Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2024

Kaka Boss - Review

Gambar
Ini dia film kelima dari rumah produksi kesayangan sinefil, Imajinari Pictures. Rumah produksi milik Ernest Prakasa yang terkenal dengan mempertahankan idealisme di atas komersialisme. Film kelima ini masih juga menjunjung idealisme mereka dengan mengangkat tema dan suku yang selama ini hanya jadi objek di layar lebar maupun layar kaca; Indonesia Timur! Sebuah tema yang pastinya cukup niche dan segmented meski tidak mengurangi kualitasnya. Kaka Boss dengan mayoritas pemain dan sutradara berasal dari Indonesia Timur jelas menjadi salah satu medium suara yang paling vokal. Di atas kertas, film Kaka Boss memang berkisah tentang seorang boss penagih utang yang ingin alih profesi menjadi penyanyi demi memperbaiki citra dirinya di depan teman-teman anak perempuan semata wayangnya. Tapi di bawah kertas, film ini jelas mau membongkar citra (buruk) orang-orang Indonesia Timur yang terlanjur negatif di masyarakat banyak. Gue sendiri pun masih selalu takut bila bertatapan mata dengan orang-orang

Alien: Romulus - Review

Gambar
Alien adalah satu lagi franchise berumur panjang; 45 tahun sejak Alien tahun 1979 rilis. Franchise ini berisi quadrilogi Ripley  Alien (1979), Aliens (1986), Alien 3 (1992), dan Alien Resurrection (1997), dwilogi eksistensial Prometheus (2012) dan Alien: Covenant (2017), ditambah dwilogi crossover Alien vs. Predator (2004) dan Alien vs Predator: Requiem (2007). Nah linimasa Alien: Romulus ini ada setelah Alien (1979) dan Aliens (1986) dan tidak serta merta menegasikan kisah dalam sekuel lainnya. Sebagai salah satu fans franchise ini, gue jauh lebih suka Alien: Romulus dibandingkan 8 film lainnya. Romulus ini tampak seperti remake dengan upgrade software terbaru dari Alien (1979). Kisahnya nggak muluk-muluk membahas eksistensial manusia seperti di Prometheus dan Covenant , tapi fokus ada scifi horor yang memang jadi ciri khas film pertama Alien.  Apalagi sutradara dan penulis naskah Fede Alvarez menambahkan elemen body horror yang berhasil membuat gue meringis ngeri sepanjang fi

Trap - Review

Gambar
Sutradara dan penulis naskah M. Night Shyamalan ini memang naik turun ya dalam berkarya. Hanya satu yang konsisten; ide yang unik dan cenderung gila. Di antara film-film beliau yang lain, menurut gue Trap ini jadi yang paling biasa saja. Premis yang diangkat berupa "bagaimana jika Hannibal Lecter datang ke konser Taylor Swift". Nah film ini pun mengambil sudut pandang dari sisi antagonis yang berusaha untuk keluar dari jebakan polisi dan FBI untuk menangkapnya. Mengambil sudut pandang antagonis ini selalu membuat para penonton bingung harus mendukung siapa. Secara nggak sadar, kita selalu terbiasa mendukung si karakter utama agar tidak kena malapetaka. Tapi ketika karakter utamanya adalah penjahat sadis, maka akan butuh waktu itu mengganti pola pikir tersebut dan ingin agar dia tertangkap. Apalagi dia digambarkan sebagai seorang ayah yang baik, dan bersedia melakukan apa saja demi memenuhi permintaan anak remaja perempuannya. Tapi sampai batasan mana? Meski menonton Trap meny

Borderlands - Review

Gambar
Gue bukan pemain game Borderlands, bahkan gue baru tahu ada game ini setelah muncul trailer film ini. Tapi yang membuat gue tertarik adalah Cate Blanchett dan Kevin Hart yang jadi karakter utama dalam film ini. Terlihat juga ini adalah film aksi komedi meski berlatar planet lain dengan gaya cyber punk. Sayangnya film ini masih menderita kutukan adaptasi game ke film. Jalan ceritanya yang konon melenceng jauh dari gamenya terlihat kurang meyakinkan. Sepanjang film gue merasa datar meski disajikan deretan adegan aksi yang penuh tembakan dan ledakan. Setiap adegan aksi yang seharusnya menegangkan pun terasa hanya lewat saja. Film Borderlands memang banyak bertumpu pada penampilan Cate Blanchett dan Kevin Hart. Kombinasi mereka berdua memang kurang nyambung ya, apalagi terlihat Kevin Hart mencoba menurunkan standar komedinya dan Cate Blanchett mencoba menaikkan efek komedinya. Mereka berdua berusaha untuk bertemu di tengah namun gagal sedemikian rupa. - sobekan tiket bioskop t

