Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2021

Invisible Hopes - Review

Gambar
Invisible Hopes ini nyaris invisible beneran di mata kalo gue nggak iseng buka-buka app TixID buat liat-liat lagi ada film apa aja di bioskop. Dari premisnya langsung memacu gue untuk segera nonton karena satu, film dokumenter di bioskop Indonesia rentan turun layar begitu cepat karena minat penonton yang sangat rendah untuk menonton film dokumenter di bioskop. Kedua karena gue emang lagi ngikutin serial Orange is the New Black yang gue cuma geleng-geleng kepala betapa "mewahnya" penjara di negara maju, yang gue tahu benar penjara di Indonesia keadaannya jauh memprihatinkan.  Nah apa kabar nasib napi yang sedang hamil, baru melahirkan, dan membesarkan anak? Ini yang sama sekali nggak lewat di pikiran gue selama gue nonton Orange is the New Black itu. Ketika Invisible Hopes menawarkan jendela untuk mengintip kisah langka itu, jelas nggak akan gue lewatkan begitu saja. Benar saja, semua rasa penasaran gue terjawab dengan komprehensif meski nggak terlalu puas, lewat dokumen

Cruella - Review

Gambar
Disney melanjutkan tradisinya membuat film spin-off karakter antagonis dari kisah klasiknya, untuk menunjukkan bahwa sejahat apapun manusia memiliki latar belakang yang sama dengan kita semua. Sebagai fans Emma Stone gue pun cukup senang akhirnya dia bisa jadi pemeran utama di film sekelas Disney, ditambah lagi beradu akting dengan aktor Inggris senior Emma Thompson. Tapi ngeliat Emma Stone di poster dan trailer kok gue ngerasa usahanya keras sekali untuk jadi Cruella dengan aksen British yang kental itu. Memang nggak boleh judge a film by its poster/trailer karena Emma Stone nailed it ! Ya ada beberapa kalimat yang kayaknya dia kepeleset balik ke aksen AS, tapi overall sih oke banget karena berasa hidup si karakter Cruella / Estella ini. Emang rasanya kalau nonton secuplik-secuplik berasa fake banget ini karakter, tapi kalau nonton dari awal sampai akhir jadi berasal nyata dan meyakinkan. Stylenya Cruella kok gue nangkepnya mirip-mirip Robert Smith-nya The Cure dicampur sama David

A Quiet Place Part II - Review

Gambar
Gue inget banget nih pas nonton Part I tahun 2018 kemarin, kelas film dengan kokang shotgun-nya Emily Blunt itu, gue langsung teriak dalam hati "SEKUEL PLISSS". Sejatinya Part II ini rilis tahun 2020 tapi mesti mundur satu tahun karena pandemi. Setelah penantian selama satu tahun, akhirnyaaaaaa kita bisa nonton kelanjutannya keluarga Abbott yang jago bahasa isyarat dan kita cintain ini. Masih ditulis naskahnya dan disutradarai oleh John Krasinski, menurut gue Part II ini sama mencekam dan menegangkannya dengan Part I. Bagusnya adalah dunia post-apocalypse yang diperluas dengan banyak karakter baru. Dengan lokasi dan latar baru ini tentunya ngasih ketegangan dengan jenis baru juga yang bikin gue semacam latihan tahan nafas.  A Quiet Place Part II memang dibuat untuk ditonton di bioskop, karena pengalaman menonton yang nggak ada duanya. Sunyi sepi sekali bahkan ngunyah popcorn aja gue nggak berani karena pasti kedengeran satu studio - dan kebawa parno bisa narik si monster it

Tjoet Nja' Dhien - Review

Gambar
Bahagia banget gue bisa nonton film rilisan tahun 1988 ini di layar bioskop! Dulu pertama kali nonton "hanya" di Kinosaurus, dan jelas gue nggak akan melewatkan kesempatan penayangan khusus di layar lebar dalam rangka restorasi ini. Direstorasi oleh Belanda dengan pembiayaan Australia, bangga banget bisa ngeliat kualitas film tahun 1988 dengan mulus dan berdefinisi tinggi. Nggak ada noise sama sekali dan hasil audio yang jernih. Efek nontonnya bikin merinding. Ini adalah film Indonesia pertama yang masuk Cannes, yang tahun depannya Christine Hakim dijadikan juri di festival bergengsi tersebut. Selama nonton sih gue nggak henti-hentinya kagum kaya gilaaa tahun 1988 bisa bikin film kolosal kaya gini. Apalagi ternyata film ini proses pengerjaannya tiga tahun karena kurang dana! Detil kostum dan makeupnya sih luar biasa loh, dengan orang sebanyak itu masih bisa tetap detil dan otentik. Kisah dalam filmnya sendiri masih sangat relevan dengan jaman sekarang. Dengan latar belakang

