Inside Out 2 - Review


Jarak 9 tahun sejak film pertamanya rilis tahun 2015 terbilang waktu yang lama. Tapi penantian tersebut terbayar tuntas lewat kisah yang luar biasa tentang "what if emotions has emotions?". Memang kisah ini nggak akan pernah selesai kecuali Riley meninggal. Kisah Inside Out 2 melanjutkan kisah pertamanya tentang Riley yang memasuki masa pubertas. Seperti yang kita tahu, masa-masa pubertas adalah masa transisi dari anak-anak ke remaja dan dipenuhi oleh berbagai emosi yang labil silih berganti. 

Ulasan ini akan penuh beberan (full spoiler) berisi interpretasi saya secara psikologis terhadap Inside Out 2. Jadi yang belum nonton, silakan berhenti baca sampai sini, bookmark page ini, lalu kembali ke sini setelah menonton.


Pertama-tama, film pertama dan kedua dari Inside Out sangat akurat secara psikologis karena memang menggunakan psikolog Dacher Keltner dan Kristin Neff sebagai konsultan. Dacher Keltner adalah professor di bidang psikolog sosial dan peneliti di bidang emosi. Kristin Neff adalah salah satu pendiri Center for Mindful Self Compassion dan pekerjaannya seputar riset tentang mindfulness, shared humanity, dan self-kindness.

Kalau Inside Out (2015) mengenalkan 5 emosi dasar (Joy, Sadness, Disgust, Fear, Anger), maka Inside Out 2 (2024) memperkenalkan 4 emosi baru yang muncul ketika Riley masuk masa pubertas (Anxiety, Envy, Embarassment, Ennui). Ajaibnya, dengan total 9 emosi / karakter yang ada dalam film berdurasi 96 menit ini tidak terasa penuh sesak dan malah semua emosi ini dieksplorasi dengan sangat baik dan cukup merata. Setiap emosi / karakter dapat porsi masing-masing meski tetap Joy dan Anxiety yang memegang lebih banyak porsi ketimbang yang lain.


Empat emosi baru ini juga sangat representatif, logis, dan akurat secara psikologis untuk menggambarkan kelabilan emosi pada masa pubertas di remaja. Terutama remaja wanita pasti mengalami kekhawatiran dan kadang berlebihan, iri terhadap orang sekitar, malu terhadap pergaulan, dan kebosanan atau kemalasan akut di situasi tertentu.

Satu plot yang menurut gue sangat jenius di departemen naskah adalah ketika Anxiety memanipulasi wahana Pillow Fort di Imagination Land. Fungsi sebenarnya Pillow Fort di Imagination Land ini adalah membantu Riley untuk tidur dan bermimpi. Tapi karena dibajak oleh Anxiety, para pekerjanya diminta untuk membuat berbagai skenario di masa depan. Efeknya Riley jadi nggak bisa tidur dan kepikiran berbagai skenario (yang tidak realistis) di masa depan. Ini sangat sangat akurat dan bisa terjadi nggak hanya di masa remaja ya. Bahkan di masa dewasa pun kita atau orang-orang yang kita kenal sering kali mengalami hal seperti ini.

Kemudian plot Anxiety yang kebablasan atau kehilangan kontrol, ini adalah visualisasi yang sangat akurat dari kondisi gangguan kesehatan mental General Anxiety Disorder (GAD). Menurut buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5 (DSM-5), GAD adalah gangguan kecemasan yang terjadi pada seseorang yang ditandai dengan rasa cemas berlebihan, khawatir, dan tegang yang tidak terkendali. Seseorang yang mengalami gangguan kecemasan biasanya bisa merasa cemas walaupun tidak sedang menghadapi situasi yang menegangkan. Gambaran Riley mengalami GAD atau anxiety attack juga sangat detil dan akurat, sesuai dengan gejala seseorang yang mengalami GAD; kecemasan berlebihan, susah tidur, keringat berlebihan, dan gemetaran.


Jika pada Inside Out (2015) plot utama cerita menitikberatkan pada usaha para emosi untuk memperbaiki Core Memories, maka sekuelnya Inside Out 2 (2024) menitikberatkan pada Belief System dan Sense of Self. Ini adalah visualisasi dari konsep identitas diri yang berangkat dan pengalaman dan memori selama hidup. Pada kasus Riley, dia memiliki Sense of Self yang berbunyi "I am a good person" karena berangkat dari Belief System seputar pengalaman dan memori yang menyenangkan dan penuh kepercayaan.

Nah ketika Anxiety berkuasa, dia berusaha membuat Sense of Self baru dan berbunyi "I'm not good enough" karena berangkat dari berbagai kekhawatiran tentang pertemanan dan permainan hoki di masa depan. Tentunya ini semua hasil kurasi dan seleksi dari emosi yang berkuasa pada saat itu; Anxiety pasti memilih Belief System dari memori yang berhubungan dengan kekhawatiran dan kecemasan saja. Sama seperti Joy yang hanya memilih kenangan yang penuh kebahagiaan saja. Padahal tidak seharusnya seperti itu.

Akhir film Inside Out 2 mengajarkan kita semua (tidak hanya anak-anak dan remaja), bahwa semua jenis kenangan, terlepas baik atau buruk, sama-sama penting untuk membentuk Belief System dan membangun Sense of Self. Tanpa kurasi atau seleksi berlebihan yang hanya condong pada satu emosi tertentu. Tentunya ini akan membentuk Belief System dan Sense of Self yang lebih jujur, apa adanya, dan merangkul semua jenis pengalaman hidup. Bahwasanya pengalaman terburuk pun bisa memberikan pelajaran terbaik agar tidak mengulanginya lagi di masa depan.

Dalam satu kesempatan wawancara saat promosi Inside Out (2015), sutradara dan penulis naskah Pete Docter bilang bahwa film tersebut memang dibuat untuk orang tua agar bisa lebih memahami pikiran anaknya dan bagaimana caranya untuk menghadapinya. Maka sekuelnya pun jelas punya tujuan yang sama; agar para orang tua paham bagaimana jalan pikiran dan emosi anaknya yang sedang puber. Penting untuk mengidentifikasi setiap jenis emosi dasar untuk kemudian tahu apa wants dan needs dari setiap emosi tersebut. Untuk kemudian bisa memberikan ruang yang bebas tapi terkontrol bagi setiap emosi untuk mengekspresikan dirinya demi membentuk Belief System dan Sense of Self yang sehat. 






- sobekan tiket bioskop tanggal 18 Juni 2024 -
----------------------------------------------------------
review film inside out 2
review inside out 2
inside out 2 movie review
inside out 2 film review
resensi film inside out 2
resensi inside out 2
ulasan inside out 2
ulasan film inside out 2
sinopsis film inside out 2
sinopsis inside out 2
cerita inside out 2
jalan cerita inside out 2




Komentar