Arctic - Review
"Film terfavorit gue di tahun 2019!"
Seorang pria terdampar di Arktik, dan harus bertahan hidup sebelum bantuan datang. Namun seorang rekannya yang terluka harus berlomba dengan waktu sebelum masanya tiba. Mereka pun terjebak dalam dilema apakah harus diam di tempat, atau terus bergerak di tengah cuaca musim dingin yang ekstrim.
Arctic dengan mudah menjadi film favorit gue tahun ini, setidaknya sejauh ini. Kesederhanaannya benar-benar membuat gue jatuh hati. Meski minim dialog dan minim karakter dengan hanya dua orang saja di sepanjang film, tapi masih mampu memberikan ketegangan yang berarti lewat adegan-adegan yang ada. Pemandangan Islandia pun benar-benar mengagumkan meski cenderung ekstrim. Semua itu dibungkus dengan scoring karya Joseph Trapanese yang asyik banget dan seakan menyatu dengan film.
Film ini juga membuka mata gue bahwa survival di daerah dingin ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Kita sudah pernah diberi gambaran dengan film-film survival mulai dari di laut, pantai, gurun, hingga luar angkasa. Rasanya baru kali ini ada film yang sangat apik menggambarkan survival sendirian di tengah salju, atau bisa dibilang Arctic adalah versi sederhananya dari The Revenant (2016). Ada sumber air yang banyak dari es, tapi nggak ada bahan bakar jadi ya sama aja. Ada sumber makanan berupa ikan, tapi ya harus dimakan mentah-mentah. Ya intinnya sama-sama susah lah kalau bertahan hidup sendirian di tengah alam yang ekstrim.
Hal lain yang sangat gue suka dari film ini adalah unsur metafora yang ada, entah diniatkan atau nggak dari para pembuat film. Di bagian pertama film kita ditunjukkan betapa si pria ini sangat mengikuti rutinitas yang ada dalam bertahan hidup; mencari makan, lalu bekerja mencari sinyal pesawat yang lewat. Semua kegiatan tersebut ditandai dengan notifikasi dari alarm jam tangan. Strategi bertahan hidupnya sangat berdasarkan insting dan naluriah. Namun semuanya berubah ketika dia menemukan manusia lain. Interaksinya dengan manusia lain lebih diutamakan, ekspresi emosi lebih variatif, meski mereka tidak saling mengerti karena perbedaan bahasa.
Metaforanya bisa berlapis dan tergantung sudut pandang masing-masing. Tapi gue lebih memilih interpretasi sebagai berikut. Kisahnya bisa diandaikan sebagai kehidupan sehari-hari kita; rutinitas sibuk bekerja dan mencari makan, ditambah dengan bunyi notifikasi berulang kali dari gawai. Sama-sama berdasarkan insting dan naluri. Tapi ternyata semua itu tidak membuat kita (dan si pria yang terdampar di arktik) menjadi manusia seutuhnya. Apa sebab? Emosi yang ditunjukkan sangat terbatas; khawatir tidak dapat makan, atau senang dapat ikan yang besar. Selain itu harapan yang semakin menipis karena tenggelam oleh rutinitas tanpa makna.
Perubahan terjadi ketika ada interaksi dengan manusia lain. Perubahan yang paling signifikan adalah pembelajaran emosi baru; merawat orang lain yang membutuhkan bantuan, atau merasa tenang karena mendapat teman senasib sepenanggungan. Variasi emosi ini yang membuat seseorang menjadi manusia seutuhnya, dan memainkan emosi menjadi sebuah seni tersendiri untuk mengelolanya atau berinteraksi dengan orang lain. Harapan? Jelas meningkat drastis dengan fakta bahwa ada teman seperjalanan.
Iceland | 2018 | Drama / Survival | 98 mins | Scope Aspect Ratio 2.30 : 1
- sobekan tiket bioskop tanggal 1 April 2019 -
----------------------------------------------------------
review film arctic
review arctic
arctic movie review
arctic film review
resensi film arctic
resensi arctic
ulasan arctic
ulasan film arctic
sinopsis film arctic
sinopsis arctic
cerita arctic
jalan cerita arctic
Seorang pria terdampar di Arktik, dan harus bertahan hidup sebelum bantuan datang. Namun seorang rekannya yang terluka harus berlomba dengan waktu sebelum masanya tiba. Mereka pun terjebak dalam dilema apakah harus diam di tempat, atau terus bergerak di tengah cuaca musim dingin yang ekstrim.
