Cinta dari Wamena


"Film edukatif tentang tiga sahabat yang mengejar mimpi di tanah Papua ini memang minim dalam hal estetika film, namun itikad baiknya sebagai media informasi bagi daerah pelosok patut diapresiasi"

Tiga sahabat Litius, Tembi, dan Martha yang tinggal di pedalaman Papua bermimpi ingin melanjutkan sekolah. SMA terdekat dan gratis hanya ada di Wamena, salah satu kota besar yang ada di Papua. Dihadapkan pada gaya hidup kota dengan segala modernitasnya, ketiga sahabat ini menghadapi gegar budaya dengan caranya masing-masing. Tembi yang tampak paling bijak dan paling tegar harus terjerumus pada minuman keras dan seks bebas. Martha mengejar mimpinya menjadi pramugari, dan Litius harus jatuh bangun untuk dapat kuliah di Jakarta.

Kini bertambah satu lagi film yang mengeksplorasi keindahan daerah-daerah pelosok di Indonesia. Keindahan daerah pelosok di Papua tempat Litius, Tembi, dan Martha tinggal memang mengagumkan dengan berbagai pegunungan di sekeliling mereka, sayang tidak eksplisit dijelaskan dimana tepatnya lokasi tersebut. Lalu penonton juga dibawa ke kota Wamena yang jelas mengumandangkan bahwa Papua tidak sebegitu terbelakangnya. Ada diskotik, ada tempat permainan bilyar, ada deretan toko yang menjual berbagai barang keperluan hidup, dan ada bandara. Jejak modernitas telah sampai di propinsi paling timur Indonesia. Namun ada sisi lain yang merupakan konsekuensi logis dari modernitas dan gegar budaya yang ada pada masyarakat Papua. Konsekuensi ini yang menjadi tujuan utama film ini dibuat; media informasi mengenai penyebaran HIV/AIDS.



Film ini memang akan dibawa berkeliling Papua dan diputar untuk masyarakat, terutama anak muda, sebagai salah satu media informasi mengenai HIV/AIDS. Lalu bagaimana membuat media audio-visual yang paling dekat menggambarkan kondisi kemasyarakatan di Papua? Maka berangkatlah dari kisah-kisah nyata yang ada di Papua. SMA-SMA memang hanya ada di kota besar, tapi masih banyak anak-anak muda yang tinggal di pedalaman yang ingin mengecap pendidikan setinggi mungkin. Hidup lama di pedalaman tanpa teknologi handphone, bahkan listrik, untuk kemudian tinggal di kota demi bersekolah tentulah perbenturan budaya itu tidak dapat dihindari. Yang tadinya tinggal di sebuah daerah yang minim informasi, kemudian tinggal di sebuah tempat dimana informasi mengalir dengan derasnya, layaknya minum dari air hydran. Ada yang dapat berdiri tegak, ada yang jatuh bangun, bahkan ada yang tergeletak tak berdaya melawan gegar budaya. Ketika gegar budaya desa vs kota dan masa pubertas dimana rasa keingintahuan dan hasrat seksual sedang tinggi-tingginya disatukan, plus minim informasi tentang kesehatan reproduksi, maka implikasinya adalah seks bebas dan penyakit menular seksual.

Sayang seribu sayang, pembuat film terlalu terjebak pada bagaimana film ini hanya menjadi media informasi belaka, dan menghiraukan aspek-aspek penting dalam bercerita di media audio-visual. Mulai dari disambungkannya kisah tiga sahabat ini dengan kisah pertemuan Litius dengan seorang musisi di Jakarta, yang kemudian menambahkan side story berupa kisah cinta antara musisi ini dengan pacarnya. Dan inilah dia sebuah side story yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan benang merah keseluruhan film. Tampak jelas bahwa kisah sampingan ini hanyalah pemanis semata, demi mendongkrak popularitas film ini lewat Nicolas Saputra dan Susan Bachtiar. Namun mengapa tanggung-tanggung? Bukankah sebuah side story dapat berguna untuk membangun kisah utama dalam film?

Selain itu, dialog-dialog super-cheesy dan bergeraknya jalan cerita yang sangat tidak natural juga sangat mengganggu. Memang untuk dapat menyasar masyarakat kelas menengah ke bawah harus dengan media yang mereka cukup familiar. Dalam hal ini, marilah membuat film seperti sinetron yang selalu ditonton oleh banyak orang. Namun jika dapat mendidik dengan menawarkan suatu hal baru, mengapa tidak?


Yang perlu diacungi jempol adalah Maximus Itlay, Benyamin Lagowan, Madonna Marrey yang tampak berusaha keras untuk dapat berakting senatural mungkin di depan kamera. Hasilnya memang tidak sebanding dengan akting seorang Nicolas Saputra. Namun mengingat latar belakang mereka yang mungkin sama sekali belum pernah berakting, maka usaha ini patut diapresiasi. Meski Riri Riza dapat mengarahkan anak-anak Laskar Pelangi dengan jauh lebih baik.

Film ini memang sebuah movie charity, dimana seluruh keuntungan dari film ini akan disumbangkan pada pencegahan HIV/AIDS di Papua. Memang film ini menyimpan banyak kekurangan jika dilihat dari sudut pandang media film. Namun mengingat itikad baik dan tujuan dari film ini dibuat, maka saya akan berusaha untuk tutup mata pada segala kekurangan tersebut. Setidaknya, saya menjadi jatuh cinta pada logat Papua.

Maju terus, anak muda Papua!



Indonesia | 2013 | Drama | 90 menit | Aspect Ratio 2.35 : 1

Rating?
6 dari 10

- sobekan tiket bioskop tertanggal 13 Juni 2013 -

Komentar