Posesif - Review

"Dalam kesederhanaan dan kedekatan kisahnya, Posesif menyimpan lapisan pahit yang memang harus dikuak"

Hidup Lala jungkir balik. Bukan karena loncatan indahnya dari menara sepuluh meter, bukan pula karena ayahnya yang melatihnya dengan keras, tapi karena cinta pertamanya. Yudhis, murid baru di sekolahnya, berhasil menjebak hati Lala. Di tahun terakhir SMA-nya, Lala ditarik keluar dari rutinitas lamanya. Hidupnya tak lagi melulu melihat birunya air kolam renang atau kusamnya dinding sekolah. Lala percaya cinta telah membebaskannya, sebab Yudhis selalu sigap menghadirkan pelangi asal Lala berjanji selamanya bersama.

Namun perlahan Lala dan Yudhis harus menghadapi bahwa kasih mereka bisa hadirkan kegelapan. Cinta Yudhis yang awalnya tampak sederhana dan melindungi ternyata rumit dan berbahaya. Janji mereka untuk setia selamanya malah jadi jebakan. Lala kini mengambang dalam pertanyaan: apa artinya cinta? Apakah seperti loncat indah, yang bila gagal, harus ia terus coba lagi atas nama kesetiaan? Ataukah ia hanya sedang tenggelam dalam kesia-siaan?

Posesif adalah bukan film romansa biasa. Dua remaja bertemu lalu jatuh cinta, untuk kemudian cemburu serta konflik mulai merangkak naik. Ini biasa. Menjadi luar biasa ketika kecemburuan terhadap sahabat laki-laki mulai meradang hingga kecemburuan terhadap waktu bersama yang terbuang oleh karir loncat indah, hingga kecemburuan terhadap perbedaan pilihan universitas. Perasaan ingin memiliki yang berada dalam taraf ekstrem ini digambarkan dengan gamblang dan vulgar, yang secara ironis masih sangat dekat dengan keseharian kita.


Dalam bertutur cerita, Posesif dibawakan dengan sangat cantik secara visual maupun gaya bercerita. Ciri khas visual dari sutradara Edwin memang tersebar di sana-sini, yang sebelumnya pernah menangani Blind Pig Who Wants to Fly (2008) dan Postcard From the Zoo (2012). Semua deretan bahasa gambarnya sangat cantik untuk dipandang mata. Ketika adegan-adegan tersebut dipadukan dengan musik yang cocok, hal tersebut pun akan menjadi pengalaman audio visual yang menyentuh hati.

Isu yang diangkat oleh penulis naskah Gina S Noer jelas sangat penting untuk digambarkan. Isu yang sangat dekat dengan keseharian, sehingga terkadang kita yang mengalaminya hanya take it for granted. Padahal kalau diteruskan, dampak psikologisnya akan mengakar dan sulit untuk kembali seperti biasa. Menariknya, Posesif memang menggambarkan Yudhis yang posesif dengan skala ekstrem - di mana setiap penonton pasti (pasti!) menemukan satu-dua hal yang pernah dialami. Ketika penonton tertawa, bisa diyakini ada rasa denial dalam sepersekian persen di balik tawa tersebut.


Skala posesif yang ekstrem ini memang disengaja, untuk mempertontonkan segala kemungkinan yang ada dari spektrum paling rendah hingga paling gawat. Tujuannya jelas, untuk memperlihatkan bahwa hal ini dan ini bisa saja terjadi pada kita semua. Terlalu mengkhayal? Sama sekali tidak! Perlu digarisbawahi bahwa perilaku Yudhis cukup tepat secara psikologis. Pun reaksi dari Lala yang menjadi semakin tergantung pada Yudhis akurat pula dalam ilmu psikologi. Kisah Yudhis dan Lala adalah ugly truth yang paling pahit, namun juga paling berani untuk mengangkat tema sederhana ini ke layar lebar. Ya, kisah yang mungkin saja sering kita dengar dari curhatan teman-teman di lingkaran sosial.

Sayangnya, menurut gue, kepahitan Posesif tampak terlalu ditahan karena masih ingin tampil populer di mata penonton. Bagi yang familiar dengan karya-karya Edwin sebelumnya, Blind Pig dan Zoo cukup gaspol di ranah indie dan tidak peduli dengan komersialitas. Namun jelas bahwa Posesif ingin berjubah komersil dan menatap pencapaian penjualan tiket sebanyak mungkin. Mungkin itu mengapa Gina S Noer lebih memilih pilihan plot alasan utama perilaku Yudhis dan pilihan akhir kisah mereka. Sayang memang, untuk mereduksi akar permasalahan perilaku Yudhis hanya menjadi satu dimensi begitu saja - meski memang harus dipahami adalah sulit untuk menggambarkan keseluruhan dimensi dalam media audio visual. Biar bagaimanapun tanggungnya citra film Posesif yang berpijak di dua kaki idealisme dan komersialitas, film ini tetap sangat penting untuk peningkatan kesadaran mereka semua yang pernah terlibat pahit manis cinta - dan tidak terbatas pada remaja saja.





Rating?





Indonesia | 2017 | Drama / Romance | 102 menit | Flat Aspect Ratio 1.85 : 1

Nominasi,
Penata Rias Terbaik, Cika Rianda
Penyunting Gambar Terbaik, W Ichwandiardono
Penulis Skenario Asli Terbaik, Gina S. Noer
Pengarah Sinematografi Terbaik, Batara Goempar
Pemeran Pendukung Wanita Terbaik, Cut Mini
Pemeran Pendukung Pria Terbaik, Yayu Unru
Pemeran Utama Wanita Terbaik, Putri Marino
Pemeran Utama Pria Terbaik, Adipati Dolken
Sutradara Film Terbaik, Edwin
Film Terbaik,
Festival Film Indonesia, 2017.

- sobekan tiket bioskop tanggal 16 Oktober 2017 -
----------------------------------------------------------
  • review film posesif adipati dolken
  • review posesif adipati dolken
  • posesif adipati dolken movie review
  • posesif adipati dolken film review
  • resensi film posesif adipati dolken
  • resensi posesif adipati dolken
  • ulasan posesif adipati dolken
  • ulasan film posesif adipati dolken
  • sinopsis film posesif adipati dolken
  • sinopsis posesif adipati dolken
  • cerita posesif adipati dolken
  • jalan cerita posesif adipati dolken

Komentar