Black Panther - Review

"Satu lagi film pahlawan super dengan kisah penuh makna, karakter yang meyakinkan, hingga balutan budaya Afrika yang eksotis"

Setelah kejadian dalam Captain America: Civil War (2016), T'Challa pulang kembali ke Wakanda untuk meneruskan tahta ayahnya yang terbunuh. Namun untuk menduduki tahta Raja Wakanda yang sah, T'Challa harus menerima dan memenangi tantangan dari prajurit terbaik setiap suku Wakanda. Kesempatan ini pun digunakan dengan baik bagi kedua belah pihak yang menginginkan Wakanda mengarah ke dua arah yang berbanding terbalik; tetap bersembunyi dengan bergelimangan kekayaan dan teknologi, atau muncul di hadapan dunia dan membantu mereka yang membutuhkan.

Film ke-18 dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) ini menandai Chapter 6 dalam Phase 3 mereka, atau menjadi film solo terakhir sebelum event besar Avengers: Infinity War yang akan rilis bulan April 2018 nanti. Di titik ini, tidak heran jika Marvel semakin matang dalam membuat setiap film pahlawan supernya. Tidak hanya menyajikan adegan aksi yang menghibur mata dan telinga semata, tetapi juga menyelipkan tema-tema besar yang konsisten sepanjang film.

Black Panther, di luar 95% pemerannya yang berkulit hitam, ternyata memiliki tema cerita yang cukup signifikan - dan kalau boleh dibilang, sangat tepat dengan era di mana Brexit dan Trump's Wall banyak dibicarakan. Wakanda memiliki sumber daya alam yang sangat mengagumkan; vibranium sebagai metal terkuat di dunia, yang kemudian menjadi sumber utama kemajuan teknologi Wakanda. Dilema pun terjadi; apakah tetap mengisolasi diri dari dunia dengan kekhawatiran teknologi dan sumber daya akan jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab, atau membuka diri dan membantu mereka yang membutuhkan.


Meski dengan tema yang cukup berat bagi tipikal film superheroes, Black Panther tetap tampil kocak dan menghibur lewat karakter-karakternya yang sangat lovable. Mulai dari Shuri si adik T'Challa hingga Okoye si jenderal perang yang punya sudut pandang menarik tentang dunia. Setiap karakter yang muncul dalam film ini digali dengan cukup dalam dan sangat meyakinkan, suatu hal yang cukup langka ditemui di film pahlawan super. Memang guyonannya tidak sekocak Thor: Ragnarok (2017) yang tampaknya saking komikalnya malah mendatangkan banyak kritikan. Tetapi Black Panther berhasil tampil sangat pas antara pesan sarat makna yang diangkat dengan selipan humornya.

Yang patut diacungi jempol adalah kesungguhan sutradara Ryan Coogler dalam menampilkan budaya Afrika luar dalam. Sebagai film blockbuster, apalagi bertema pahlawan super, menampilkan budaya yang tidak familiar jelas menjadi resiko besar. Tetapi dengan penggunaan bahasa asli Afrika sangat mempengaruhi atmosfer film ini menjadi cukup meyakinkan. Apalagi bahasa isiXhosa, bahasa yang digunakan sebagai bahasa resmi Wakanda, memiliki click tounge yang menarik dan mirip-mirip dengan bahasa si Xi dalam film Gods Must Be Crazy. Belum lagi film ini dibungkus dengan scoring bergaya instrumen tabuh Afrika, yang sukses mencampurkan atmosfer eksotis dan Wakanda yang modern.







USA | 2018 | Superheroes | 134 mins | Scope Aspect Ratio 2.39 : 1

- sobekan tiket bioskop tanggal 12 Februari 2018 -

Rating Sobekan Tiket Bioskop:

----------------------------------------------------------
  • review film black panther
  • review black panther
  • black panther movie review
  • black panther film review
  • resensi film black panther
  • resensi black panther
  • ulasan black panther
  • ulasan film black panther
  • sinopsis film black panther
  • sinopsis black panther
  • cerita black panther
  • jalan cerita black panther

Komentar

  1. Jadi makin ga sabar liat aksi dia di film Avengers nanti. Penasaran juga bakal saling pamer teknologi ga ya ketika Shuri ama Stark ketemu? wekekeke

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apalagi ngeliat Wakanda, Stark langsung berasa cupu.

      Hapus

Posting Komentar