Turah
"Kisah manusia-manusia sisa dan terlupakan dari dunia, dengan penggambaran yang kelewat nyata"
Kerasnya persaingan hidup menyisakan orang-orang kalah di Kampung Tirang. Mereka diliputi pesimisme dan perasaan takut kepada Darso, juragan kaya yang memberi mereka ‘kehidupan’. Pakel, sarjana penjilat di lingkaran Darso, dengan pintar membuat warga kampung makin bermental kerdil. Situasi tersebut memudahkannya untuk terus mengeruk keuntungan. Setitik optimisme dan harapan untuk lepas dari kehidupan tanpa daya hadir pada Turah dan Jadag. Peristiwa-peristiwa yang terjadi mendorong Turah dan Jadag untuk melawan rasa takut yang sudah akut dan meloloskan diri dari narasi penuh kelicikan. Ini adalah usaha sekuat daya dari mereka, orang-orang di Kampung Tirang, agar mereka tidak lagi menjadi manusia kalah, manusia sisa-sisa.
Setelah Siti (2014), rumah produksi Fourcolours Films menelurkan karyanya lagi yang tetep berfokus pada potret marginal di masyarakat Indonesia. Kali ini potret tersebut menggambarkan kehidupan Kampung Tirang yang terletak di delta seluas 13.581 meter persegi di tengah muara. Kampung ini nyata adanya di pesisir utara kota Tegal, Jawa Tengah dan sudah bertahun-tahun terisolasi dari daratan utama dengan tidak adanya listrik. Dalam film Turah, digambarkan bagaimana keterisolasian ini dimanfaatkan oleh seorang juragan untuk mengambil keuntungan semata. Hasilnya adalah interaksi antara manusia-manusia tertindas, yang kemudian bereaksi sesuai karakter masing-masing. Pilihan reaksi ini yang menjadi gambaran vulgar dan apa adanya mengenai memprihatinkannya kondisi masyarakat kelas bawah.
Gaya bercerita Turah bisa dibilang lebih mudah diikuti ketimbang Siti yang berat dengan bahasa gambar. Dalam Turah, kita benar-benar disuguhkan aksi-reaksi dengan deretan dialog yang penuh emosi. Penceritaan ini tambah meyakinkan dengan akting yang sangat baik dari para pemerannya - yang kebanyakan aktor dan aktrisnya memiliki latar belakang pengalaman teater di kota Tegal. Saking meyakinkannya, gue nyaris percaya bahwa Ubaidillah dan Slamet Ambari adalah benar-benar warga Kampung Tirang yang tertindas oleh kesewenangan orang-orang berkuasa.
Film ini memang fokus pada dua karakter yang memilih reaksi berbeda atas keadaan yang dialaminya; Turah yang cenderung lebih sabar dan Jadag yang emosional. Keduanya sama-sama menonjol daripada masyarakat lainnya yang lebih memilih bersyukur dan menerima keadaan. Menonjol dalam artian sama-sama tergelitik dengan keadaan dan ingin melakukan sesuatu untuk keluar. Namun perbedaan reaksi mereka yang 180' pastinya membawa konsekuensi tersendiri. Lebih sering, cara radikal malah menambah permasalahan ketimbang menyelesaikannya.
Rada sulit memang untuk memahami Turah, apalagi menyukainya. Atau setidaknya, perlu diendapkan dulu selama beberapa hari agar memberikan waktu yang cukup untuk mengakar. Sesaat setelah selesai menonton, penggambaran masyarakat Kampung Tirang ini memang membuat perasaan menjadi kalut. Tetapi setelah beberapa hari, rasa kalut tersebut perlahan menjadi kagum dan tersentuh oleh setiap karakter yang muncul - bahkan karakter sampingan macam si penjaga kambing dan istri Turah. Pada akhirnya, film Turah menjadi penggambaran isu sosial yang sangat sederhana, dengan subjek-subjek yang dapat dengan mudah terlewatkan dan terlupakan. Dengan begitu, kisah seperti ini menjadi sangat penting untuk divisualisasikan.
Indonesia | 2016 | Drama | 83 menit | Scope Aspect Ratio 2.35 : 1
Pemenang untuk Special Mention (Asian Feature Film Competition), Singapore International Film Festival, 2016.
Pemenang untuk Netpac Award, Jogja-NETPAC Asian Film Festival, 2016.
Rating?