Army of the Dead - Review

Gambar
A heist zombie film. Premisenya menjanjikan sekali ya, perampokan kasino di tengah wabah zombie. Apalagi datang dari tangan besi sutradara dan penulis naskah Zack Snyder. Hasilnya memang centang biru semua ciri khas beliau; stylish opening credits , adegan super slow-mo , catchy soundtracks , dan hubungan ayah-anak perempuan. Tapi " a heist-zombie " film? More to zombie film than a heist film . Jadi nggak usah mengharapkan heist modelan Ocean's Trilogy ya.  Sebagai pecinta genre zombie, gue cukup suka sih. Sedikit kecewanya ya karena gue mengharapkan ada heist semacam Ocean's Trilogy itu. Tapi kalau dari awal dijual sebagai zombie film aja, mungkin gue akan lebih puas lagi. Army of the Dead adalah film zombie yang menyenangkan dan kocak. Gue suka gimana Snyder ngasih banyak elemen humor di film ini, mulai dari dialog sampai ke karakter. Siapa coba yang nggak jatuh hati sama karakter Dieter?? Pilihan lagu-lagu yang dipakai juga super catchy . It's f*cking final

Those Who Wish Me Dead - Review

Gambar
Kok begini amat ya. Padahal ini dari sutradara dan penulis naskah Taylor Sheridan (Wind River, Hell or High Water, Sicario) ditambah lagi Angelina Jolie yang konon selektif dalam memilik proyek. Apa ini kemahalan di cast gue nggak tau deh karena ada pula Nicholas Hoult, Jon Bernthal, Aidan Gillen, dan Tyler Perry. Dengan deretan cast sekaliber itu rasanya sayang banget Those Who Wish Me Dead cuma jadi film aksi B ajah. Gue sih tertarik nonton selain nama-nama besar di atas, ya karena pake profesi pemadam kebakaran hutan - yang ternyata nggak dibahas sama sekali di filmnya dong. Ya ada sih tapi secuil doang meski cukup signifkan di akhir film. Gue berasa kebakaran hutan di film ini cuma dijadikan latar belakang saja, yang memang literally mereka kejar-kejaran dengan pembunuh di tengah kebakaran hutan. Trus memang masalah utama kayaknya di naskah, film ini menghabiskan sepertiga awal untuk membangun cerita bersama deretan latar belakang setiap karakter. Untuk kemudian tidak diberikan p

Spiral - Review

Gambar
Sejujurnya gue udah nyerah dengan franchise Saw yang semakin dibuat sekuelnya kok semakin jeblok kualitasnya. Tapi sepertinya Spiral ini adalah sekuel/spinoff yang nggak ada Tobin Bell sama sekali. Plus ada Chris Rock yang rasanya jarang-jarang main film serius bahkan film model slasher kaya gini. Konon, Chris Rock adalah fans garis keras Saw dan ngajuin ide film ini ke Lionsgate. Mereka pun suka dan ngejadiin Chris Rock sebagai produser, penulis naskah, sekaligus pemeran utama. Ternyata ya nggak jelek-jelek amat. Naskahnya solid dengan twist yang lumayan kena, meski mungkin ada beberapa orang yang dengan mudah menebak sedari awal. Kisahnya sederhana, meski tujuan orang untuk nonton series Saw jelas bukan cerita tapi ide jebakan ngehek kaya apa yang bakal ada. Entah ya yang ngidein jebakan kaya gitu lagi mabok apaan tau, tapi adaaaa aja idenya sih. Lumayan bikin gue gemes sambil garuk-garuk kepala saking horornya itu jebakan. Seneng banget gue ngeliat Chris Rock akting bareng Samuel L.

