Kartini
"Biografi sederhana yang cantik dan rupawan tentang pahlawan wanita Indonesia"
Kisah nyata tentang pahlawan wanita Indonesia yang memperjuangkan kesetaraan hak wanita, Kartini. Pada penjajahan Belanda tahun 1900, pulau Jawa dipimpin oleh para bangsawan Jawa dibawah pengawasan pemerintahan kolonial. Hanya bangsawan dan keturunannya yang boleh mendapatkan pendidikan. Pada saat itu, wanita hanya memiliki satu tujuan; menjadi istri dari seorang pria yang dijodohkan dengannya. Di bawah kekangan tradisi yang telah mengakar, Kartini memperjuangkan kesetaraan hak bagi semua orang.
Satu lagi adaptasi dari biografi Kartini yang sangat melegenda ini terbilang cukup modern dan berani. Kartini yang hidup sebagai bangsawan, digambarkan sebagai seseorang yang memang tunduk pada tradisi di luar namun tidak di dalam. Memang persis seperti anekdot yang terus menerus diulang sepanjang film; "tubuh boleh terpasung, tapi jiwa dan pikiran harus terbang sebebas-bebasnya".
Yang menarik dari film yang bisa dibilang populer ini adalah penataan kamera yang terbilang sangat artistik. Ada banyak adegan-adegan dengan komposisi yang cantik, apalagi deretan insert yang menawan. Pujian jelas harus dialamatkan pada sinematografer Faozan Rizal yang tampaknya kali ini bisa berbicara lebih banyak untuk menerjemahkan budaya Jawa yang kental dan mengakar dalam bahasa gambar. Sayangnya, ada beberapa adegan yang terlalu dramatis khas sutradara Hanung Bramantyo dengan tangis dan scoring yang terlampau keras.
Dian Sastro sendiri berhasil menggambarkan sosok Kartini yang bisa dibilang terbilang modern di masa itu. Bukan hanya pemikirannya saja yang jauh lebih maju dibandingkan wanita lainnya, tetapi juga perilakunya. Penggambaran Kartini dan kedua adiknya yang hobi duduk di atas tembok pembatas untuk menghabiskan waktu, bisa dibilang sebagai simbol bahwa mereka bertiga menentang tembok pembatas antara wanita dan pria. Kepiawaian akting Dian Sastro mampu menerjemahkan jiwa dan pemikiran bebas seorang Kartini, tanpa harus bersikap terlalu radikal di tradisi konservatif Jawa yang mengakar.
Yang menarik dari naskah karya Bagus Bramanti dan Hanung Bramantyo adalah titik berat perlawanan Kartini pada tradisi budaya Jawa yang terbilang sangat konservatif. Banyak deretan dialog yang terkesan menggurui, tetapi sangat penting untuk diutarakan yang tepat pada porsinya. Seperti misalnya anekdot bahwa "aksara Londo" mengajarkan kebebasan tetapi tidak mengajarkan "pangku" atauu hormat pada tradisi. Atau sedikit segmen yang menyentil agama bahwa di Al-Quran pun diajarkan bahwa manusia harus membaca, tidak peduli jenis kelaminnya.
Indonesia | 2017 | Biografi / Drama | 119 menit | Scope Aspect Ratio 2.35 : 1
Rating?
7 dari 10
- sobekan tiket bioskop tanggal 25 April 2017 -
----------------------------------------------------------
Kisah nyata tentang pahlawan wanita Indonesia yang memperjuangkan kesetaraan hak wanita, Kartini. Pada penjajahan Belanda tahun 1900, pulau Jawa dipimpin oleh para bangsawan Jawa dibawah pengawasan pemerintahan kolonial. Hanya bangsawan dan keturunannya yang boleh mendapatkan pendidikan. Pada saat itu, wanita hanya memiliki satu tujuan; menjadi istri dari seorang pria yang dijodohkan dengannya. Di bawah kekangan tradisi yang telah mengakar, Kartini memperjuangkan kesetaraan hak bagi semua orang.
Satu lagi adaptasi dari biografi Kartini yang sangat melegenda ini terbilang cukup modern dan berani. Kartini yang hidup sebagai bangsawan, digambarkan sebagai seseorang yang memang tunduk pada tradisi di luar namun tidak di dalam. Memang persis seperti anekdot yang terus menerus diulang sepanjang film; "tubuh boleh terpasung, tapi jiwa dan pikiran harus terbang sebebas-bebasnya".
Yang menarik dari film yang bisa dibilang populer ini adalah penataan kamera yang terbilang sangat artistik. Ada banyak adegan-adegan dengan komposisi yang cantik, apalagi deretan insert yang menawan. Pujian jelas harus dialamatkan pada sinematografer Faozan Rizal yang tampaknya kali ini bisa berbicara lebih banyak untuk menerjemahkan budaya Jawa yang kental dan mengakar dalam bahasa gambar. Sayangnya, ada beberapa adegan yang terlalu dramatis khas sutradara Hanung Bramantyo dengan tangis dan scoring yang terlampau keras.
Dian Sastro sendiri berhasil menggambarkan sosok Kartini yang bisa dibilang terbilang modern di masa itu. Bukan hanya pemikirannya saja yang jauh lebih maju dibandingkan wanita lainnya, tetapi juga perilakunya. Penggambaran Kartini dan kedua adiknya yang hobi duduk di atas tembok pembatas untuk menghabiskan waktu, bisa dibilang sebagai simbol bahwa mereka bertiga menentang tembok pembatas antara wanita dan pria. Kepiawaian akting Dian Sastro mampu menerjemahkan jiwa dan pemikiran bebas seorang Kartini, tanpa harus bersikap terlalu radikal di tradisi konservatif Jawa yang mengakar.
Yang menarik dari naskah karya Bagus Bramanti dan Hanung Bramantyo adalah titik berat perlawanan Kartini pada tradisi budaya Jawa yang terbilang sangat konservatif. Banyak deretan dialog yang terkesan menggurui, tetapi sangat penting untuk diutarakan yang tepat pada porsinya. Seperti misalnya anekdot bahwa "aksara Londo" mengajarkan kebebasan tetapi tidak mengajarkan "pangku" atauu hormat pada tradisi. Atau sedikit segmen yang menyentil agama bahwa di Al-Quran pun diajarkan bahwa manusia harus membaca, tidak peduli jenis kelaminnya.
Indonesia | 2017 | Biografi / Drama | 119 menit | Scope Aspect Ratio 2.35 : 1
Rating?
7 dari 10
- sobekan tiket bioskop tanggal 25 April 2017 -
----------------------------------------------------------
- review film kartini
- review kartini
- kartini movie review
- resensi film kartini
- resensi kartini
- ulasan kartini
- ulasan film kartini
- sinopsis film kartini
- sinopsis kartini
- cerita kartini
- jalan cerita kartini
Komentar
Posting Komentar