Asura - Series Review
Sinopsis
Asura adalah limited series Jepang terbaru di Netflix yang disutradarai oleh Hirokazu Kore-eda, sineas yang dikenal lewat karya-karya slice of life yang intim dan manusiawi. Berlatar Jepang era 1980-an, serial ini mengisahkan empat kakak beradik perempuan, Tsunako, Makiko, Sakiko, dan Takiko, yang kehidupan keluarganya mulai retak setelah mereka mengetahui bahwa sang ayah selama ini berselingkuh. Temuan tersebut bukan hanya mengguncang hubungan mereka dengan sang ayah, tetapi juga membuka luka-luka lama dalam dinamika keluarga, terutama ketika terungkap bahwa ibu mereka sebenarnya telah lama mengetahui perselingkuhan itu dan memilih diam demi menjaga keutuhan keluarga.
Ulasan
Asura ini adalah limited series kedua karya Kore-eda setelah The Makanai (2023), dan begitu menonton beberapa episode awal saja, langsung terasa ciri khas “bapak slice of life” itu kembali bekerja. Kore-eda memang punya keahlian unik dalam “mengiris” satu momen kecil dalam hidup, lalu memperbesarnya dengan perhatian detail yang luar biasa. Hal-hal yang terlihat biasa, obrolan keluarga, makan bersama, keheningan di antara dua kalimat, di tangannya bisa berubah menjadi sesuatu yang emosional dan sarat makna.
Hubungan empat kakak beradik yang pada dasarnya terlihat normal dan sehari-hari, justru menjadi sangat kaya konflik ketika diuji oleh satu fakta sederhana tapi menghancurkan: ayah mereka berselingkuh. Menariknya, reaksi masing-masing saudari sangat berbeda. Tsunako, Makiko, Sakiko, dan Takiko menghadapi kenyataan itu dengan cara mereka sendiri-sendiri—ada yang keras dan konfrontatif, ada yang memilih diam, ada yang mencoba rasional, bahkan ada yang secara tak sadar justru meniru pola yang sama. Di titik ini, Asura terasa sangat manusiawi: tidak ada reaksi yang benar atau salah secara mutlak, semuanya lahir dari luka dan latar hidup masing-masing.
Twist emosional yang paling menampar buat gue adalah ketika terungkap bahwa ibu mereka sebenarnya sudah lama mengetahui perselingkuhan sang ayah. Ia memilih diam, menelan perasaannya sendiri, demi mempertahankan keluarga. Di sinilah Asura mulai bicara lebih jauh tentang relasi kuasa (power dynamic) dalam rumah tangga pada era itu. Diamnya sang ibu bukan semata-mata karena “pasrah”, tapi juga karena posisi sosial dan ekonomi yang membuat pilihannya menjadi sangat terbatas.
Gue pribadi juga cukup terkejut melihat betapa maraknya isu perselingkuhan yang digambarkan dalam konteks Jepang kala itu. Selama ini ada anggapan bahwa masyarakat Jepang cenderung “lurus-lurus” dan tertib secara moral. Ternyata realitasnya jauh lebih kompleks. Yang lebih menyedihkan, pasangan yang dikhianati kerap memilih bungkam demi mempertahankan stabilitas keluarga—sebuah keputusan yang sering kali lahir bukan dari keikhlasan, tapi dari ketimpangan kuasa.
Dinamika empat kakak beradik ini menjadi cermin yang tajam tentang bagaimana satu peristiwa bisa memecah cara pandang seseorang terhadap cinta, pernikahan, dan kesetiaan. Ada yang semakin sinis, ada yang mencoba memahami, ada yang menyangkal, dan ada pula yang justru terjebak mengulangi pola yang sama. Semua dituturkan dengan gaya tenang khas Kore-eda, tanpa melodrama berlebihan, tapi justru itu yang membuatnya terasa makin menghantam.
Kesimpulan
Pada akhirnya, Asura adalah tipe tontonan yang pelan-pelan menyusup ke pikiran. Bukan yang bikin jantung berdebar karena konflik besar, tapi yang membuat kita merenung panjang setelah satu episode selesai. Ia mengajak kita memikirkan ulang tentang keluarga, pengorbanan, kesetiaan, dan dilema-dilema abu-abu yang sering kali tidak pernah punya jawaban ideal. Sebuah tontonan yang terasa sunyi, tapi menggema cukup lama di kepala.
Skor Sobekan Tiket Bioskop: 3/5
Cocok untuk: pecinta dorama atau drama Jepang tipikal slice of life
- ditonton di Netflix -

Komentar
Posting Komentar