Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2020

Greyhound - Review

Gambar
Kalau bukan Tom Hanks, gue kayaknya ga tertarik nonton film ini. Film tentang perang antara kapal laut kayaknya masih lebih seru Master & Commander atau sekalian POTC. Sementara Greyhound ini kayaknya untuk memuaskan hasrat pecinta kapal perang di era WWII aja deh, dengan detil kapal perang dan U-Boat yang konon cukup akurat. Meski nama kapal Greyhound sendiri fiksi, alias buatan pengarang novel C.S. Forester. Ceritanya memang menegangkan dan seru terus-terusan, dan hanya dikasih nafas beberapa kali dan sebentar saja. Tapi apa mungkin ketegangannya jadi berkurang drastis karena gue tonton di TV saja ya? Pasti kalau ditonton di bioskop akan berkali lipat lebih seru karena layarnya yang besar dan audio yang surround. Ya kisahnya memang simpel dan to the point, tapi kesannya jadi repetitif karena mereka terus-terusan diserang oleh U-Boat yang berburu layaknya kawanan serigala.  Kalau soal Tom Hanks di atas kapal, masih jauh lebih seru Captain Phillips (2013).  -------------

Teen Spirit - Review

Gambar
Nonton Teen Spirit ini atmosfer warnanya kaya berasa lagi nonton Neon Demon-nya (2016) Nicholas Winding Refn, karena sama-sama Elle Fanning yang main. Enak banget sih nontonnya karena lagu-lagu yang dipakai itu populer semua, nggak kebayang berapa duit budgetnya habis untuk bayar semua lisensinya. Ceritanya sendiri standar kisah from-zero-to-hero yang kita semua udah tahu dan bisa tebak. Ditambah dengan mentor orang tua ala Mr. Shaibel-nya The Queen's Gambit, yang sebenarnya jalan ceritanya juga mirip-mirip meski beda bidang. Satu yang hal yang gue rasa kurang pas adalah di bagian nyanyi. Iya menurut gue kok suaranya Elle Fanning biasa banget ya, beda jauh sama suara kompetitornya si Roxy yang kelihatan lebih ada khas dan berkarakter. Padahal di tipikal film musikal kaya gini, harusnya yang ditonjolkan adalah bakatnya - which is suara.  Ngerti sih sutradara dan penulis naskah debutan Max Minghella mau nonjolin bakat aktingnya Elle Fanning, yang memang tampil sangat baik dengan kara

On the Rocks - Apple TV+ Review

Gambar
Sebagai seorang yang selalu menonton film-filmnya Sofia Coppola, rasanya ini adalah film yang paling gue nggak suka - karena terlalu biasa. Iya, kalau On the Rocks tidak ditulis dan disutradarai oleh Sofia Coppola mungkin gue akan lebih bisa memaklumi ya.  Tapi berhubung biasanya karya-karya beliau selalu bertemakan keterisolasian - dan konsisten kecuali film terbaru ini - maka rasa kekecewaan gue menjadi berkali lipat. Kenyataan bahwa film ini diproduksi oleh A24 juga tidak menyelamatkan kualitasnya. Ya maklum saja pasti orang-orang A24 juga memberikan kebebasan berekspresi bagi nama besar Sofia Coppola. Menurut gue, kalau nggak ada Bill Murray rasanya sulit orang mau tertarik nonton film ini. Memang benar, sepanjang film hanyalah seorang Bill Murray yang mampu membawa film menjadi menarik apalagi kalau bukan karena gayanya yang komedik dan komikal. Ceritanya sendiri "terlalu biasa" dengan kecurigaan sang istri bahwa si suami selingkuh, dengan campur tangan ayahnya maka mere

Story of Kale: When Someone's In Love - Review

Gambar
Berhubung Story of Kale ini malah rame ngomongin bajak-bajakan dan kale dan argo ngeselin, ada satu poin penting yang sayang malah tenggelam gak diomongin; kombinasi maut physical and verbal abuse + gaslighting + passive aggresive jadilah toxic relationship. Gue sih seneng ya selain Posesif, ada film lokal lagi yang ngebahas soal toxic relationship. Apalagi kali ini direpresentasikan lewat dua karakter di sekitar si cewe. Ya harusnya judulnya Story of Dinda kali ya, tapi ya udahlah. Lagipula jarang-jarang kan film Indonesia ngebahas break up story, biar nggak kalah sama Hollywood gitu yang udah punya Blue Valentine dan kawan-kawannya. Durasi 77 menit lumayan cukup panjang lah ya buat ngelihat dua orang berantem semalaman, sambil flashback gimana mereka bisa jadian dulu. Apalagi ngeliat dua karakter nyebelin, yang satu karakter utama pula, yang bukan antihero malah jadi antagonis di sini. Ngerti sih ini kaya mau ngasih liat sudut pandang lain dari seorang Kale yang keliatan bijak banget

