King

sobekan tiket bioskop tertanggal 7 Juli 2009 adalah King. mulai tertarik dengan film ini setelah nonton Garuda di Dadaku. pas baca sinopsisnya, sempet heran sih kok ada yah dua film yang mirip, tentang harapan anak kecil dalam sebuah bidang olahraga, dan rilis dalam waktu yang hampir bersamaan. tapi yawda lah, gue harap film ini sebagus Garuda di Dadaku.

Ayah Guntur adalah seorang komentator pertandingan bulutangkis antar kampung yang juga bekerja sebagai pengumpul bulu angsa, bahan untuk pembuatan shuttlecock. Dia sangat mencintai bulutangkis dan dia menularkan semangat dan kecintaannya itu pada Guntur, walaupun dia sendiri tidak bisa menjadi seorang juara bulutangkis. Mendengar cerita ayahnya tentang Liem Swie King, sang idola, Guntur bertekad untuk dapat menjadi juara dunia. Dengan segala keterbatasan dan kendala yang ada dihadapannya, sebagai sahabat setianya Raden pun selalu berusaha membantu Guntur, walaupun kadang bantuan Raden tersebut justru seringkali menyusahkannya. Namun dengan semangat yang tinggi tanpa mengenal lelah, dan pengorbanan berat yang harus dilakukan, Guntur tak henti-hentinya berjuang untuk mendapatkan beasiswa bulutangkis dan meraih cita-citanya menjadi juara dunia bulutangkis kebanggaan Indonesia dan kebanggaan keluarga seperti Liem Swie King - sang idola!

well, dari segi cerita sih oke. memberikan secercah harapan akan orang kecil untuk turut sukses menyandang prestasi setinggi-tingginya. from no one to someone.

tapi kok pola ceritanya lumayan mirip ya sama Garuda di Dadaku. dari si pemain utama yang ngebet sama bidang olahraga, dibantu oleh teman dekatnya untuk berlatih dan menggapai cita-cita, mendapat rintangan dari keluarga, di tengah cerita bertemu satu karakter yang beda jenis kelamin sebagai "pemanis", lalu terdapat konflik antara karakter utama dan si teman dekat, dan ditutup oleh bagaimana si karakter utama meraih apa yang ia cita-citakan, sekaligus membenahi hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya, termasuk teman dekatnya.

gue ga habis pikir, kenapa bisa latah gitu yah? latah dari Laskar Pelangi kah? apa karena Ary Sihasale juga ikutan maen di Garuda di Dadaku dan ia jadi terinspirasi? tapi lepas dari kemiripan pola itu, tampaknya Ary masih harus banyak belajar kepada Ifa Irfansyah.

film ini cukup datar dan flat. seperti garis lurus dari titik satu ke titik lainnya. kalaupun ada tensi, itupun hanya dipertegas oleh sinematografi dan sound effect, tapi ceritanya flat. akting ketiga anak kecil pun masih terlalu hijau untuk disandingkan dengan nama-nama seperti Surya Saputra, Mamiek Prakoso, dan Wulan Guritno.

tapi yang patut diacungi jempol adalah bagaimana Ary mampu memotret keindahan alam dari bumi Banyuwangi dan Kudus. penonton dibuat tersadar bahwa ternyata Indonesia memang banyak memiliki daerah-daerah yang eksotis.

rating?
6,8 of 10

Komentar

  1. g setuj banget mo kalo nie film mirip banget sama Garuda di dadaku.. hahaha.. g kan ntnnya 2hr berturut2.. terus berasa ntn film yang sama ya.. ahhha..

    BalasHapus

Posting Komentar