Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2021

Fatherhood - Review

Gambar
Pertama kali liat trailer ini langsung tertarik! Bukan cuma premisnya aja yang menarik tapi juga kapan lagih sih Kevin Hart main film serius mengandung bawang kaya gini. Film ini diadaptasi dari kisah nyata Matthe Logelin yang menulis pengalamannya dalam blog dan kemudian dijadikan buku dalam Two Kisses for Maddy: A Memoir of Loss & Love tahun 2011.  Produksi film ini sempat terhenti dengan Channing Tatum sebagai pemeran utamanya. Namun Kevin Hart tertarik untuk menjadi aktor sekaligus produser demi memberikan representasi ayah kulit hitam yang belum pernah mendapat tempat di Hollywood. Hasilnya memang film yang beraroma bawang dari awal hingga akhir. Siapapun - siapapun - pasti akan bisa dengan mudah melihat diri sendiri atau orang terdekatnya ketika nonton film ini. Sangat relate dengan semua orang. Apalagi film ini juga secara tidak langsung menegakkan fakta bahwa betapa sulitnya menjadi seorang ibu - meski seorang ayah juga bisa membesarkan anaknya seorang diri. Kevin Hart si

Luca - Review

Gambar
Summer is here! Yang ditunggu-tunggu telah tiba, meski sedih harus ditonton di tv dan bukan di bioskop. Konon karyawan Pixar pada kesel sih dua kali berturut-turut setelah Soul, lalu Luca ditaruh di Disney+ dan tanpa dikenakan biaya tambahan macam Mulan dan Raya. Ya semoga karya Pixar setelah ini bisa kembali ke layar lebar ya. Dari trailernya kelihatan banget kalau Luca ini sangat terinspirasi dari Ghibli Studio. Lalu nuansanya kok gue berasa kaya campuran antara Ponyo x Call Me By Your Name ya mentang-mentang latarnya di desa kecil pinggir laut di Italia. Tapi ternyata ini adalah film tentang persahabatan dan coming of age yang unyu dan menggemaskan. Kalau dibandingkan dengan karya Pixar lainnya jelas masih kalah jauh dari Soul atau bahkan Inside Out . Tapi bisa jadi Luca memang ditargetkan lebih kepada penonton anak-anak dan remaja alih-alih penonton dewasa, terlihat dari banyaknya komedi slapstick yang ada. Visualnya nggak perlu dibahas lagi lah ya, makin ke sini semakin detil

Ali & Ratu Ratu Queens - Review

Gambar
Ali & Ratu Ratu Queens jadi film Indonesia yang gue tunggu-tunggu di tahun ini. Gagal masuk bioskop dan keburu dibeli Netflix untuk didistribusikan secara global, rasanya kita harus berbangga pada Palari sebagai PH dibalik film ini. Setelah Posesif (2017) dan Aruna dan Lidahnya (2018), sudah terlihat lah ya konsistensi kualitas yang dijaga oleh Palari.  Fokusnya nggak hanya pada aktor aktris yang tenar sekaligus berbakat, tapi juga orang-orang di belakang kamera yang nggak main-main. Ali & Ratu Ratu Queens ini disutradarai oleh Lucky Kuswandi (Madame X, Selamat Pagi Malam, Galih dan Ratna) dan ditulis naskahnya oleh Gina S. Noer (Posesif, Dua Garis Biru, Keluarga Cemara). Rasanya ekspektasi gue yang terlalu tinggi jadi efek setelah selesai nonton agak mixed feelings sih. Pertama-tama it's a well made film . Sebuah standar baru yang cukup tinggi di perfilman nasional di berbagai segi. Aktingnya luar biasa ga ada obat, semua yang tampil di sini sama rata ciamiknya. Yang bila

Fast & Furious 9 - Review

Gambar
Harus diakui cukup jarang ada film yang sekuelnya sampai angka 9 seperti ini. Tahun ini pun jadi tahun ke-20 sejak The Fast & the Furious pertama kali dirilis tahun 2001. Sempat tertunda setahun karena pandemi, rasanya Universal Studios sudah cukup percaya diri untuk merilis anak emasnya di tahun ini. Ya wajar saja karena setiap kali franchise ini rilis di bioskop Indonesia, langsung memonopoli layar bahkan satu lokasi bioskop bisa saja hanya menayangkan satu film ini. Tapi jujur gue termasuk salah satu yang kurang sreg sama franchise yang mengedepankan style over substance ini. Hampir semua adegan aksinya benar-benar memakai ilmu fisika karya mereka sendiri, pokoknya yang penting terlihat keren di kamera. Ya misalnya dibandingkan dengan franchise sebelah Mission Impossible yang semua stunt -nya dilakukan sendiri oleh Tom Cruise jadi sudah jaminan nyata adanya gitu. Tapi ya mungkin memang adegan aksi nggak ada otak ini yang jadi ciri khasnya FF dan nyatanya juga sampai saat ini m

