Blade Runner 2049 - Review

"Sebuah selebrasi megah nan sunyi terhadap idealisme fiksi ilmiah dan film-film kultus"

Tiga puluh tahun sejak kejadian dalam Blade Runner (1982), seorang polisi pemburu replicant (robot berbentuk manusia) yang disebut blade runner menemukan fakta misterius setelah 'memensiunkan' seorang replicant. Fakta tersebut ternyata adalah misteri masa lalu yang dengan sengaja dikubur dalam dan lama. Penyelidikan tersebut pun membawa dirinya berada di ujung jurang antara peperangan besar antara replicant dan manusia. Untuk mencegah hal tersebut, dirinya harus menemukan Deckard, seorang blade runner senior yang telah menghilang selama 30 tahun.

Pertama-tama, perlu dipahami bahwa Blade Runner tahun 1982 adalah fiksi ilmiah yang telah dinobatkan sebagai film cult; film yang memiliki kelompok penggemar yang sangat loyal. Blade Runner (1982) mungkin cenderung sulit untuk ditonton pertama kali karena gaya penceritaannya yang cukup lamban dengan atmosfer yang sunyi - sebuah tone yang berbanding terbalik dengan kisah sci-fi di masa depan yang penuh dengan hingar bingar teknologi. Namun kisahnya yang sedikit banyak menyentuh tentang filosofi apakah yang menjadikan manusia sebagai manusia jika ada replika manusia yang dapat merasakan apapun.



Keputusan untuk melahirkan sekuel terhadap film klasik orisinil - yang sudah dicap sempurna oleh kelompok fansnya - pun membagi banyak orang ke dalam dua kubu. Beruntung tawaran tersebut jatuh pada sutradara Denis Villeneuve, yang telah berhasil membawa ranah sci-fi ke dimensi yang berbeda lewat Arrival (2016). Digawangi oleh Ridley Scott, kreator Blade Runner yang kali ini duduk di kursi produser eksekutif, yang tampaknya memastikan bahwa Villeneuve mendapat kebebasan absolut dalam kreatifitasnya - seperti yang Scott dapatkan ketika membuat Blade Runner (1982).

Tampaknya mereka memang tahu benar bahwa apa yang membuat Blade Runner (1982) begitu dicintai oleh fansnya adalah kejujurannya dalam bercerita tanpa campur tangan komersialisasi studio yang ingin meraup untung sebanyak-banyaknya dari penjualan tiket. Ini yang benar-benar dijaga dan direalisasikan dalam sekuelnya Blade Runner 2049, dengan 162 menit yang penuh dengan adegan-adegan insert ala film-film arthouse, dibungkus dengan tone yang sunyi dan pace yang lamban. Studio besar Hollywood memberikan lampu hijau untuk film berbudget besar seperti ini?? Blade Runner 2049 jelas menjadi contoh yang sangat langka, sebagai anomali besar dari industri komersial.


Gue bisa sangat memahami jika banyak orang akan sulit untuk menyukai Blade Runner 2049, sebuah film berdurasi nyaris tiga jam yang bergerak sangat lamban. Terbukti dari beberapa orang yang walk out di pemutaran perdana yang gue hadiri. Namun ini adalah film yang sangat indah, mulai dari segi visual dengan setiap frame gambar yang tampak seperti lukisan modern-klasik, hingga segi cerita yang penuh dengan bumbu filosofis dengan makna berlapis. Ini adalah drama fiksi ilmiah yang tidak hanya memberikan surat cinta pada film orisinilnya, tetapi juga bentuk cinta akan genre sci-fi yang menggambarkan kekelaman masa depan ketika manusia berada di ambang kiamat ketika terlalu bergantung pada teknologi.

Menonton Blade Runner 2049 seakan menonton film-film tipikal Hollywood dengan rasa Eropa. Film tipikal sekuel Hollywood yang mencari orang yang telah lama hilang (halo halo The Force Awakens), namun dengan sederetan adegan "rumput goyang tertiup angin" seperti garis air hujan di kaca jendela mobil, atau langkah lunglai anjing yang mengikuti arah majikannya yang dibawa pergi. Film ini mungkin saja tidak akan mencapai target pendapatannya, tetapi jelas akan mencapai - bahkan melewati - tingkat harapan para fans film orisinilnya, dan juga fans-fans baru di kelompok milenial.


Jalan ceritanya tidak sekompleks yang anda kira. Jelas saja, ini bukan drama sci-fi yang kompleks seperti The Matrix Trilogy atau Cloud Atlas (2012). Menariknya, kesederhanaan ceritanya bisa memancing reaksi yang sama ketika gue selesai menonton dua judul tersebut. Kisah Blade Runner 2049 sesederhana penyelidikan polisi terhadap kasus robot replika manusia yang bisa berujung pada pemberontakan melawan manusia. Namun di antara kisah tersebut yang menjadi indah ketika banyak diselipkan pertanyaan-pertanyaan identitas seperti apa yang benar-benar membedakan antara manusia dengan replicant?

Akhir kata, Blade Runner 2049 bisa menambah daftar pendek dari sekuel-sekuel yang mampu melampaui kualitas film orisinilnya. Sebuah film yang sangat indah dan kelewat artistik, lewat pembawaan yang tentang dan tidak terburu-buru dalam menyelesaikan ceritanya. Gaya berceritanya seakan sabar untuk menyelami setiap emosi dan dilema yang dirasakan oleh tiap karakternya. Sederhananya, ini adalah salah satu film terbaik yang gue tonton di tahun ini. Blade Runner 2049 adalah sebuah selebrasi dari idealisme, dan film-film kultus.







Rating:

USA | 2017 | Drama / Sci-Fi | 162 mins | Scope Aspect Ratio 2.35 : 1

- sobekan tiket bioskop tanggal 5 Oktober 2017 -
----------------------------------------------------------
  • review film blade runner 2049
  • review blade runner 2049
  • blade runner 2049 movie review
  • blade runner 2049 film review
  • resensi film blade runner 2049
  • resensi blade runner 2049
  • ulasan blade runner 2049
  • ulasan film blade runner 2049
  • sinopsis film blade runner 2049
  • sinopsis blade runner 2049
  • cerita blade runner 2049
  • jalan cerita blade runner 2049

Komentar