8 dari 10
- sobekan tiket bioskop tanggal 18 Agustus 2017 -
----------------------------------------------------------
Kerasnya persaingan hidup menyisakan orang-orang kalah di Kampung Tirang. Mereka diliputi pesimisme dan perasaan takut kepada Darso, juragan kaya yang memberi mereka ‘kehidupan’. Pakel, sarjana penjilat di lingkaran Darso, dengan pintar membuat warga kampung makin bermental kerdil. Situasi tersebut memudahkannya untuk terus mengeruk keuntungan. Setitik optimisme dan harapan untuk lepas dari kehidupan tanpa daya hadir pada Turah dan Jadag. Peristiwa-peristiwa yang terjadi mendorong Turah dan Jadag untuk melawan rasa takut yang sudah akut dan meloloskan diri dari narasi penuh kelicikan. Ini adalah usaha sekuat daya dari mereka, orang-orang di Kampung Tirang, agar mereka tidak lagi menjadi manusia kalah, manusia sisa-sisa.
Setelah Siti (2014), rumah produksi Fourcolours Films menelurkan karyanya lagi yang tetep berfokus pada potret marginal di masyarakat Indonesia. Kali ini potret tersebut menggambarkan kehidupan Kampung Tirang yang terletak di delta seluas 13.581 meter persegi di tengah muara. Kampung ini nyata adanya di pesisir utara kota Tegal, Jawa Tengah dan sudah bertahun-tahun terisolasi dari daratan utama dengan tidak adanya listrik. Dalam film Turah, digambarkan bagaimana keterisolasian ini dimanfaatkan oleh seorang juragan untuk mengambil keuntungan semata. Hasilnya adalah interaksi antara manusia-manusia tertindas, yang kemudian bereaksi sesuai karakter masing-masing. Pilihan reaksi ini yang menjadi gambaran vulgar dan apa adanya mengenai memprihatinkannya kondisi masyarakat kelas bawah.
Gaya bercerita Turah bisa dibilang lebih mudah diikuti ketimbang Siti yang berat dengan bahasa gambar. Dalam Turah, kita benar-benar disuguhkan aksi-reaksi dengan deretan dialog yang penuh emosi. Penceritaan ini tambah meyakinkan dengan akting yang sangat baik dari para pemerannya - yang kebanyakan aktor dan aktrisnya memiliki latar belakang pengalaman teater di kota Tegal. Saking meyakinkannya, gue nyaris percaya bahwa Ubaidillah dan Slamet Ambari adalah benar-benar warga Kampung Tirang yang tertindas oleh kesewenangan orang-orang berkuasa.
Film ini memang fokus pada dua karakter yang memilih reaksi berbeda atas keadaan yang dialaminya; Turah yang cenderung lebih sabar dan Jadag yang emosional. Keduanya sama-sama menonjol daripada masyarakat lainnya yang lebih memilih bersyukur dan menerima keadaan. Menonjol dalam artian sama-sama tergelitik dengan keadaan dan ingin melakukan sesuatu untuk keluar. Namun perbedaan reaksi mereka yang 180' pastinya membawa konsekuensi tersendiri. Lebih sering, cara radikal malah menambah permasalahan ketimbang menyelesaikannya.
Rada sulit memang untuk memahami Turah, apalagi menyukainya. Atau setidaknya, perlu diendapkan dulu selama beberapa hari agar memberikan waktu yang cukup untuk mengakar. Sesaat setelah selesai menonton, penggambaran masyarakat Kampung Tirang ini memang membuat perasaan menjadi kalut. Tetapi setelah beberapa hari, rasa kalut tersebut perlahan menjadi kagum dan tersentuh oleh setiap karakter yang muncul - bahkan karakter sampingan macam si penjaga kambing dan istri Turah. Pada akhirnya, film Turah menjadi penggambaran isu sosial yang sangat sederhana, dengan subjek-subjek yang dapat dengan mudah terlewatkan dan terlupakan. Dengan begitu, kisah seperti ini menjadi sangat penting untuk divisualisasikan.
Indonesia | 2016 | Drama | 83 menit | Scope Aspect Ratio 2.35 : 1
Pemenang untuk Special Mention (Asian Feature Film Competition), Singapore International Film Festival, 2016.
Pemenang untuk Netpac Award, Jogja-NETPAC Asian Film Festival, 2016.
Rating?
8 dari 10
- sobekan tiket bioskop tanggal 18 Agustus 2017 -
----------------------------------------------------------
- review film turah
- review turah
- turah movie review
- turah film review
- resensi film turah
- resensi turah
- ulasan turah
- ulasan film turah
- sinopsis film turah
- sinopsis turah
- cerita turah
- jalan cerita turah
Komentar
Posting Komentar