The Killing of a Sacred Deer - Review
"Meski tidak seabsurd The Lobster, film ini masih menjadi karya seni yang sangat artistik lewat alegori dan kritik sosialnya yang kental"
Steven Murphy adalah ahli bedah jantung terbaik, yang semakin hari semakin tidak bisa lepas dari seorang remaja yang mengikutinya ke mana pun. Martin, remaja tersebut, akhirnya masuk dan berkenalan dengan keluarga Steven; sang istri dan kedua anaknya. Perilaku Martin yang semakin lama semakin mencurigakan, ternyata membawa dilema besar bagi Steven. Masa lalu pun terungkap, dan konsekuensi atas tindakan Steven pada masa itu harus dibayar dengan sangat mahal.
Setelah The Lobster (2015) dengan jalan ceritanya yang absurd dan kental dengan kritik sosial, gue mulai mengikuti jejak sutradara dan penulis naskah asal Yunani ini; Yorgos Lanthimos. Film terbarunya ini ternyata sama absurdnya, meski dalam takaran pengisahan yang lebih ringan dan mudah untuk dipahami. Kritiknya pada masyarakat modern kali ini bertema keadilan dan konsekuensi pahit dari tindakan tidak berkenan di masa lalu, yang memang perlu pemahaman lebih lanjut setelah merenung beberapa hari.
Sama seperti The Lobster, Yorgos juga menciptakan dunianya sendiri dalam film ini. Setiap karakternya digambarkan tanpa emosi dan mengucapkan dialog-dialognya dengan datar dan canggung. Pilihan ini jelas disengaja dan efektif untuk menggambarkan tema keadilan dan konsekuensi di tengah masyarakat modern yang tampaknya hanya menjalankan kewajiban dan tanggung jawab tanpa rasa dan emosi. Namun datarnya emosi yang digambarkan ini diseimbangi dengan sangat baik lewat skoring yang sangat menegangkan. Gesekan biola yang menyayat setiap 15 menit sekali, meski adegannya tampak biasa saja, sanggup membuat gue begidik atau meringis.
Judul film ini digunakan oleh Yorgos sebagai referensi dari mitos Iphigenia. Raja Agamemnon mengundang amarah dari dewa-dewa setelah membunuh salah satu rusa kesayangan dari Artemis. Hukumannya, dia harus mengorbankan putri satu-satunya; Iphigenia. Tema yang diangkat dalam film ini memang sejalan dengan mitos Yunani kuno tersebut, yang kemudian divisualisasikan dengan sangat cantik dan artistik. Saking artistiknya, film ini mungkin tidak akan mudah dinikmati untuk sebagian besar penonton yang akan dibuat bingung di akhir film. Tetapi jika film adalah buah dari karya seni, maka The Killing of a Sacred Deer adalah karya yang sangat indah, meski pahit dengan pilihan ending yang digambarkan.
UK / Ireland / USA | 2017 | Arthouse / Drama / Mystery | 120 mins | Scope Aspect Ratio 2.35 : 1
- sobekan tiket bioskop tanggal 3 Januari 2018 -
Won for Best Screenplay (Yorgos Lanthimos), Nominated for Palme d'Or (Yorgos Lanthimos), Cannes Film Festival, 2017.
----------------------------------------------------------
Steven Murphy adalah ahli bedah jantung terbaik, yang semakin hari semakin tidak bisa lepas dari seorang remaja yang mengikutinya ke mana pun. Martin, remaja tersebut, akhirnya masuk dan berkenalan dengan keluarga Steven; sang istri dan kedua anaknya. Perilaku Martin yang semakin lama semakin mencurigakan, ternyata membawa dilema besar bagi Steven. Masa lalu pun terungkap, dan konsekuensi atas tindakan Steven pada masa itu harus dibayar dengan sangat mahal.
Setelah The Lobster (2015) dengan jalan ceritanya yang absurd dan kental dengan kritik sosial, gue mulai mengikuti jejak sutradara dan penulis naskah asal Yunani ini; Yorgos Lanthimos. Film terbarunya ini ternyata sama absurdnya, meski dalam takaran pengisahan yang lebih ringan dan mudah untuk dipahami. Kritiknya pada masyarakat modern kali ini bertema keadilan dan konsekuensi pahit dari tindakan tidak berkenan di masa lalu, yang memang perlu pemahaman lebih lanjut setelah merenung beberapa hari.
Sama seperti The Lobster, Yorgos juga menciptakan dunianya sendiri dalam film ini. Setiap karakternya digambarkan tanpa emosi dan mengucapkan dialog-dialognya dengan datar dan canggung. Pilihan ini jelas disengaja dan efektif untuk menggambarkan tema keadilan dan konsekuensi di tengah masyarakat modern yang tampaknya hanya menjalankan kewajiban dan tanggung jawab tanpa rasa dan emosi. Namun datarnya emosi yang digambarkan ini diseimbangi dengan sangat baik lewat skoring yang sangat menegangkan. Gesekan biola yang menyayat setiap 15 menit sekali, meski adegannya tampak biasa saja, sanggup membuat gue begidik atau meringis.
Judul film ini digunakan oleh Yorgos sebagai referensi dari mitos Iphigenia. Raja Agamemnon mengundang amarah dari dewa-dewa setelah membunuh salah satu rusa kesayangan dari Artemis. Hukumannya, dia harus mengorbankan putri satu-satunya; Iphigenia. Tema yang diangkat dalam film ini memang sejalan dengan mitos Yunani kuno tersebut, yang kemudian divisualisasikan dengan sangat cantik dan artistik. Saking artistiknya, film ini mungkin tidak akan mudah dinikmati untuk sebagian besar penonton yang akan dibuat bingung di akhir film. Tetapi jika film adalah buah dari karya seni, maka The Killing of a Sacred Deer adalah karya yang sangat indah, meski pahit dengan pilihan ending yang digambarkan.
UK / Ireland / USA | 2017 | Arthouse / Drama / Mystery | 120 mins | Scope Aspect Ratio 2.35 : 1
- sobekan tiket bioskop tanggal 3 Januari 2018 -
Won for Best Screenplay (Yorgos Lanthimos), Nominated for Palme d'Or (Yorgos Lanthimos), Cannes Film Festival, 2017.
Rating Sobekan Tiket Bioskop:
----------------------------------------------------------
- review film the killing of a sacred deer
- review the killing of a sacred deer
- the killing of a sacred deer movie review
- the killing of a sacred deer film review
- resensi film the killing of a sacred deer
- resensi the killing of a sacred deer
- ulasan the killing of a sacred deer
- ulasan film the killing of a sacred deer
- sinopsis film the killing of a sacred deer
- sinopsis the killing of a sacred deer
- cerita the killing of a sacred deer
- jalan cerita the killing of a sacred deer
Komentar
Posting Komentar