Meek's Cutoff
Sobekan tiket bioskop tertanggal 19 April 2011 adalah Meek's Cutoff. Tadinya gue memutuskan untuk melewati film ini ketika melihat poster dan membaca sinopsis singkatnya. Tapi setelah membaca berbagai review positif tentang film ini, plus memberikan tanggapan positif atas penampilan Michelle Williams, rasa ketertarikan itu pun perlahan mulai muncul. Apalagi sudah cukup lama bagi gue untuk tidak menikmati film kelas arthouse seperti ini.
Tahun 1845 di gurun Oregon, sekelompok orang melakukan perjalanan untuk menuju suatu tempat. Setelah meninggalkan aliran sungai dan membawa pasokan air yang cukup, perjalanan yang diperkirakan hanya memakan hitungan hari pun menjadi lebih dari satu minggu. Persediaan air yang berkurang, panasnya sinar matahari, dan kehilangan arah, mereka pun mencoba bertahan sebisa mungkin. Sampai suatu waktu mereka menangkap seorang Indian dan memaksanya untuk menunjukkan jalan menuju mata air.
Butuh kesabaran yang lebih untuk menonton film semacam ini. Pergerakan jalan cerita yang demikian lambat, jarangnya dialog yang keluar dari para karakter, hanya gambar-gambar yang berbicara. Setengah film pertama, gue masih tertarik dengan apa yang disajikan di layar. Perkenalan karakter, pameran pemandangan yang luar biasa, sinematografi yang brilian, tone warna yang menyejukkan mata. Namun sulit untuk bertahan di tiga perempat film karena gue masih mengais-ngais apa yang mau disampaikan oleh film ini. Beruntung si Indian muncul sehingga membawa konflik tersendiri di dalam cerita. Seperempat film terakhir gue mulai bisa menangkap pesan apa yang ingin dibawakan oleh film ini. Namun ending yang diberikan, hadeuh benar-benar tipikal film-film non-mainstream yang membuat penonton garuk-garuk kepala tidak puas. Tapi menurut gue cukup fair mengingat cerita yang telah dijalani selama 104 menit.
Bayangkan The Way Back, namun hilangkan dramatisasi cerita dan tensi tinggi yang ada. Kurangi juga dialog-dialog sampai setidaknya menjadi setengah dari durasi film dan dengan latar belakang gurun sepanjang waktu. Tapi justru kekuatan film ini ada di tajamnya sinematografi menangkap latar gurun yang kering dan menyengat serta kedalaman akting yang dihayati oleh para pemerannya. Semua pemeran benar-benar memberikan yang terbaik sampai sulit untuk melihat siapa yang lebih menonjol daripada yang lain. Bahkan si Indian yang sepanjang film tidak berbahasa Inggris sama sekali, namun sedikit banyak gue bisa "memahami" apa yang sedang dia utarakan, atau apa yang sedang dia pikirkan hanya dengan melihat ekspresi wajah dan pandangan matanya. Oya, gue cukup senang melihat kembali penampilan Paul Dano yang bermain brilian dalam film ini. Dia memang salah satu aktor muda berbakat yang bisa menjadi siapa saja dengan latar apa saja. Special mention untuk Michelle Williams yang selalu mau untuk bermain dalam film-film non-mainstream dan memerankan karakter membumi namun memberikan kedalaman yang berarti. Menurut gue, Michelle Williams itu bagaikan Natalie Portman yang bergerak di film-film kelas arthouse dan bukan film-film komersil a la Hollywood.
Sepertinya pembuat film ini ingin memberikan kebebasan sebebas-bebasnya kepada penonton untuk memetik makna dan pesan menurut interpretasi masing-masing. Dari petunjuk-petunjuk yang bersebaran di sepanjang film, gue memilih untuk meresapi satu makna yang rasanya ini yang ingin diberikan oleh pembuat film. Kalaupun bukan, ya setidaknya inilah interpretasi gue akan film ini. Menurut gue, film ini ingin bercerita mengenai bagaimana dominasi kekuatan superior terhadap inferior berdasarkan faktor sejarah dan lingkungan yang ada. Dengan setting Western di tahun 1845, tentunya budaya patriarkis masih kuat menancap di dunia Barat. Beberapa adegan dalam film ini jelas menunjukkan betapa pria masih mendominasi wanita dengan dalih ingin melindungi wanita. Terlihat bagaimana wanita yang menikmati setiap momen dimana pria mengambil keputusan, dan terlihat juga ada karakter wanita yang merasa gregetan ketika tidak diberi kesempatan untuk berpendapat. Selain itu, dominasi ini juga terlihat antara kaum pendatang dengan penduduk pribumi lewat kedatangan si Indian. Mungkin ini bukan tema yang jarang diangkat oleh film-film lainnya, tapi dalam film ini kita diberikan sudut pandang yang lumayan banyak dari sisi Indian, walaupun tidak berbahasa Inggris. Justru lewat kemisteriusannya, penonton malah menjadi seakan lebih dekat terhadap si Indian - entah karena simpati atau ingin memahami lebih jauh karakter Indian ini hanya lewat ekspresi wajah dan pandangan mata.
