Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2019

Sobekan Tiket Terbaik 2019

Gambar
Melanjutkan tradisi yang gue mulai tahun lalu, gue menyusun daftar ini sesuai peringkat subjektif. Jadi ini dia, Sepuluh Sobekan Tiket Bioskop Terbaik di tahun 2019. 

1917 - Review

Gambar
JUST GIVE THE OSCAR TO ROGER DEAKINS RIGHTAWAY! Jadi baru semalem banget setelah screening Star Wars: The Rise of Skywalker, gue langsung bikin list Best of 2019 gue (karena sadly TROS nggak masuk). Tapi setelah 1917, gue harus rombak list gue lagi! GILA GILA GILA! Gue sama sekali ngga tau apa-apa tentang film ini karena (sengaja) nggak baca artikel apapun. Meski ekspektasi gue naik dikit begitu film ini dapet 3 nominasi Golden Globe 2020 termasuk Best Drama Film. Ternyata 1917 pake konsep one take shoot donk ya semacam Birdman (2014). Dan kalau Birdman kan film drama dengan latar kota ya, LHA INI FILM PERANG GAES. Bayangin coba pengaturan shot dalam sekali take panjang dengan ledakan-ledakan di belakang dan extra yang buanyak ituuuuu. Aslik ya film ini mesti ditonton berkali-kali sih. Karena kali pertama yang gue tonton ini, gue malah mikir banyak INI GIMANA BIKINNYA, INI GIMANA SYUTINGNYA dan segala macam aduh. Malah nggak menikmati banget *in a good way, of course* Ceritanya

A Hidden Life - Review

Puji Tuhan gue bisa nonton A Hidden Life di layar lebar, sebuah cara yang paling adil dan layak untuk "mengalami" kontemplasi terbaru sutradara dan penulis naskah Terrence Malick tentang penderitaan, kepercayaan, dan hidup. Gambarnya luar biasa indah kaya lukisan di setiap frame, diiringi scoring syahdu dari James Newton Howard. Ya filmnya Malick mana sih yang nggak susah ditonton, tapi setidaknya A Hidden Life punya jalan cerita yang linear jadi "lebih mudah" untuk dipahami. Visualisasinya masih sama; kumpulan shot dan insert pendek yang dijahit jadi satu dan ternyata bisa jadi jalan cerita yang punya emosi. Awalnya mungkin capek tapi lama-lama jadi terbiasa dan malah menunggu-nunggu adegan untuk berganti. Konon Terrence Malick butuh 3 tahun untuk proses editing padahal syutingnya cuma 8 minggu.  Nonton film terpanjangnya Terrence Malick di 2 jam 53 menit ini, buat gue pribadi kaya lagi baca A Meaning of Life-nya Victor Frankl. Berdasarkan kisah nyata, Terrence Mal

The Lighthouse - Review

Gambar
ANJG! Itu satu kata yang muncul di dalam kepala gue pas ending credits bergulir. Suatu ekspresi yang gue juga nggak tau menggambarkan apa. Kayaknya sih lebih ke campuran rasa takjub luar biasa dan ketidaksanggupan gue untuk mengerti apa yang mau dibawa oleh sutradara dan penulis naskah Robert Eggers. Takjubnya dulu ya yang gue bahas. Ini adalah film hitam putih dengan aspect ratio 1.19 : 1 yang nyaris kotak, dengan tujuan untuk menyelaraskan dengan latar waktu tahun 1890. Hasilnya adalah rasa claustrophobic karena "sempitnya" layar, sebagai metafora dari keterbatasan ruang yang hanya sepetak pulau kecil sebagai tempat cerita ini. Setiap frame dalam film ini juga benar-benar bak lukisan; setiap shotnya terlihat jelas sudah ditata dengan rapi dan selalu ada makna - kudos buat setiap mise-en-scene yang konsisten sepanjang film. Istilah kata, setiap detik adegan kalau lo screencapture itu bisa banget jadi wallpaper atau lukisan buat dipajang di dinding. Takjub yang kedua ad