Eye in the Sky

"Presentasi dilema moral yang sangat menegangkan, yang mengerucut pada eksperimen kepatuhan Stanley Milgram"

Kolonel Katherine Powell memimpin sebuah misi rahasia yang bekerja sama dengan militer AS. Misi tersebut adalah untuk menangkap buronan kelas kakap yang sedang mengadakan pertemuan di negara Kenya, dalam kawasan yang dipegang kuat oleh kelompok ekstrimis. Dalam sekejap, misi berkembang dari misi penangkapan menjadi misi pembunuhan. Berkoordinasi dengan komite pemerintahan Inggris dan operator drone di AS, Kolonel Powell harus mencari cara untuk mengambil keputusan yang paling sulit.

Eye in the Sky menjadi satu lagi bukti nyata bahwa dalam sebuah film, tidak melulu perlu adegan aksi penuh peluh dan peluru untuk membawa ketegangan pada penonton. Dengan adegan aksi yang seminimal mungkin, film ini berhasil meningkatkan tensi dan banjir adrenalin hanya dengan rangkaian dialog. Semua itu demi pengembangan karakter dan situasi yang brilian, untuk kemudian dibayar dengan sempurna dalam Third Act yang akan membuat anda gemas meremas kursi bioskop lantaran terbawa suasana yang menegangkan.


Pengembangan karakter dan situasi dalam film seperti ini jelas menjadi sangat penting. Sutradara Gavin Hood dengan sabar dan rapi melakukan ini dalam dua pertiga awal film. Praktis, setiap dialog yang terucap menjadi penting sebagai karakteristis setiap karakter, yang akan berpengaruh pada setiap motivasi dan keputusan yang mereka lakukan di Third Act nanti. Mulai dari pilot drone yang masih hijau, hingga jenderal yang menempatkan keluarga sebagai prioritas utama dalam hidup. Karakter jenderal yang diperankan dengan brilian oleh mendiang Alan Rickman, yang menjadi film live-action terakhir beliau. 


Ketika penonton telah memahami latar belakang setiap karakter dengan baik, kini saatnya memasukkan mereka semua dalam situasi yang sulit dan lihat bagaimana reaksi mereka semua. Dengan brilian, Second Act dibangun hanya lewat layar monitor hasil pantauan drone hingga micro-drone berupa burung atau kumbang robot yang dilengkapi dengan HD Camera yang canggih. Cara ini benar-benar manjur untuk menempatkan penonton seakan di dalam ruangan komando bersama Kolonel Powell, dan merasakan tensi yang meningkat dalam ruangan tersebut. Di tahap ini, bonusnya adalah penonton jadi paham peran setiap posisi dalam perang modern; konfirmasi facial recognition, hingga agen lapangan - yang diperankan dengan sempurna oleh Barkhad Abdi!

Pemahaman karakter sudah di tangan, pemahaman situasi juga sudah di atas ekspektasi mengingat eskalasi tensi yang terjadi berdasarkan perkembangan yang berada di lapangan. Emosi dan perhatian penonton jelas sudah terikat dalam kait yang diumpankan oleh pembuat film. Tiba saatnya melakukan eksekusi, di sini yang akan membuat penonton terbelah menjadi dua bagian yang ekstrim. Dilema moral yang ekstrim pun muncul dengan pertimbangan politik, moral, dan personal yang campur aduk menjadi satu. 


Film ini jelas menyajikan dilema moral yang paling sulit diantara berbagai film dengan konten dilema moral, dan gue pun jatuh dalam salah satu kelompok. Situasi dan karakter yang luas di awal dan tengah film tersebut mengerucut dalam satu karakter yang sangat representatif dengan dilema moral tersebut. Diperankan dengan nyaris sempurna oleh Aaron Paul (yang selalu memerankan karakter dilematis, meski kali ini tidak dalam efek obat-obatan terlarang) yang menggambarkan sulitnya menjadi seorang algojo yang hanya menerima perintah dari pihak otoritas. Meski dengan pertimbangan logis dari berbagai sudut, sisi moralitas memang menjadi satu-satunya tembok terakhir sebelum tombol tersebut ditekan. Sebuah anggukan yang tegas terhadap eksperimen Stanley Milgram, bahwa "orang biasa" dapat menjadi agen destruktif hanya karena kepatuhan pada pihak otoritas. 

Pada akhirnya, Eye in the Sky menjadi spesial dengan pertanyaan yang dilontarkan kepada muka penonton, bahkan dengan cipratan ludah yang keluar dari setiap mulut karakternya. Mana yang lebih penting, menyelamatkan satu warga lokal atau menyelamatkan 90 warga potensial yang akan menjadi korban di masa depan nanti? Film ini juga dengan gamblang menggambarkan perbedaan sikap dua negara dalam menghadapi teroris; AS yang koboy dan sudah sangat antipati terhadap potensial teroris, dan Inggris yang masih menjunjung tinggi nilai moral dan citra diri di panggung internasional.


UK | 2016 | Drama / Thriller / War | 102 mins | Scope Aspect Ratio 2.35 : 1

Rating?
8 dari 10

- sobekan tiket bioskop tanggal 19 April 2016 -

Komentar