Ketika Cinta Bertasbih

sobekan tiket bioskop tertanggal 29 Juni 2009 adalah Ketika Cinta Bertasbih. well, jujur gue memang ga terlalu tertarik untuk nonton film ini. gue juga engga nonton Ayat-Ayat Cinta. tapi ya daripada penasaran terus tentang ngehitsnya film ini. ayo aja dah.

diangkat dari novel mega best seller Asia Tenggara, karya penulis bertangan dingin Habiburrahman El Shirazy. Film yang menceritakan kehidupan tokoh utamanya Khairul Azzam, seorang mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Al-Azhar University, Kairo. Cerita yang bisa menjadi inspirasi bagi kita, ketika melihat bagaimana kerja keras sang tokoh yang menuntut ilmu sekaligus berjuang menghidupi ibu dan adik-adiknya di kampung. Cerita yang juga bisa menuntun kita, ketika melihat usaha dan perjuangan Khairul Azzam dalam menemukan jodohnya dengan tetap selalu teguh berpedoman kepada ajaran agama.

hm, ga jelek-jelek amad sih. setidaknya gue udah pasang ancang-ancang dengan tidak memunculkan ekspektasi apapun sebelum nonton film ini. dari segi cerita memang bagus, secara diangkat dari novel hits juga sih. dan rasanya gue mulai menangkap maksud dari si penulis dengan menelurkan cerita seperti ini.

tapi sayang, penggarapan filmnya kurang oke. editingnya bikin ga nyaman penonton dengan terlalu sering berpindah kamera. score dan soundtrack yang lebay dan sangat engga masuk ke dalam adegan. dan juga akting dari pemain yang sangat kaku. oh my goodness, gue malah ketawa ngakak loh pas ada adegan si pemeran utama nangis2 bombay. come on, lebay banget!! apalagi dengan sound effect yang ala dangdut ketika si cowo bertemu pandang dengan si cewe. IH!

dan yang paling parah menurut gue adalah film ini engga fokus sama sekali. gue sampe bingung ini film mau cerita apa sih. di seperempat film awal, cerita cukup konsisten dengan kehidupan Azzam, sebagai karakter utama, tetapi selanjutnya, malah jadi merembet ke kehidupan di sekitar Azzam. sepertinya penulis skenario dan screenplay terlalu takut untuk tidak memasukkan beberapa side story yang ada dalam novel ke dalam film, jadinya dimasukkin semua deh yang malah membuat film ini jadi ga fokus.

satu lagi poin gue, engga ngerti maksud si pembuat film apakah berniat membuat film dengan nuansa jadul atau engga, karena dari lima menit pertama gue udah bisa nebak, okey pembuatan film ini sengaja dibikin rada kaya film jadul model Warkop dengan sound dan tone warna ala 80-an. apalagi dengan blue screen untuk adegan malam hari outdoor yang menurut gue mengganggu banget. tapi kemudian gue menemukan ada gadget Macbook, para karakter sudah mengenal internet. hlo? gimana sih? kalo settingnya skarang, knapa musti ada bluescreen segala donk? low budget ya? ;p

menurut gue, gue telah membayar sebuah tiket bioskop untuk menonton sebuah film sinetron di layar lebar selama dua jam. that's why knapa gue selalu menghindari film2 bioskop yang diproduksi oleh SinemArt.

tapi yah at least, gue dapet beberapa meaning sih, terlepas dari segi teknik film yang menurut gue perlu ditingkatkan lagi. sayang sekali, dengan cerita yang menawan, pembuatannya kurang rapih. well boleh aja sih dicap Asli Mesir. ya mungkin itu satu-satunya keunggulan di film ini.

rating?
4,5 of 10

Komentar

  1. Sampe sekarang, gue baru nonton yang part 1-nya tapi, setelah keluar dari bioskop, gue berspekulasi dengan temen gue (ceilee^^) kalo KCB ini (dengan segala ke-detail-an ceritanya--seakan-akan semua yang dari novel harus dimasukkan) adalah proyek jawaban sang penulis atas film AAC. Entah mengapa, feel gue saat menonton KCB, Kang Abik "kayanya" kecewa sama film AAC, jadi inilah seharusnya novelnya kalo dijadiin film--ga lebih, ga kurang, diusahakan sama. Hehe. Setuju dengan pendapat lo, menurut gue, beberapa cerita sampingan yang ga terlalu penting harusnya bisa dipangkas dan filmnya mungkin bisa jadi 1 part aja--yang penting maksudnya ga melenceng.

    Dan soal soundtrack... ganggu banget. Harus ya theme song itu memakai judul filmnya dalam lirik?! Jadi berkesan maksa... dan kenceng banget pas diputer dalam adegan^^

    BalasHapus
  2. yah kalo dari segi teknik, memang film-film Indonesia masih harus belajar banyak dari film-film luar. maju terus lah dunia perfilman Indonesia!

    BalasHapus

Posting Komentar