In the Heights - Review

Gambar
Semenjak nonton Hamilton di Disney+, gue dibuat keranjingan dengan lagu-lagu karya Lin-Manuel Miranda. Jadi ketika teater Broadway karya pertama dari Lin-Manuel (Hamilton adalha karya keduanya) mau difilmkan maka jelas ini jadi tujuan hidup jangka pendek gue. Apalagi film musikal adapasi Broadway kali ini disutradarai oleh Jon M. Chu ( Crazy Rich Asians, 2018 ) yang sudah teruji tangan magisnya dalam menangani film yang berbicara tentang perjuangan ras minoritas di AS. Buat gue, film musikal itu memang sakti mandraguna. Ada kali satu musical number gue dibuat senyum sumringah mekar meregah tanpa ampun. Tapi di number yang lain rasanya pedih banget sampai dada sesak. Ajaib karena nada-nadanya nge- beat tapi liriknya sedih banget. Ditambah lagi Jon M. Chu benar-benar memanfaatkan medium film semaksimal mungkin! Efek CGI dimanfaatkan dengan sangat cantik, seakan-akan memang inilah perbedaan dan alasan utama menonton In the Heights versi film ketimbang panggung teater. Lagu-lagunya meman

The Father - Review

Gambar
Seneng banget gue begitu tahu ada The Father di Catchplay, film yang dapet dua piala Oscar buat Best Adapted Screenplay dan Best Actor (Anthony Hopkins). Gue kira filmnya akan melodramatis semacam Amour-nya Michael Hanneke. Tapi ternyata nggak gitu juga, malah The Father ini termasuk film unreliable narrator; film yang ceritanya dibawa oleh karakter utama yang nggak konsisten dalam membawakan cerita. Hasilnya penonton harus menebak-nebak mana jalan cerita yang benar dan mana yang hanya dalam fantasi dia saja. Jelas ya karena karakter Anthony di film ini menderita dementia atau alzheimer jadi selalu lupa bahkan tidak mengenali anaknya sendiri. Maka dari itu nonton The Father seperti melihat dunia dari sudut pandang orang yang menderita ini. Cukup ekuivalen dengan Sound of Metal ya yang melihat dunia dari sudut pandang orang yang kehilangan pendengaran secara gradual. Memang layak dengan piala Best Adapted Screenplay yang diadaptasi dari naskah teater Perancis karya Florian Zeller

Sweet Tooth - Series Review

Gambar
Sweet Tooth is exciting adorable adventure ride! Delapan episode berdurasi kurang lebih 50 menit nggak disangka-sangka habis gue lahap dalam satu hari. Adaptasi dari komik berjudul sama karya Jeff Lemire tahun 2019-2021 ini menurut gue sangat mudah diakses untuk berbagai kalangan. Dibuat sebelum pandemi Covid-19, kisah di dalam Sweet Tooth ini tentang bencana besar yang membunuh jutaan manusia karena penyebaran virus mematikan.  Syutingnya pun sebelum pandemi terjadi dan dilanjutkan selama pandemi. Makanya gue cuma bisa ngakak ketika dunia apocalypse yang digambarkan serial ini mirip banget sama keseharian kita; banyak signage untuk jaga jarak dan pakai masker, pihak berwenang mewajibkan cek suhu sebelum masuk ke gedung, termasuk orang-orang bandel yang ogah pake masker trus berantem sama yang taat protokol kesehatan. Selain sangat familiar dengan keseharian kita, menurut gue serial ini oke banget ditonton untuk berbagai kalangan mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Tidak sadi

The Conjuring: The Devil Made Me Do It

Gambar
Terlepas dari berbagai ulasan negatif, gue cukup suka dengan seri ketiga The Conjuring ini. Meski udah nggak disutradarai lagi oleh James Wan (yang sekarang duduk manis di kursi produser), penutup trilogi pertama ini disutradarai Michael Chaves ( The Curse of La Llorona , 2019). Yes you read it right , "trilogi pertama" yang konon kisah Ed dan Lorraine Warren akan berlanjut meski ini adalah bab penutup trilogi pertama.  Sebagai sebuah trilogi, menurut gue trilogi The Conjuring ini sangat solid. Coba kesampingkan elemen horornya dulu dan kita melihat bagaimana perjalanan kisah cinta Ed dan Lorraine yang ujian pernikahannya bukan kaleng-kalengan - tapi diuji sama setan langsung! Kalau di yang pertama, emosi penonton dibawa ke Lorraine yang bisa aja jadi korban. Di yang kedua pun gantian, Ed yang bisa jadi korban. Sementara yang ketiga ini, dua-duanya langsung bisa terancam nyawanya akibat kejahatan yang lebih jahat daripada setan ( no spoiler! ). Kalau kita bahas elemen hororny