Ini dia menariknya, film ini seakan memberikan sudut pandang justru dari kaum inferior. Kira-kira apa yang dikatakan, dirasakan, dan dipikirkan oleh wanita-wanita ini ketika para pria mengambil keputusan tanpa mengindahkan pendapat mereka? Kira-kira apa yang dikatakan, dirasakan, dan dipikirkan oleh si Indian ketika orang-orang Amerika ini membentak-bentak dia dalam bahasa Inggris yang tidak ia mengerti? Hadirnya karakter-karakter pria yang dominan ini seakan lewat saja dari atensi penonton karena terlalu "capek" melihat tingkah pola mereka yang seakan kurang respek terhadap sisi lain. Alih-alih, penonton malah secara tidak sadar memberikan simpati tersendiri pada setiap karakter wanita dan si Indian akibat perlakuan yang diterima oleh mereka.
Sebelum gue menulis terlalu banyak dan detil tentang film ini, akhir kata film ini cukup cocok bagi mereka yang cukup bosan dengan film-film mainstream dan menghibur. Betul, film semacam ini memang bukan sebagai bahan hiburan melainkan sebuah bahan studi baik dari segi teknis film ataupun cerita serta makna yang ada dalam film ini.
Rating?
7 dari 10
Tahun 1845 di gurun Oregon, sekelompok orang melakukan perjalanan untuk menuju suatu tempat. Setelah meninggalkan aliran sungai dan membawa pasokan air yang cukup, perjalanan yang diperkirakan hanya memakan hitungan hari pun menjadi lebih dari satu minggu. Persediaan air yang berkurang, panasnya sinar matahari, dan kehilangan arah, mereka pun mencoba bertahan sebisa mungkin. Sampai suatu waktu mereka menangkap seorang Indian dan memaksanya untuk menunjukkan jalan menuju mata air.
Butuh kesabaran yang lebih untuk menonton film semacam ini. Pergerakan jalan cerita yang demikian lambat, jarangnya dialog yang keluar dari para karakter, hanya gambar-gambar yang berbicara. Setengah film pertama, gue masih tertarik dengan apa yang disajikan di layar. Perkenalan karakter, pameran pemandangan yang luar biasa, sinematografi yang brilian, tone warna yang menyejukkan mata. Namun sulit untuk bertahan di tiga perempat film karena gue masih mengais-ngais apa yang mau disampaikan oleh film ini. Beruntung si Indian muncul sehingga membawa konflik tersendiri di dalam cerita. Seperempat film terakhir gue mulai bisa menangkap pesan apa yang ingin dibawakan oleh film ini. Namun ending yang diberikan, hadeuh benar-benar tipikal film-film non-mainstream yang membuat penonton garuk-garuk kepala tidak puas. Tapi menurut gue cukup fair mengingat cerita yang telah dijalani selama 104 menit.
Bayangkan The Way Back, namun hilangkan dramatisasi cerita dan tensi tinggi yang ada. Kurangi juga dialog-dialog sampai setidaknya menjadi setengah dari durasi film dan dengan latar belakang gurun sepanjang waktu. Tapi justru kekuatan film ini ada di tajamnya sinematografi menangkap latar gurun yang kering dan menyengat serta kedalaman akting yang dihayati oleh para pemerannya. Semua pemeran benar-benar memberikan yang terbaik sampai sulit untuk melihat siapa yang lebih menonjol daripada yang lain. Bahkan si Indian yang sepanjang film tidak berbahasa Inggris sama sekali, namun sedikit banyak gue bisa "memahami" apa yang sedang dia utarakan, atau apa yang sedang dia pikirkan hanya dengan melihat ekspresi wajah dan pandangan matanya. Oya, gue cukup senang melihat kembali penampilan Paul Dano yang bermain brilian dalam film ini. Dia memang salah satu aktor muda berbakat yang bisa menjadi siapa saja dengan latar apa saja. Special mention untuk Michelle Williams yang selalu mau untuk bermain dalam film-film non-mainstream dan memerankan karakter membumi namun memberikan kedalaman yang berarti. Menurut gue, Michelle Williams itu bagaikan Natalie Portman yang bergerak di film-film kelas arthouse dan bukan film-film komersil a la Hollywood.
gambar diambil dari sini |
Ini dia menariknya, film ini seakan memberikan sudut pandang justru dari kaum inferior. Kira-kira apa yang dikatakan, dirasakan, dan dipikirkan oleh wanita-wanita ini ketika para pria mengambil keputusan tanpa mengindahkan pendapat mereka? Kira-kira apa yang dikatakan, dirasakan, dan dipikirkan oleh si Indian ketika orang-orang Amerika ini membentak-bentak dia dalam bahasa Inggris yang tidak ia mengerti? Hadirnya karakter-karakter pria yang dominan ini seakan lewat saja dari atensi penonton karena terlalu "capek" melihat tingkah pola mereka yang seakan kurang respek terhadap sisi lain. Alih-alih, penonton malah secara tidak sadar memberikan simpati tersendiri pada setiap karakter wanita dan si Indian akibat perlakuan yang diterima oleh mereka.
gambar diambil dari sini |
Rating?
7 dari 10
Komentar
Posting Komentar