Roaring Currents
"Film perang laut yang kolosal dan megah, namun penuh dengan unsur dramatisasi yang melambatkan alur cerita"
Film ini berkisah tentang kejadian nyata pada momen Perang Myeongryang tahun 1597, selama masa invasi Jepang ke semenanjung Korea. Kisah dalam film ini berfokus pada usaha admiral Yi Sun-Shin di selat Myeongryang yang berhasil menenggelamkan 133 kapal Jepang hanya dengan 13 armada kapal perangnya. Sebuah kemenangan besar yang menjadi sejarah bangsa Korea, yang ternyata memiliki banyak rintangan sulit untuk mencapainya.
Diluar detil akurasi fact vs fiction, Roaring Currents aka The Admiral cukup epik dalam menggambarkan naval war atau perang diatas laut. Bayangkan Master and Commander (2003) namun di nuansa abad ke-16 dan berada di Asia. Tambahan, aktor Korea Selatan yang tenar: Choi Min-Sik (Oldboy, Lucy) Untuk penonton non-Korea, mungkin film ini "hanya" menjadi film perang laut yang kolosal serta sebuah kebanggaan tersendiri bagi sinema di Asia. Namun bagi penonton Korea, film ini tidak hanya menjadi titik puncak dunia perfilman di Korea, tetapi juga adalah sebagai kebanggaan atas titik sejarah mereka. Maka tidak heran jika Roaring Currents mengukir sejarah sebagai film berpendapatan terbanyak di Korea Selatan, bahkan melampaui Avatar (2009).
Dalam 126 menit, mungkin setengah awal dari durasi film akan terasa cukup lambat - apalagi jika anda tidak mengerti siapa itu sosok Yi Sun-Shin sebelum membeli tiket (do your homework by googling it). Namun bagi anda yang menantikan adegan-adegan pertempuran antar-kapal, jelas akan sangat terpuaskan dengan setengah akhir dari film ini. Pembuat film benar-benar memberikan semuanya; mulai dari adu tembak meriam, adu panah, pertarungan jarak dekat, hingga strategi jenius yang memanfaatkan arus air laut. Adegan-adegan aksinya cukup menegangkan dan dieksekusi dengan cukup efektif. Efek visual pun cukup meyakinkan, meski di beberapa bagian perlu dimaklumi saja.
Kisah heroik dalam Roaring Currents mungkin masih pararel dengan kisah 300 prajurit Sparta; bahwa Daud tidak serta-merta akan kalah dari Goliath yang jauh lebih besar dan kuat. Film ini tidak menitikberatkan pada strategi jenius sebagai jalan keluar untuk kemenangan dalam situasi apapun. Tampak jelas bahwa film ini ingin para penontonnya sadar dan paham bahwa semangat pantang menyerah, kepercayaan diri, berkorban demi sesuatu yang lebih besar, hingga mengubah ketakutan menjadi keberanian. Semua ini ditampilkan tidak hanya lewat dialog semata, tetapi juga dibuktikan dengan berbagai tingkah laku dan berbagai pilihan keputusan yang dibuat oleh setiap karakter dalam film.
Menurut gue, Roaring Currents masih menderita dramatisasi adegan ala drama Korea. Adegan-adegan zoom in atau close up terhadap raut dan ekspresi para karakter yang sedang disorot memang perlu, tapi akan terasa mengganggu jika diberikan terlalu banyak. Dramatisasi ini yang akhirnya sedikit banyak menurunkan intensitas ketegangan yang telah dibangun selama deretan adegan aksi.
Tidak hanya dari segi cerita, film ini juga menyajikan detil yang semirip mungkin dengan kenyataan berkat riset yang luar biasa. Mulai dari kostum, senjata, hingga detil kapal perang kuno baik dari pihak Korea maupun Jepang. Untuk penikmat sejarah, jelas parade aksesoris yang ada dalam film ini akan sangat membantu untuk memberikan gambaran seperti apa tampak rupa perlengkapan perang di abad ke-16.
South Korea | 2014 | History / War | 126 min | Aspect Ratio 2.35 : 1
Rating?