Oxygen - Review

Gambar
Oxygen adalah versi modern dan sci-fi dari Buried, drama solo survival di dalam kotak berukuran 2x1 meter. Dipimpin oleh Melanie Laurent dan segala kecanggihan teknologi modern di cryogenic pod, Oxygen malah membuat Buried lebih menantang dan lebih gahar. Gimana nggak, Melanie Laurent masih ditemenin sama virtual assistant yang super canggih dan bisa googling segala. Sementara Ryan Reynolds cuma mengandalkan telepon genggam dan korek!  Tapi bukan berarti Oxygen sejelek itu, nggak juga sih. Masih menegangkan juga karena kecanggihan teknologi tidak serta merta membuat Melanie Laurent bisa keluar dari kotak itu. Ada plot twist yang lumayan bikin gue nganga di akhir film, untuk kemudian penulis naskah Christie LeBlanc layak diberikan tepuk tangan atas jalan cerita yang solid. Gue suka banget sama unsur scifi yang ada di sini, sangat segar dan baru yang rasanya belum pernah diangkat oleh medium manapun. Lalu ada di mana peran Alexander Aja? Oh ya jelas di bagian tusuk-menusuk daging dan dar

Wrath of Man - Review

Gambar
Guy Ritchie udah paling bener megang film action-crime aja lah, emang tangan emasnya udah spesialis di area situ. Memang Wrath of Man ini bukan film yang dia tulis sendiri, melainkan adaptasi Hollywood dari film Perancis berjudul Cash Truck (2004). Tapi nyatanya terlihat gimana signature -nya Guy Ritchie bersebaran di seluruh film ini; quick cut , scoring jahanam, sampai ke storytelling kisah mafia yang kompleks. Unsur action-nya sih nggak ada obat. Minggu lalu yang gue udah suka banget sama Nobody dengan film aksi dengan cerita yang  to the point . Malah Wrath of Man ini menurut gue lebih keren lagi! Udahlah adegan aksinya nggak ada yang ngelawan dengan scoring super menegangkan kaya gitu. Ditambah lagi jalan cerita yang lumayan convoluted tapi logis banget dengan naskah yang rapi dan solid. Gue suka banget sih sama cerita yang dibawa di sini, yang kayaknya nggak bisa gue ketik panjang lebar demi kenikmatan penonton tanpa spoiler. Film yang dibawakan dalam bentuk beberapa bab ini b

The Serpent - Series Review

Gambar
Diplomat is cool! Gara-gara nonton The Serpent, gue jadi kagum banget sama pekerjaan diplomat. Iya padahal limited series ini nyeritain tentang kisah nyata pembunuh berantai dan penipu Charles Sobhraj yang ngeracunin, ngebunuh, dan ngambil uang serta paspor para backpacker Eropa dan America selama dekade 70-an di seantero benua Asia. Konon serial ini cukup setia dengan kejadian nyatanya sampai sekitar 90% akurasi, dengan sisanya dramatisasi. Yang gue suka dengan limited series ini tuh syutingnya jauh dari US-centric tapi di negara-negara Asia. Mulai dari Thailand, India, Nepal, sampai Hong Kong. Lalu bahasa yang digunakan juga sangat akurat nggak melulu bahasa Inggris. Jadi kita bisa dengar bahasa Belanda, Jerman, Perancis, Thai, dan Hindi. Oh how I love language and geographic authenticity! True crime series ini sih serunya kebangetan. Cuma delapan episode dengan durasi kurang lebih 50 menit, tapi setiap episodenya bikin gemes dan gregetan parah! Padahal ya drama aja gitu dengan mi

Nomadland - Review

Gambar
Akhirnya, nonton Best Picture Oscar nggak pernah semudah ini; ditonton di rumah! Ya meski pengalamannya lebih berkali lipat ditonton di bioskop, tapi berhubung Nomadland ini hak distribusinya ada di Searchlight Pictures - yang kini sudah bernaung di bawah Disney - jadilah bisa ditonton di Disney+.  Buat gue nonton Nomadland itu kaya mockumentary ; ngedengerin cerita-cerita para nomaden di AS yang kesemua cerita itu dirangkai oleh karakter Fern yang diperankan oleh Frances McDormand. Kenapa gue bilang mockumentary, karena semua karakter selain Fern dan Dave (David Strathairn) itu diperankan oleh orang asli nomaden - alias ini adalah pertama kali mereka berakting di depan kamera.  Cerita-cerita yang keluar dari mulut mereka di depan kamera pun asli dan otentik. Saking otentiknya, Frances McDormand benar-benar menghabiskan 4-5 bulan syuting dengan hidup nomaden di 7 negara bagian di AS. Ya nggak heran air muka, ekspresi, dan emosinya bisa lengkap dan nyata begitu.  Lalu sebelum nonton ini