Arctic dengan mudah menjadi film favorit gue tahun ini, setidaknya sejauh ini. Kesederhanaannya benar-benar membuat gue jatuh hati. Meski minim dialog dan minim karakter dengan hanya dua orang saja di sepanjang film, tapi masih mampu memberikan ketegangan yang berarti lewat adegan-adegan yang ada. Pemandangan Islandia pun benar-benar mengagumkan meski cenderung ekstrim. Semua itu dibungkus dengan scoring karya Joseph Trapanese yang asyik banget dan seakan menyatu dengan film.
Film ini juga membuka mata gue bahwa survival di daerah dingin ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Kita sudah pernah diberi gambaran dengan film-film survival mulai dari di laut, pantai, gurun, hingga luar angkasa. Rasanya baru kali ini ada film yang sangat apik menggambarkan survival sendirian di tengah salju, atau bisa dibilang Arctic adalah versi sederhananya dari The Revenant (2016). Ada sumber air yang banyak dari es, tapi nggak ada bahan bakar jadi ya sama aja. Ada sumber makanan berupa ikan, tapi ya harus dimakan mentah-mentah. Ya intinnya sama-sama susah lah kalau bertahan hidup sendirian di tengah alam yang ekstrim.
Hal lain yang sangat gue suka dari film ini adalah unsur metafora yang ada, entah diniatkan atau nggak dari para pembuat film. Di bagian pertama film kita ditunjukkan betapa si pria ini sangat mengikuti rutinitas yang ada dalam bertahan hidup; mencari makan, lalu bekerja mencari sinyal pesawat yang lewat. Semua kegiatan tersebut ditandai dengan notifikasi dari alarm jam tangan. Strategi bertahan hidupnya sangat berdasarkan insting dan naluriah. Namun semuanya berubah ketika dia menemukan manusia lain. Interaksinya dengan manusia lain lebih diutamakan, ekspresi emosi lebih variatif, meski mereka tidak saling mengerti karena perbedaan bahasa.
Metaforanya bisa berlapis dan tergantung sudut pandang masing-masing. Tapi gue lebih memilih interpretasi sebagai berikut. Kisahnya bisa diandaikan sebagai kehidupan sehari-hari kita; rutinitas sibuk bekerja dan mencari makan, ditambah dengan bunyi notifikasi berulang kali dari gawai. Sama-sama berdasarkan insting dan naluri. Tapi ternyata semua itu tidak membuat kita (dan si pria yang terdampar di arktik) menjadi manusia seutuhnya. Apa sebab? Emosi yang ditunjukkan sangat terbatas; khawatir tidak dapat makan, atau senang dapat ikan yang besar. Selain itu harapan yang semakin menipis karena tenggelam oleh rutinitas tanpa makna.
Perubahan terjadi ketika ada interaksi dengan manusia lain. Perubahan yang paling signifikan adalah pembelajaran emosi baru; merawat orang lain yang membutuhkan bantuan, atau merasa tenang karena mendapat teman senasib sepenanggungan. Variasi emosi ini yang membuat seseorang menjadi manusia seutuhnya, dan memainkan emosi menjadi sebuah seni tersendiri untuk mengelolanya atau berinteraksi dengan orang lain. Harapan? Jelas meningkat drastis dengan fakta bahwa ada teman seperjalanan.
Iceland | 2018 | Drama / Survival | 98 mins | Scope Aspect Ratio 2.30 : 1
- sobekan tiket bioskop tanggal 1 April 2019 -
Rating Sobekan Tiket Bioskop:
----------------------------------------------------------
review film arctic
review arctic
arctic movie review
arctic film review
resensi film arctic
resensi arctic
ulasan arctic
ulasan film arctic
sinopsis film arctic
sinopsis arctic
cerita arctic
jalan cerita arctic
Komentar
Posting Komentar