7 dari 10
- sobekan tiket bioskop tanggal 13 September 2014 -
Film ini berkisah tentang kejadian nyata pada momen Perang Myeongryang tahun 1597, selama masa invasi Jepang ke semenanjung Korea. Kisah dalam film ini berfokus pada usaha admiral Yi Sun-Shin di selat Myeongryang yang berhasil menenggelamkan 133 kapal Jepang hanya dengan 13 armada kapal perangnya. Sebuah kemenangan besar yang menjadi sejarah bangsa Korea, yang ternyata memiliki banyak rintangan sulit untuk mencapainya.
Diluar detil akurasi fact vs fiction, Roaring Currents aka The Admiral cukup epik dalam menggambarkan naval war atau perang diatas laut. Bayangkan Master and Commander (2003) namun di nuansa abad ke-16 dan berada di Asia. Tambahan, aktor Korea Selatan yang tenar: Choi Min-Sik (Oldboy, Lucy) Untuk penonton non-Korea, mungkin film ini "hanya" menjadi film perang laut yang kolosal serta sebuah kebanggaan tersendiri bagi sinema di Asia. Namun bagi penonton Korea, film ini tidak hanya menjadi titik puncak dunia perfilman di Korea, tetapi juga adalah sebagai kebanggaan atas titik sejarah mereka. Maka tidak heran jika Roaring Currents mengukir sejarah sebagai film berpendapatan terbanyak di Korea Selatan, bahkan melampaui Avatar (2009).
Dalam 126 menit, mungkin setengah awal dari durasi film akan terasa cukup lambat - apalagi jika anda tidak mengerti siapa itu sosok Yi Sun-Shin sebelum membeli tiket (do your homework by googling it). Namun bagi anda yang menantikan adegan-adegan pertempuran antar-kapal, jelas akan sangat terpuaskan dengan setengah akhir dari film ini. Pembuat film benar-benar memberikan semuanya; mulai dari adu tembak meriam, adu panah, pertarungan jarak dekat, hingga strategi jenius yang memanfaatkan arus air laut. Adegan-adegan aksinya cukup menegangkan dan dieksekusi dengan cukup efektif. Efek visual pun cukup meyakinkan, meski di beberapa bagian perlu dimaklumi saja.
Kisah heroik dalam Roaring Currents mungkin masih pararel dengan kisah 300 prajurit Sparta; bahwa Daud tidak serta-merta akan kalah dari Goliath yang jauh lebih besar dan kuat. Film ini tidak menitikberatkan pada strategi jenius sebagai jalan keluar untuk kemenangan dalam situasi apapun. Tampak jelas bahwa film ini ingin para penontonnya sadar dan paham bahwa semangat pantang menyerah, kepercayaan diri, berkorban demi sesuatu yang lebih besar, hingga mengubah ketakutan menjadi keberanian. Semua ini ditampilkan tidak hanya lewat dialog semata, tetapi juga dibuktikan dengan berbagai tingkah laku dan berbagai pilihan keputusan yang dibuat oleh setiap karakter dalam film.
Menurut gue, Roaring Currents masih menderita dramatisasi adegan ala drama Korea. Adegan-adegan zoom in atau close up terhadap raut dan ekspresi para karakter yang sedang disorot memang perlu, tapi akan terasa mengganggu jika diberikan terlalu banyak. Dramatisasi ini yang akhirnya sedikit banyak menurunkan intensitas ketegangan yang telah dibangun selama deretan adegan aksi.
Tidak hanya dari segi cerita, film ini juga menyajikan detil yang semirip mungkin dengan kenyataan berkat riset yang luar biasa. Mulai dari kostum, senjata, hingga detil kapal perang kuno baik dari pihak Korea maupun Jepang. Untuk penikmat sejarah, jelas parade aksesoris yang ada dalam film ini akan sangat membantu untuk memberikan gambaran seperti apa tampak rupa perlengkapan perang di abad ke-16.
South Korea | 2014 | History / War | 126 min | Aspect Ratio 2.35 : 1
Rating?
7 dari 10
- sobekan tiket bioskop tanggal 13 September 2014 -
Komentar
Posting Komentar