Vortex - Europe on Screen Review


Gue udah aware dengan sepak terjangnya sutradara dan penulis naskah Gaspar Noe, tapi belum ada satu pun filmnya yang gue tonton karena keterbatasan akses legal. Begitu film terbarunya, Vortex (2021), hadir di festival film Europe on Screen langsunglah nggak pikir panjang lagi. Kosongin jadwal dan niatin ke Jakarta demi nonton film ini secara legal dan di layar lebar! Plus udah siapin mental juga karena kayaknya Vortex ini punya aura yang mirip dengan Amour-nya Michael Haneke. 

Sepanjang film minim dialog dan sunyi, bener-bener ngikutin keseharian pasangan lansia ini mulai dari bangun tidur, ngopi, beberes rumah, kerja, sampai tidur lagi. Beberapa drama yang dihadirkan pun sangat membumi, dan nggak ada kejadian overdramatis seperti di film-film Hollywood. Kondisi oma yang makin menurun, tapi malah membahayakan mereka berdua sekaligus. Ditambah sang anak semata wayang yang masih terjebak dalam jerat narkoba.


Emang luar biasa sih sineas yang satu ini, visualnya sederhana tapi ciamik dan efektif untuk jalan cerita. Tentang pasangan lansia di usia senja yang sang suami harus merawat istrinya yang terkena demensia. Dibungkus dengan aspect ratio kotak yang setiap ganti adegan ada blank hitam persis seperti proyektor jaman kuliahan. Lalu ada dua adegan yang disajikan di kiri kanan layar, jadi kita bisa lihat satu momen dari dua sudut pandang.

Gue nggak paham kenapa konsep visual seperti ini yang gue pilih, tapi yang gue tangkep adalah untuk ngasih kesan claustrophobic ke penonton. Dengan aspect ratio yang "sempit", ditambang pasangan lansia ini tinggal di apartemen yang sempit dan banyak barang yang mereka kumpulkan seumur hidupnya. Buku-buku berbaris di lemari sampai ke atas, bahkan ada tumpukan buku di sofa yang jadinya menyisakan ruang hanya untuk satu orang duduk. 


Kita bisa ngeliat gimana kedua karakter ini bergerak lamban menyelami setiap barang hasil pencapaian mereka, tetapi kadang kala juga terasa sesak. Apalagi keengganan untuk pindah ke panti jompo karena barang-barang yang banyak dan bertumpuk itu. Dilema pun terjadi, menjalani hari-hari senja di rumah tapi mengorbankan keselamatan, atau meninggalkan segalanya demi hidup terjamin di panti jompo.

Buat gue yang suka banget dengan Amour (2012) karya Michael Haneke, gue masih lebih suka dengan Amour ketimbang Vortex. Apalagi dua film ini membawa tema yang sama; usia senja dan menghadapi kematian di depan mata. Vortex memang vulgar dan apa adanya menampilkan usia senja selebar-lebarnya, tapi Amour kelewat brutal dalam memberikan pilihan endingnya. Meski Vortex masih bisa menawarkan keindahan visual dengan konsep yang sangat menarik.






- ditonton di Europe on Screen 2022 -
----------------------------------------------------------
review film vortex gaspar noe
review vortex gaspar noe
vortex gaspar noe movie review
vortex gaspar noe film review
resensi film vortex gaspar noe
resensi vortex gaspar noe
ulasan vortex gaspar noe
ulasan film vortex gaspar noe
sinopsis film vortex gaspar noe
sinopsis vortex gaspar noe
cerita vortex gaspar noe
jalan cerita vortex gaspar noe

Komentar