Black Mirror Season 7 - Series Review
Sinopsis
Black Mirror Season 7 menandai kembalinya serial antologi distopia karya Charlie Brooker dan Annabel Jones ke akar identitasnya yang gelap, grotesque, dan absurd. Setelah beberapa musim terasa lebih “jinak” sejak era Netflix, S7 kembali menyajikan kisah-kisah tentang relasi manusia dengan teknologi, AI, memori digital, algoritma, dan kesadaran buatan—dengan pendekatan yang tajam, sinis, sekaligus sangat manusiawi. Terdiri dari enam episode dengan tema yang berdiri sendiri, Black Mirror S7 kembali mempertanyakan satu hal mendasar: seberapa besar kekuasaan teknologi atas hidup kita, dan seberapa kecil kendali kita atas konsekuensinya?
Ulasan
Baru selesai nonton Black Mirror Season 7, dan jujur gue bisa bilang: ini baru Black Mirror yang gue kenal sejak S1–S2, sebelum dibeli Netflix. Balik ke akar yang dark, grotesque, absurd, dan nggak nyaman ditonton—dalam arti yang paling tepat. Rasanya kayak ketemu lagi teman lama yang akhirnya balik jadi dirinya sendiri setelah lama “tersesat”.
Episode pembuka S7E1 langsung bikin gue klik. Gue suka banget ide mereka tentang pengaturan serenity dan pleasure lewat sebuah aplikasi. Ironisnya, dua hal itu sebenarnya bisa kita atur sendiri lewat kepala dan pikiran kita—gratis, tanpa langganan, tanpa update sistem. Tapi justru di dunia Black Mirror, ketenangan dan kebahagiaan harus dimediasi teknologi. Sarkasme sosialnya dapet banget, makanya gue paham kenapa episode ini dipilih sebagai pembuka.
Masuk ke S7E2, absurditas mulai dinaikkan. High-tech di sini cuma jadi latar, bukan tujuan utama. Isunya justru soal bullying—sesuatu yang kelihatannya kuno, tapi ternyata nggak pernah selesai dimakan zaman. Episode ini ngingetin gue bahwa satu kalimat yang dilempar sebagai “bercanda” bisa jadi trauma seumur hidup bagi korbannya. Teknologi boleh berubah, tapi luka akibat kata-kata manusia tetap sama brutalnya.
S7E3 jadi kejutan manis. Ini salah satu episode dengan happy ending yang hangat, mengingatkan gue pada San Junipero (S3E3). Bahkan secara rasa, episode ini terasa seperti bentuk penghormatan terhadap episode legendaris itu. Selain emosional, episode ini juga membuka diskusi menarik soal AI sebagai ancaman sekaligus peluang di industri film. Di sini Black Mirror terasa lebih humanis, tanpa kehilangan kegelisahannya.
S7E4 kembali ke pola klasik digital character doing damage in the real world. Ide gamenya sebenarnya keren, tapi harus gue akui ini bukan favorit gue. Tipikal AI yang berevolusi dengan kodenya sendiri lalu ingin menguasai dunia—secara konsep kita sudah sering melihat formula seperti ini. Eksekusinya tetap solid, tapi secara personal tidak se-“nendang” episode lain di musim ini.
Lalu datang S7E5 dengan dialog legendaris: “let’s see her” 😭. Gue nggak nyangka bakal ngembeng nonton episode ini. Bagi gue, ini fix favorit di Season 7. Episode ini menampar keras soal betapa rapuhnya memori manusia. Ingatan bisa hilang, terdistorsi, ditolak, atau dimanipulasi oleh emosi kita sendiri. Dan ironisnya, justru AI-lah yang membantu menggali kembali kebenaran yang tidak sanggup dihadapi manusia. Kalau nggak digali, nggak ketemu itu semua. Menyakitkan, tapi indah.
S7E6 USS Callister: Into Infinity terasa seperti persilangan antara Black Mirror dan Severance 🤯. Ia mengusung isu eksistensialisme tentang digital clone: apakah memperbudak atau membunuh salinan digital dari diri kita sendiri itu immoral? Kalau kesadarannya sama, memorinya nyata, dan rasa sakitnya terasa—lalu apa bedanya dengan manusia “asli”? Episode ini menutup musim dengan pertanyaan filosofis yang berat, tapi justru sangat relevan dengan arah perkembangan teknologi hari ini.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, gue benar-benar suka Black Mirror Season 7. Rasanya seperti melihat Charlie Brooker dan Annabel Jones kembali ke mode paling tajam mereka. Tidak semua episode sempurna, tapi hampir semuanya punya gagasan yang menggigit dan relevansi sosial yang kuat.
Satu pelajaran besar yang gue tangkap dari musim ini adalah: manusia cenderung meremehkan semua hal yang diciptakannya sendiri—baik itu teknologi, AI, kloning digital, bahkan… anak-anaknya. Kita merasa berkuasa karena kita pencipta, tapi lupa bahwa setiap ciptaan punya potensi untuk tumbuh, melawan, dan menentukan jalannya sendiri. Di situlah horor paling sunyi dari Black Mirror selalu bersembunyi.
Skor Sobekan Tiket Bioskop: 4/5
Cocok untuk: pecinta serial scifi
- ditonton di Netflix -

Komentar
Posting Komentar