi tersendiri pada adegan yang ditampilkan.

Musik elektronik The Chemical Brothers jelas membantu banyak untuk menghidupkan setiap adegan, terutama adegan kejar-kejaran dan adegan berkelahi. Mungkin sedang trendnya dimana musisi-musisi di dunia musik terjun ke dunia film untuk menjadi komposer tunggal untuk mengisi score sebuah film. Trent Reznor dan Atticus Ross telah membuktikan kesuksesan mereka dengan meraih piala Oscar untuk The Social Network (2010). Daft Punk, menurut gue, sukses berat dalam menjadikan dunia komputer sinkron dengan musik mereka dalam Tron: Legacy (2010). Mereka ini membuat komposisi score film yang didominasi oleh orkestra seakan ketinggalan jaman. Film assassin macam ini dengan komposisi scoring yang mengena, selama ini gue bersandar pada The Bourne Trilogy. Namun scoring The Chemical Brothers ini tampaknya menjadi standar baru gue dalam membandingkan scoring, khususnya pada genre film sejenis. Apalagi dalam film ini, melodi-melodi score-nya sangat sinkron dengan editing film yang brilian.
gambar diambil dari sini
Dengan berbagai talenta yang mendukung film ini, sayang seribu sayang tidak didukung oleh jalinan cerita yang  bisa mengakomodasi ide awal cerita yang sebenarnya sudah cukup bagus. Ide cerita ini memang dicetuskan oleh Seth Lochhead dalam bentuk skrip mentah tanpa keterangan teknis untuk diadaptasi ke dalam layar. Lalu skrip tersebut dikembangkan oleh David Farr menjadi sebuah naskah yang siap diadaptasi ke dalam layar lebar. Demgan premis cerita yang sedikit overlap dengan The Bourne Trilogy, film ini sulit untuk berdiri dengan kakinya sendiri. Tidak jarang gue menemukan diri gue membandingkan beberapa jalan cerita dengan The Bourne Trilogy. Selain itu, menurut gue metode penulis naskah untuk membuka lipatan-lipatan misteri yang dibangun dengan baik selama setengah awal film, terasa kurang rapi dan elegan ketika misteri utama dibuka di tigaperempat film. Gue yang sudah menemukan keasyikan tersendiri dalam menebak-nebak apa yang terjadi pada Hanna, merasa "Yah, tebakan gue bener donk. Tapi masa gitu doank ngasih tahunya?".

Untuk film yang berdiri sendiri, film ini memang patut diberi acungan jempol. Apalagi melihat jejak sutradara Joe Wright yang tiga film sebelumnya yang ia sutradarai berada dalam ranah drama romantis. Jelas film ini adalah sebuah banting setir bagi Joe Wright, dan dia membuktikan bahwa dia adalah sutradara berbakat yang sepertinya dapat bergerak di genre film apa saja. Joe Wright menambah daftar orang-orang berbakat yang siap meraup sukses di dunia perfilman di kedepannya nanti, bersama Saoirse Ronan dan The Chemical Brothers.
gambar diambil dari sini
Dengan segudang talenta yang ada, sayangnya film ini gagal untuk menjadi tolok ukur diantara jejeran film-film sejenis. Tapi menonton film ini adalah sebuah pengalaman yang menyenangkan bagi gue. Melihat bagaimana wajah cantik, lugu, namun mematikan dari Saoirse Ronan sepanjang 111 menit dan mendengarkan kebolehan The Chemical Brothers dalam meramu musik terbaru mereka yang disinkronkan dengan gambar bergerak di layar. Belum lagi pengalaman menonton film yang seakan hybrid dari assassin dan arthouse.



Rating?
8 dari 10

Komentar

  1. Website theater lokal di sini masukin film ini ke kategori art-house malahan. Hahahaha, jadi bisa sebenarnya film ini di masukin ke kategori itu.

    Betul banget, hebatnya si Ronan ini ga tenggelam sama Cate Blanchett. Wah, ngeliat dia dinominasiin di Golden Globe aja sudah seneng *mata berbinar*

    BalasHapus

Posting Komentar