Clouds - Disney+ Review

Gambar
Gue udah tahu dengan film ini sejak rilis di Disney+, tapi selalu males untuk nonton film tipikal tearjerker kaya gini. Ya intinya lagi males ngerasain emosi sedih kemudian nangis aja. Yang ended up gue nangis aja gitu di akhir filmnya. NGEHEK. Anyway, Clouds ini sejam pertamanya agak ngebosenin ya. Ngerti sih ini berdasarkan kisah nyata dan setia banget sama kejadian aslinya sampai ke detil barang-barang di kamar dan baju yang dipakai. Tapi untuk storytelling film panjang jadi kaya potongan vlog yang dijahit dijadiin satu film berdurasi dua jam. Untungnya sejam terakhir cukup seru karena gue udah terinvestasi emosinya melihat susah payahnya Zach Sobiech menjalani sisa hidupnya. Semakin dekat ke waktunya, semakin keras gue nahan air mata sampai tenggorokan pegal. Mau sekuat apapun, tanggul itu bocor juga pas adegan konser. AH! Sutradara Juston Baldoni ini sebelumnya juga menyutradarai film dokumenter 22 menit-nya Zach Sobiech, bisa ditonton legal di Youtube-nya SoulPancake. Sayang ya l

The Queen's Gambit - Netflix Series Review

Gambar
Menurut gue, The Queen’s Gambit adalah series terbaik yang gue tonton di  2020. Unorthodox, Stateless, Criminal, Bly Manor minggir dulu ya. Elizabeth Harmon si child prodigy pemain catur yang gak cuma bakatnya, tapi juga gender yg ngobrakngabrik patriarkis dunia catur tahun 60-an. The Queen’s Gambit unggul di semua lini, mulai dari naskah yang super solid, teleplay yang asyik dan seru, aktor-aktris yang gokil banget aktingnya, plus scoring yang luar biasa tense padahal “cuma” adegan main catur. Series ini diadaptasi dari novel berjudul sama karangan Walter Tevis tahun 1983, dan kisah fiksi. Tapi dalam adaptasinya ke tv series, banyak terinspirasi dari tokoh-tokoh catur dunia. Jadi setiap adegan kompetisi caturnya terasa nyata banget - dan seru! Karakter Elizabeth Harmon di series ini menurut gue bisa jadi studi karakter yang ciamik sekaligus holistik. Masa kecil - dan traumanya - digambarkan dengan deskriptif, yang kemudian membentu karakter Beth yang dingin dan seakan apatis, termasuk

Humans - Mola TV Series Review

Gambar
Pernahkah kamu membayangkan punya robot berbentuk manusia yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah kamu? Robot itu bisa kerja membantu berbagai pekerjaan rumah tangga selagi kamu fokus untuk kerja ataupun bersantai. Mulai dari cuci piring, cuci baju, menyapu, mengepel, membetulkan pipa air yang bocor, membetulkan genteng, sampai pijat. Sekilas terlihat menyenangkan ya, apalagi di beberapa hal robot ini lebih unggul ketimbang manusia dalam hal ketepatan waktu, presisi, detil, dan tidak akan pernah salah dalam mengerjakan suatu hal. Iya sampai suatu ketika robot tersebut memiliki perasaan dan pemikiran sendiri, lalu berusaha untuk membebaskan diri dari budak manusia. Tidak hanya sampai di situ juga, tapi juga melukai - bahkan membunuh - manusia yang mereka rasa “layak” untuk disakiti atau dibunuh. Buat saya pribadi, adanya teknologi canggih memang sangat membantu dan mempermudah kehidupan. Tetapi pasti ada konsekuensi logis dari hal tersebut, apalagi setiap teknologi secanggih

The Trial of the Chicago 7 - Netflix Review

Gambar
The Trial of the Chicago 7 ini adalah film kedua yang disutradarai oleh penulis naskah berbakat Aaron Sorkin, setelah Molly's Game (2017) . Menariknya, dua film ini sama-sama berkisah tentang court room drama. Yang kedua ini berhubung didanai oleh Netflix, maka bintang-bintangnya pun luar biasa. Mulai dari Eddie Redmayne, Joseph Gordon-Levitt, Mark Rylance, Michael Keaton, sampai Sascha Baron-Cohen yang kali ini tumben main di film serius.  Berdasarkan kisah nyata demonstrasi menentang perang Vietnam di kota Chicago tahun 1968, tujuh aktivis pemimpin grup demonstran dituduh berkonspirasi untuk membuat kerusuhan. Mereka disidang dalam pengadilan yang bisa disebut sebagai pengadilan politik, lewat hakim yang berat sebelah dan tuduhan-tuduhan yang tidak masuk akal. Belum lagi melihat kekerasan polisi terhadap para demonstran, yang benar-benar tidak lekang oleh waktu jika melihat situasi demonstrasi di tahun 2020 ini di manapun mereka berada. Pengalaman nonton film ini benar-benar bik

