Everywhere and Nowhere

Sobekan tiket bioskop tertanggal 7 Mei 2011 adalah Everywhere and Nowhere. Tidak ada alasan khusus untuk menonton film ini selain hanya untuk membunuh waktu sambil menunggu Hanna di malam hari. Gue sama sekali belum pernah melihat poster, trailer, apalagi membaca sinopsisnya. Hanya berpegang pada judul yang sepertinya memang film "kelas B" yang sengaja gue pilih sebagai batu loncatan untuk Hanna.

Film ini bercerita tentang Ash Khan, seorang Pakistan yang lahir dan tinggal di London. Cerita dalam film ini pun seputar Ash dan orang-orang di sekitarnya, bagaimana kehidupan mereka sebagai seorang imigran yang tinggal di dunia barat dan negara maju. Ash dan teman-temannya adalah generasi kedua Pakistan yang menetap di Inggris dan memang datang dari keluarga yang terbilang mampu. Ketika material bukan lagi masalah, aktualisasi dan identitas diri lah yang menjadi isu bagi diri mereka masing-masing dalam skala tertentu.

Sebuah film yang rasanya tidak perlu masuk di bioskop kali yah. Menurut gue, film ini bukan sebuah film hiburan namun lebih ke arah deskripsi mengenai bagaimana kehidupan seorang Pakistani di Inggris. Mungkin seperti Biutiful tapi versi kurang bagusnya. Bagi gue sendiri, film ini memang sedikit mencerahkan gue akan seperti apa jika seorang yang berasal dari negara yang cukup konservatif dan tradisional harus tinggal dan menetap di sebuah negara maju. Jawabannya ya, akan seperti "Orang Kaya Baru" dan kehilangan identitas diri.


Kelakukan OKB dan kehilangan identitas ini memang dijelaskan dengan baik dalam film ini, namun tidak ada hal-hal baru yang tidak diketahui oleh penonton sebelumnya. Setiap cerita dan adegan dalam film ini memang bertujuan untuk memperlihatkan gaya hidup anak muda masa kini - terutama imigran - namun sayang pembawaan ceritanya cukup membosankan. Apalagi dengan banyaknya shot close-up yang malah menjadikan film ini setara dengan sinetron-sinetron di Indonesia.
gambar diambil dari sini
Tapi setidaknya film ini bisa menjawab pertanyaan gue akhir-akhir ini; mengapa banyak orang Pakistan yang tinggal dan menetap sampai generasi kedua bahkan ketiga di Inggris Raya ini. Selain itu juga, menarik melihat kemampuan karakter Ash dalam me-remix musik-musik tradisional India dengan irama beat hip-hop masa kini, yang kemudian dijadikan sebagai score dalam beberapa adegan. Menarik juga melihat bagaimana generasi pertama Pakistani yang bahasa Inggrisnya masih berlogat India, sedangkan generasi keduanya telah berlogat Inggris. Musik dan logat ini yang menurut gue menjadi simbol penting dalam apa yang ingin diceritakan oleh film ini.

Bagi anda yang ingin memahami permasalahan imigran kelas menengah ke atas di sebuah negara maju, film ini mungkin bisa menjadi salah satu referensi anda. Meskipun tidak segitu perlunya untuk ditonton di sebuah layar lebar.

Rating?
6 dari 10

Komentar