I May Destroy You - Series Review


Gue udah denger tentang I May Destroy You sejak series karya sutradara, penulis naskah, dan aktor Michaela Cole ini ngeborong 9 nominasi di Emmy tahun 2020 - dan ngebawa pulang piala naskah terbaik. Tapi jadi makin pengen nonton sejak gue nonton Penyalin Cahaya karena gue nggak begitu puas untuk cari tahu kekerasan seksual dari sisi korban. Iya sih ada 27 Steps of May (2018) yang gue suka banget tapi sayang terlalu artsy jadi kurang masuk ke penonton populer.

Serial I May Destroy You ini punya premis yang nyaris mirip sama Penyalin Cahaya; pesta-pesta di malam hari, minum sesuatu sampai pingsan dan ga ingat apa-apa, besok paginya kebangun dan ternyata sudah ada tanda kekerasan seksual. Nah nggak kaya Penyalin Cahaya yang bergerak jadi film thriller investigasi, I May Destroy You fokus menyelami emosi dan pikiran korban. Ada unsur investigasinya tapi dikiiiit banget karena mau ga mau lapor polisi kan. Tapi serial 12 episode dengan masing-masing durasi kurang lebih 30 menit ini beneran fokus ke naik-turunnya kesehatan mental Arabella.


Ya begitulah bedanya film atau serial tentang kekerasan seksual yang ditulis oleh perempuan dan laki-laki. Kalau ditulis oleh (dua) laki-laki maka karakter utamanya akan fokus ke solusi dan bukan emosi seperti di Penyalin Cahaya. Sementara mulai dari Marlina, 27 Steps of May, sampai ke I May Destroy You yang ditulis oleh perempuan maka akan terlihat betapa femininnya film dan serial ini. Mulai dari perasaan bersalah, depresi, bahkan ke marah, semuanya tergambar dengan sangat baik dan komprehensif.

Konon Michaela Cole sendiri pernah mengalami kekerasan seksual, yang menjadikan inspirasi dia untuk menelurkan serial ini. Entah seberapa tepat kisah Arabella dengan apa yang pernah dialami oleh Michaela Cole, tapi pedih banget sih nontonnya. Situasi di Inggris yang polisinya udah canggih dan nerima laporan kekerasan seksual - bahkan sampai ada tes DNA segala - ternyata belum sebegitu berhasilnya menangkap dan menghukum pelaku. Beruntung di negara maju punya kebiasaan support group, yang sangat membantu setiap penyintas untuk bercerita dan menemukan dukungan dari teman-teman senasib dan sepenanggungan.


Dari serial ini gue juga belajar betapa kekerasan seksual punya bentuk yang beragam dan sangat bervariasi. Menariknya ini digambarkan dengan yang dialami oleh karakter-karakter di sekitar Arabella, baik straight maupun gay. Tahukah kamu kalau di tengah penetrasi trus ngelepas kondom itu termasuk kekerasan seksual? Balik lagi ke consent; perjanjian awalnya adalah menggunakan kondom!

Pilihan endingnya gue suka banget, banget! Kondisi yang relate banget dan hampir semua umat manusia pasti pernah ngalamin gak sih; berimajinasi tentang gue mesti ngapain kalau gue ketemu sama pelakunya. Ditutup pula dengan adegan yang merupakan tahap terakhir dari Kubler-Ross' Stages of Grief; acceptance. Buat gue, serial ini jelas jadi referensi yang paling tepat dan nyaris sempurna tentang berbagai bentuk kekerasan seksual sampai ke gambaran bagaimana seorang Arabella mengelola traumanya untuk kemudian dapat lanjut berjalan lagi.






- ditonton di HBO GO -
----------------------------------------------------------
review film i may destroy you
review i may destroy you
i may destroy you movie review
i may destroy you film review
resensi film i may destroy you
resensi i may destroy you
ulasan i may destroy you
ulasan film i may destroy you
sinopsis film i may destroy you
sinopsis i may destroy you
cerita i may destroy you
jalan cerita i may destroy you

Komentar