Victoria Beckham - Series Review
Sinopsis
Victoria Beckham adalah docuseries Netflix berdurasi 3 episode yang menyoroti perjalanan hidup dan karier sang ikon pop culture dari dua sisi waktu sekaligus: masa lalu dan masa kini. Serial ini merangkai kisah Victoria sejak kecil, melejit bersama Spice Girls, menjadi istri David Beckham, hingga bertransformasi sebagai desainer fashion dengan brand miliknya sendiri. Di saat yang bersamaan, docuseries ini juga mengikuti proses persiapan peragaan busana besar Victoria Beckham di Paris tahun 2024. Dengan pendekatan dua garis waktu yang berjalan paralel, Victoria Beckham menghadirkan potret ambisi, obsesi, kerja keras, dan identitas diri seorang perempuan di bawah sorotan dunia.
Ulasan
Baru beres nonton docuseries Victoria Beckham di Netflix, dan jujur: gue suka banget! Padahal cuma tiga episode, tapi storytelling-nya rapi, emosional, dan surprisingly bikin deg-degan. Bahkan buat gue, ini terasa lebih solid dan lebih “kena” dibanding docuseries Beckham (2023) yang dulu sempat hype itu. Di sini narasinya lebih fokus, lebih padat, dan tidak kebanyakan basa-basi.
Awalnya gue sebenarnya nggak terlalu tertarik. Rasanya seperti, “ya udah lah, gue kan udah nonton yang Beckham, masa nonton ini juga?” Tapi karena penasaran dan sudah terlanjur masuk ekosistem docuseries keluarga Beckham, akhirnya gue coba satu episode. Dan ternyata… engaging banget. Dari episode pertama saja gue sudah ketarik.
Yang bikin docuseries ini terasa kuat adalah cara ia membangun dua cerita sekaligus secara paralel. Kisah pertama adalah biografi Victoria Beckham: dari masa kecil, bergabung dengan Spice Girls, menjadi salah satu ikon pop terbesar di dunia, lalu menikah dengan David Beckham, hingga akhirnya banting setir membangun bisnis fashion dengan namanya sendiri. Kisah kedua berjalan di “masa kini”—mengikuti persiapan intens hingga eksekusi fashion show besar Victoria Beckham di Paris tahun 2024.
Menariknya, dua jalur cerita ini sama-sama dibangun dengan struktur dramatis yang kuat. Keduanya punya konflik, tekanan, dan klimaks masing-masing. Editing-nya rapi, ritmenya pas, sehingga dua cerita ini saling mengisi tanpa saling menenggelamkan. Klimaks keduanya dijahit perlahan sampai akhirnya sama-sama memuncak di episode ketiga. Lalu ditutup dengan dialog reflektif antara Victoria dan David tentang obsesi, kerja keras, dan “what’s next” dalam hidup mereka. Di titik itu, gue jujur pengen tepuk tangan. Penutupnya elegan dan emosional tanpa terasa manipulatif.
Dari sisi personal, docuseries ini juga bikin gue belajar banyak—baik dari sisi positif maupun negatif. Hal yang agak mengganjal buat gue adalah sisi obsesi dan kebutuhan Victoria untuk terus membuktikan diri. Dalam banyak momen, dorongan itu terasa sudah masuk wilayah “toksik”. Selalu merasa harus membuktikan sesuatu, selalu merasa belum cukup, bahkan ketika secara objektif dia sudah berada di puncak. Ini tentu sangat debatable, dan bisa jadi justru itulah yang membuat dia tetap bertahan. Tapi sebagai preferensi pribadi, pola seperti itu terasa melelahkan untuk dijalani—dan rasanya David Beckham pun beberapa kali terlihat “capek” mengimbangi ritme itu 😂.
Di sisi lain, ada banyak hal positif yang justru sangat inspiratif. Keuletan dan ketelatenan Victoria luar biasa. Ia tidak sekadar jadi “nama besar” yang duduk di menara gading, tapi benar-benar hands-on dalam bisnisnya. Ia terlibat sampai ke detail-detail kecil yang mungkin dianggap remeh oleh orang di posisinya. Dari sini keliatan bahwa kesuksesannya bukan hanya hasil ketenaran masa lalu, tapi juga hasil kerja keras yang konsisten.
Meski demikian, serial ini juga secara implisit menyentil soal bahaya micromanaging. Di satu sisi, kepedulian terhadap detail adalah kekuatan. Di sisi lain, jika tidak dikontrol, ia bisa berubah menjadi tekanan berlebihan—baik untuk diri sendiri maupun untuk tim di sekelilingnya. Ini jadi refleksi menarik tentang batas tipis antara dedikasi dan obsesi.
Kesimpulan
Buat gue, Victoria Beckham adalah contoh docuseries biografi yang efektif: ringkas, fokus, emosional, dan punya sudut pandang yang jelas. Ia tidak sekadar memoles citra, tapi juga berani menampilkan sisi rapuh, obsesif, dan ambivalen dari seorang figur publik global. Kita tidak disuruh memuja, tapi diajak memahami. Dan mungkin justru di situ kekuatan terbesarnya: ia membuat Victoria Beckham terasa bukan hanya sebagai ikon, tapi sebagai manusia—dengan mimpi besar, luka lama, ambisi tanpa rem, dan pertanyaan yang belum selesai tentang apa arti “cukup”.
Skor Sobekan Tiket Bioskop: 4/5
Cocok untuk: pecinta dokumenter kisah sukses
- ditonton di Netflix -

Komentar
Posting Komentar