Simone Biles Rising - Netflix Review

Gambar
Pas banget gue nonton Docuseries Simone Biles Rising di Netflix, bertepatan dengan kemarin Simone Biles bawa pulang 3 medali emas dan 1 perak dari Olimpiade Paris 2024. Yes, setelah dia keluar di tengah kompetisi di Olimpiade Tokyo 2020 karena alasan kesehatan mental. Buat yang nggak kenal siapa itu Simone Biles, dia ini atlet gymnastic asal AS yang digadang-gadang sebagai GOAT (Greatest of All Time). Selain menang di setiap kompetisi, sampai saat ini sudah ada 5 gerakan baru gymnastic yang dinamai pakai nama dia. Gerakan-gerakan itu: 1. The Biles (Floor), 2013 World Championships 2. The Biles (Vault), 2018 World Championships 3. The Biles II (Floor), 2019 World Championships 4. The Biles (Beam), 2019 World Championships 5. The Biles II (Vault), 2023 World Championships Sampai hari ini, baru ada 1 orang yang bisa menampilkan 1 dari 5 gerakan baru dari Simone Biles itu. Oya di dunia gymnastic, gerakan dikasih nama atletnya yang menyelesaikan gerakan tersebut dengan sempurna di kompetisi

Kabut Berduri - Netflix Review

Gambar
Di bulan Agustus tahun 2024, gue berani menobatkan Kabut Berduri / Borderless Fog sebagai film terbaik Indonesia tahun ini versi gue. So far. Sutradara dan penulis naskah favorit sinefil, Edwin, membuktikan bahwa kualitas dan semangat independen bisa terjaga meski dengan budget istimewa. Biasanya, sutradara/penulis naskah yang berangkat dari film independen dengan budget minimalis cenderung kagok dan menurun kualitasnya ketika dapat budget mevvah. Tapi tidak dengan Edwin. Lewat pundi-pundi uang Netflix yang melimpah, semangat otentisitas malah semakin membara. Buktinya, nyaris 100% film yang bercerita di Kalimantan juga syuting di sana, lebih tepatnya di Sanggau, Kalimantan Barat. Kita tahu persis betapa mahal biaya yang harus dikeluarkan ketika syuting dilakukan jauh dari ibu kota lama. Ini juga termasuk melibatkan aktor dan kru lokal, yang ternyata punya talenta yang nggak kalah dari talenta di kota besar. Beradu dialog dengan aktor lokal, mau tidak mau aktor dari Jakarta juga harus

Fly Me to the Moon - Review

Gambar
Apa jadinya kalau adegan pendaratan di bulan itu benar-benar dibuat di studio di bumi? Film Fly Me to the Moon bermain-main dengan teori konspirasi tersebut dan meluaskannya dengan plot cerita yang meyakinkan. Film ini pun masuk dalam kategori historical fiction dengan mengambil sebagian besar elemen sejarah, kemudian membuat kisah fiksi di antaranya.  Fly Me to the Moon berangkat dari kisah betapa tidak populernya program NASA ke bulan yang menghabiskan pajak dari uang rakyat. Maka dari itu, pemerintah yang dipimpin Richard Nixon mempekerjakan seorang profesional di bidang marketing. Tugasnya sederhana, membuat program Nasa ke bulan jadi lebih populer dan didukung oleh rakyat dan wakil rakyat. Tapi sampai batas mana? Ternyata sampai batas jika astronot gagal mendarat di bulan, jadi mereka pun harus menyiapkan adegan alternatif astronot melangkahkan kaki di bulan yang disyuting di studio. Meski berlatar tahun 1969, tapi menurut gue film ini jauh dari kata membosankan. Penampilan Scar