Toxic Town - Series Review

Sinopsis

Toxic Town adalah limited series asal Inggris berdurasi 4 episode yang tayang di Netflix, diangkat dari kisah nyata skandal lingkungan di kota Corby pada era 1990-an. Serial ini mengikuti perjuangan sekelompok ibu yang menggugat pemerintah kota setelah anak-anak mereka yang lahir di periode yang sama mengalami cacat fisik, terutama pada anggota tubuh. Dugaan kuat mengarah pada paparan polusi limbah bekas pabrik baja yang tidak dikelola sesuai prosedur saat kawasan industri tersebut dialihfungsikan menjadi area wisata. Kasus ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga tentang dampak psikologis mendalam yang harus ditanggung para korban.

Ulasan

Menurut gue, Toxic Town ini ciamik. Padat, intens, dan emosional, meski cuma empat episode. Awalnya kita dikenalkan pada kota kecil Corby yang di tahun 90-an sedang euforia menutup pabrik bajanya demi transformasi menjadi kota wisata. Tapi di balik rencana manis itu, ada proses pemindahan limbah beracun yang dilakukan secara ceroboh dan jauh dari standar keamanan. Limbah itu menyebar ke lingkungan sekitar, tanpa disadari warga, dan perlahan menjadi bom waktu bagi para ibu hamil.

Yang bikin kisah ini makin menghantam adalah dampaknya baru terasa bertahun-tahun kemudian, saat anak-anak mereka lahir dengan kondisi jari tangan atau kaki yang tidak lengkap. Bukan hanya satu dua kasus, tapi terjadi pada banyak ibu dalam periode waktu yang berdekatan. Dari sinilah kecurigaan mulai tumbuh. Ada sesuatu yang salah, dan itu bukan sekadar “takdir”.

Menariknya, Toxic Town tidak menjadikan ruang sidang sebagai pusat cerita utama. Fokus terbesarnya justru ada pada sisi psikologis para ibu. Mereka digambarkan bergulat dengan rasa bersalah yang luar biasa—menyalahkan diri sendiri, mempertanyakan setiap keputusan saat hamil, dan hidup dengan trauma karena merasa tubuh mereka telah “mengkhianati” anaknya sendiri. Rasa bersalah ini terasa sangat manusiawi, dan justru di situlah kekuatan emosional serial ini bekerja.

Di sisi lain, para pejabat kota digambarkan sebenarnya tahu bahwa ada yang tidak beres dengan proses pemindahan limbah tersebut. Tapi seperti banyak kisah klasik kekuasaan lainnya, kebenaran ditutup rapat demi citra, kepentingan politik, dan rasa aman semu. Serial ini dengan rapi menarik-ulur fakta hukum antara kedua belah pihak, memperlihatkan betapa timpangnya posisi warga biasa berhadapan dengan institusi.

Dari sisi pemain, ada Aimee Lou Wood yang lagi sering muncul di layar gue belakangan ini gara-gara ngikutin The White Lotus Season 3. Di sini dia tampil beda, jauh dari aura satir dan glamor, berganti menjadi sosok ibu muda yang hancur secara mental tapi dipaksa tetap kuat. Ada juga Rory Kinnear yang kali ini “tumben” tampil sebagai karakter protagonis. Biasanya kita melihat dia di peran-peran yang lebih gelap atau ambigu, tapi di Toxic Town justru dia jadi jangkar penyelamat bagi para ibu—figur yang rasional, empatik, dan konsisten membela mereka dalam pusaran kasus hukum yang melelahkan.




Kesimpulan

Buat gue, kekuatan utama Toxic Town bukan cuma pada kisah nyatanya yang mengerikan, tapi pada keberhasilannya menggeser sudut pandang dari sekadar “siapa salah secara hukum” menjadi “bagaimana luka itu terus hidup dalam tubuh dan pikiran korban”. Ini bukan cuma cerita tentang polusi dan gugatan, tapi tentang rasa bersalah yang diwariskan, trauma kolektif, dan perjuangan panjang untuk diakui kebenarannya. Kalau kamu mencari tontonan pendek, padat, tapi secara emosional menghantam dan bikin mikir, Toxic Town adalah pilihan yang sangat layak. Empat episode yang nggak terasa sebentar karena bebannya berat di kepala dan di perasaan.

Skor Sobekan Tiket Bioskop: x/5
Cocok untuk: pecinta drama kisah nyata





- ditonton di Netflix -

Komentar