13 Assassins

Sobekan tiket bioskop tertanggal 12 Mei 2011 adalah 13 Assassins (Jûsan-nin no shikaku). Gue cukup takjub bagaimana film Jepang ini bisa hadir dalam deretan film-film yang diputar di jaringan bioskop di Glasgow. Selain itu, berbagai surat kabar yang biasa mengulas film-film yang sedang diputar di bioskop pun memberikan ulasan positif tentang film ini. Sinopsisnya pun ternyata menawarkan suatu hal yang baru dan menarik untuk menambah referensi film gue, khususnya film-film dari negeri Sakura.

Di Edo (sekarang Tokyo) pada era Shogun, seorang samurai ternama diminta untuk melakukan suatu misi rahasia; membunuh Lord Naritsugu yang jahat. Shinzaemon pun mengumpulkan samurai-samurai terhebat di era tersebut untuk menyelesaikan misi yang cukup berbahaya. Misi pun tampak seakan misi bunuh diri, setelah Shinzaemon mengetahui bahwa Lord Naritsugu dikawal oleh sepasukan samurai hebat pula, termasuk rekan seperguruannya; Hanbei.

Gue ingat perkenalan pertama gue dengan film samurai Jepang yang sangat berdarah-darah, Zatoichi (2003). Nah, ketika dalam film Zatoichi itu hanya ada seorang Ichi yang mahir mengayunkan pedang dan menghunuskannya ke lawan-lawannya, dalam film arahan Takashi Miike ini ada puluhan samurai yang akan saling beradu pedang. Namun film yang berdasarkan kejadian nyata ini akan fokus pada ketiga-belas jagoan kita yang ingin membela kebaikan dengan membunuh seorang Lord Naritsugu yang terkenal kejam dan berdarah dingin. Setengah film pertama memang dihabiskan oleh bagaimana usaha Shinzaemon untuk merekrut samurai-samurai terhebat pada era Shogun. Selain itu, cerita juga silih berganti dengan di lain pihak, Hanbei, mencoba untuk menerka hal apa dan siapa yang mengancam keselamatan tuannya, Lord Naritsugu. Drama dan dialog-dialog heroik pada bagian ini memang terasa lambat dan membuat penonton menjadi tidak sabar untuk menanti adegan aksi yang akan terjadi. Namun ketidaksabaran ini terjawab tuntas dan melebihi ekspektasi, ketika penonton disuguhi adegan peperangan; panah, ledakan, adu pedang selama 45 menit non-stop!

Premis 13 samurai melawan ratusan orang mungkin senada dengan premis 300 prajurit Sparta melawan 100 ribu pasukan Persia di Thermopylae. Namun pertarungan "Daud melawan Goliath" versi Jepang ini jelas jauh berbeda dengan film 300 (2006), yang membutuhkan tiga hari bagi pasukan Persia untuk mengalahkan para prajurit Sparta. Battle scene di sebuah desa kecil yang dipilih sebagai tempat pembantaian para pengawal Lord Naritsugu benar-benar membuat penonton sesekali menahan nafas. Setengah pertama film yang memperkenalkan satu persatu siapa saja yang menjadi ke-13 samurai jagoan kita ternyata berpengaruh besar ketika penonton menyaksikan mereka bertarung sampai titik darah penghabisan. Takashi Miike benar-benar menggunakan setiap sudut desa tersebut untuk menampilkan berbagai spot pertarungan pedang tersebut diantara puing-puing desa yang hancur. Berbagai macam ledakan, strategi serangan pasukan Shinzaemon yang cerdas, serta adu pedang a la samurai yang ada dalam film ini benar-benar memukau. Memang tidak sesadis dan seberdarah-darah Zatoichi dan tidak se-modern The Last Samurai, tapi justru itu yang memikat; pertarungan massal antar-samurai dengan gaya tradisional dan otentik mereka.
gambar diambil dari sini
Dibalik denting-denting pedang para samurai yang saling beradu tersebut, film ini sebenarnya ingin menceritakan hal yang lebih dalam daripada pertarungan berdarah semata. Di era Shogun Tokugawa dalam periode Edo (1603 - 1868), para samurai yang sedianya adalah prajurit elit (macam tentara SS-nya Nazi) berangsur-angsur berubah fungsi menjadi pelayan bagi tuannya karena memang masa-masa perang telah usai. Pedang panjang dan pendek (katana dan daisho) yang selalu tergantung di pinggang pun hanya menjadi simbol samurai belaka dan jarang digunakan di tempat publik. Para samurai yang memiliki tuan ini memiliki kode etik untuk setia pada tuannya sampai mati. Masalah terjadi ketika ada tuan yang bertindak kejam diluar batas, apalagi jika tuan tersebut adalah anak dari shogun sebelumnya dan memiliki hubungan darah dengan shogun yang sedang berkuasa. Para samurai tanpa tuan (disebut ronin) yang peduli pada kemanusiaan pun ingin membalas dendam akan berbagai kejahatan dan pembunuhan yang tuan tersebut lakukan. Permasalahan akan menjadi menarik ketika kedua pihak samurai ini saling bertemu di persimpangan; satu pihak bertarung atas nama kemanusiaan dan pihak lain bertarung atas kode etik samurai untuk tetap setia pada tuannya apapun yang terjadi. Pertarungan ini semakin dibakar oleh kode kehormatan dan loyalitas pada samurai yang telah dijunjung tinggi dari generasi-generasi sebelumnya.

Menarik melihat bagaimana para samurai tanpa tuan ini yang pikirannya mulai terbuka; tidak terlalu kaku pada kode etik samurai yang setia pada tuannya sampai mati. Ini pun terjadi tepat sebelum Restorasi Meiji dimana era Shogun ditumbangkan dan imbasnya sistem kelas - termasuk kelas samurai - pun dihapuskan. Dalam film ini terlihat bagaimana para "Last Samurai" ini mencoba bertahan hidup di akhir era mereka. Mungkin bisa dibilang bahwa cerita dalam film ini melengkapi kisah samurai dengan mundur beberapa puluh tahun kebelakang dari film The Last Samurai (2003) sebelum dunia barat memasuki dan banyak mempengaruhi era industrialisasi di Jepang.
gambar diambil dari sini
Selain itu, film ini juga memperlihatkan bagaimana sistem kelas pada era feudalisme di Jepang pada era Shogun Tokugawa. Samurai adalah kelas yang berbeda dan bagaimana rakyat biasa pun tunduk pada mereka. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menjadi samurai, dan tidak jarang darah samurai diturunkan dari generasi sebelumnya. Menarik melihat bagaimana cara pandang orang biasa terhadap kelas samurai yang diselipkan melalui salah satu karakter dalam film ini.

Gue sangat suka dengan setiap dialog yang terucap dari berbagai karakter dalam film ini. Setiap pilihan kata dan kalimat seakan-akan menggambarkan budaya tradisional Jepang yang dianut pada era tersebut. Berbagai kebijaksanaan dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Jepang pada saat itu tergambar jelas dengan dialog-dialog yang ada, khususnya mengenai kehidupan dan ketaatan seorang samurai.
gambar diambil dari sini
Film ini jelas membawa penontonnya kembali ke era Jepang jaman dahulu dan memberikan banyak pengetahuan dan gambaran mengenai kehidupan para samurai sebelum kelas samurai dihapuskan dalam Restorasi Meiji.



Rating?
8 dari 10

Komentar