BLACKPINK: Light Up the Sky - Netflix Documentary Review

Gambar
Sebelum nonton ini, gue sama sekali nggak tahu Blackpink kecuali lagu-lagunya yang dijadiin jingle iklan salah satu marketplace. Nama-nama anggotanya aja gue nggak hafal. Iya gue memang bukan K-Popers sama sekali. Tapi setelah nonton dokumenter ini, kok gue jadi ngefans sekaligus merasa berdosa ya? Hahahaha dammit! BLACKPINK: Light Up the Sky memang jadi dokumenter yang sempurna untuk mengenal siapa itu girl band asal Korea Selatan yang sekarang sudah go international. Satu persatu kita diajak berkenalan dengan masing-masing anggotanya, sekaligus biografi singkat masa kecil, masa-masa audisi, masa-masa pelatihan, hingga menjadi seperti sekarang ini. Sumpah ya gue jadi lebih respek sama Blackpink setelah tahu mereka harus menempuh latihan selama 4-6 tahun sebelum akhirnya terbentuk girl band dan pentas di depan panggung. Apalagi ternyata mereka nggak cuma menang cantik, tapi pintar juga - dan bisa berbahasa Inggris! Iya kecuali JiSoo yang sampai sekarang setidaknya sudah bisa passive En

The Professor and the Madman - Review

Gambar
Pernah dengar tentang profesi lexicografer? Lewat film The Professor and the Madman ini kamu bisa lihat bagaimana lexicografer bekerja untuk mengkompilasi kamus dan mencari asal muasal kata dalam sebuah bahasa. Apalagi film ini diangkat dari kisah nyata Professor James Murray sebagai perintis dan editor pertama kamus terkenal Oxford English Dictionary. Tahun 1872 di Oxford, James Murray (Mel Gibson) terpilih menjadi editor untuk membuat kamus bahasa Inggris yang memuat etimologi atau asal muasal sebuah kata berikut dengan artinya. Posisinya cukup ditentang oleh beberapa anggota komite Oxford University Press karena meragukan kemampuan James Murray di mana pekerjaan mengumpulkan seluruh kata serta asal muasal kata itu berasal adalah hal yang sangat sulit. Namun ternyata James Murray memiliki rencana lain, yang bisa dibilang sebagai perintis dari gerakan urun tangan yang melibatkan partisipasi publik. Dia membuat pengumuman ke seantero negeri untuk mengundang sukarelawan agar membantu me

Deaf U - Netflix Series Review

Gambar
Suka! In the vein of "Love on the Spectrum", Deaf U ini docuseries yang ngikutin beberapa mahasiswa yang kuliah di kampus khusus deaf and hard of hearing. Delapan episode masing-masing gak lebih dari 20 menit ini enak banget diikutin, dan ngelihat gimana mereka ngejalanin dating life, relationships, friendships, sampai trauma dan bullying. Iya sepanjang series kita hanya baca subtitle dan lihat ekspresi muka mereka, karena mereka ngobrol dan cerita ke kamera pakai bahasa isyarat! Ini pengalaman nonton yang lucu dan unik sih karena jadi kaya sunyi gitu minim dialog meski ditemani oleh scoring yang menyesuaikan atmosfer cerita. Buat gue sendiri, ini kaya memuaskan kehausan gue akan rasa penasaran terhadap kehidupan orang-orang disabilitas, khususnya tuli. Dulu gue pernah les bahasa isyarat Bisindo cuma karena pengen berinteraksi dengan mereka. Sayangnya Bisindo gue gak kepake karena Deaf U pakai American Sign Language (ASL) ya of course. Tapi lewat docuseries ini gue jadi tahu

The Haunting of Bly Manor - Netflix Series Review

Gambar
Berharap seram sih salah, memang masih jauh lebih seram The Haunting of Hill House ketimbang ini. Tapi di segi cerita, Bly Manor menang banyak dengan ngebahas cinta, penebusan, kematian, dan pentingnya memori bagi identitas manusia. Ini series horor yang cantik lewat drama dan karakter-karakternya, secantik visualnya juga yang enak banget di mata. Iya menurut gue sih nggak seram ya, beda sama The Haunting of Hill House yang bisa bikin gue merinding sampai tidur harus nyalain lampu beberapa hari setelah nonton. Tapi ceritanya ya Tuhan, bikin emotionally wrecked in a good way . Semua side story sama-sama kuat dan signifikan ke jalan cerita. Tragisnya juga sama, beneran bikin patah hati tiap episode. Gue suka banget gimana The Haunting of Bly Manor menggambarkan purgatory , semacam Triangle versi haunted house . Kemudian dikasih bumbu "terjebak dalam memori" yang paling dikenang, baik maupun buruk. Menegaskan bahwa salah satu yang paling penting dalam hidup adalah memori. Di ma