Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2021

Nobody - Review

Gambar
Nobody sih keren banget, malah kayaknya gue lebih suka ini ketimbang John Wick hahaha maaf ya. Sebagai konfirmasi, meski sama-sama dari penulis naskah Derek Kolstad, Nobody bukan berada dalam universe yang sama dengan John Wick. Memang ceritanya yang mirip banget, tapi di bawah studio Universal si Nobody ini memang mau dijadikan franchise sendiri dengan Bob Odenkirk sebagai bintang utamanya. John Wick memang jadi film aksi yang stylish , tapi menurut gue terlalu style over substance . Nah dipegang oleh sutradara Ilya Naishuller ( Hardcore Henry, 2015 ), Nobody ini memang stylish tapi nggak berlebihan dan masih mengutamakan adegan aksi adu jotos atau adu tembak-tembakan yang ada. Kekuatan utamanya memang ada di soundtrack yang ajaib banget bisa memadukan Don't Let Me Be Misunderstood -nya Nina Simone dengan adegan sadis dan berdarah-darah. CADAAAASSSSSS!! Sebagai penonton serial Breaking Bad , pasti bahagia banget akhirnya Bob Odenkirk jadi pemeran utama di film panjang. Iya mema

Shadow in the Cloud - Review

Gambar
Sebelum nonton ini, gue sama sekali nggak baca sinopsis dan nggak nonton trailer. Modal gue cuma poster dengan Chloe Grace Moretz yang gede banget itu, latar Perang Dunia ke-II, dan sekelibat review bernada positif di linimasa gue. Hasilnya ternyata nggak terlalu mengecewakan, nggak jelek tapi nggak bagus-bagus amat juga. Secara keseluruhan ini film seru yang menghibur mata dan telinga aja, dan nggak perlu dibawa serius-serius amat. Pertama-tama iya jalan ceritanya memang lumayan absurd. Bukan, bukan karena gremlin yang hobi makan spare part pesawat ketika terbang, tapi beberapa aksi kecil Chloe Grace Moretz yang nggak logis tapi keliatan keren di film. Yaaaaa tipikal mobil lompat dari satu gedung ke gedung lain di Fast & Furious gitu laaah. Pas ngeliatnya sih kaget kok bisa gitu, tapi ya dimaklumin aja deh secara udah ada gremlin juga kan dari awal, jadi udah tahu film ini bergerak di area fantasi. Sisanya sih seru loh menurut gue. Film ini benar-benar 100% berisi perjuangan para

Sound of Metal - Review

Gambar
Sound of Metal hits me so hard .  Gue selalu punya weak spot kalau nonton film-film disabilitas macam begini. Miris dan perih rasanya ngeliat Riz Ahmed sebagai drummer heavy metal yang kehilangan pendengarannya. Tambah perih pas ngeliat gimana susahnya dia buat nerima bahwa sekarang dia tuli - suatu kondisi yang nggak bisa "diperbaiki" bahkan oleh uang sebanyak apapun. Storytelling -nya sendiri luar biasa. Dengan sound design yang super kece, nonton film ini kaya bener-bener ngerasain gimana rasanya - dan apa yang didengar - oleh orang-orang yang kehilangan pendengaran. Percaya deh, ini pengalaman menonton yang luar biasa ketika gue bisa "mendengar" apa yang orang tuli "dengar". Bahkan ketika akhirnya pakai cochlear implant , yang ternyata malah bikin dada gue tambah sesek. Nggak heran Riz Ahmed masuk nominasi Best Actor di berbagai penghargaan bergengsi. Akting dia natural banget dan katanya dia beneran pakai earplug sampai dia nggak bisa dengar apapun.

Mortal Kombat - Review

Gambar
Gue nonton Mortal Kombat di bioskop cuma mau ngeliat Joe Taslim, dan gue puas banget! Sisanya maklumin aja layaknya "kutukan" film adaptasi game yang sudah-sudah. Pertama-tama, gue nggak nyangka ya ternyata Joe Taslim dapat porsi sebanyak itu. Bisa dibilang main villain sih, secara Shang Tsung juga cuma jadi mastermind . Nongolnya bener-bener dari awal sampai akhir, dan banyak part yang dia buka topeng juga. Dialognya juga banyaaaaaak nggak cuma one-liner "hantam mereka" di Fast & Furious 6, dan multi-lingual! Kemudian ngomongin Mortal Kombat pasti ngebandingin sama versi tahun 1995 dan 1997 nggak sih. Ya kalau gitu jelas jauh banget lah mulai dari efek visual sampai cerita. Ya anggap aja ini versi upgrade iPhone 3GS ke iPhone 12S Pro Max. Untuk segi cerita menurut gue lumayan oke sih nggak yang jelek-jelek amat gitu, meski masih tetep usaha untuk open for sequels . Tapi ada bagian besar yang menurut gue cukup repetitif dan nggak bikin jalan cerita maju malah m

The Box - Review

Gambar
Keputusan gue tepat untuk rela nonton film ini di bioskop demi setiap musical sequence yang ciamik. Pertama-tama gue bukan fans EXO atau Park Chan-yeol, bahkan gue nggak kenal siapa mereka. Tapi gue tertarik karena The Box banyak cover lagu-lagu terkenal mulai dari Bad Guy-nya Billie Eilish, Happy-nya Pharell Williams, sampai A Sky Full of Stars dari Coldplay yang terkenal sangat jarang mau memberikan lisensi lagu-lagu mereka.  Gue sih bakalan nggak puas ya kalau nonton "konser musik" di rumah dengan speaker seadanya. Apalagi memang kesukaan gue untuk cari lagu-lagu favorit versi cover orang lain atau bahkan cover versi akustiknya. Jadi memang hanya ini saja yang membuat gue suka The Box, apalagi dengan imajinasi cover yang fantastis dan stylish . Dari segi cerita, cukup mirip dengan Begin Again (2013)-nya John Carney, tapi versi Korea yang fokus pada drama (menye-menye). Sayangnya buat gue jalan ceritanya cukup membosankan. Gue paham perkembangan karakternya adalah Chan-yeo

Bad Trip - Review

Gambar
Bad Trip is such a hilarious trip! Biasanya gue nggak pernah cocok sama prank show modelan Jackass begini. Apalagi ini dari produser yang sama dengan Jackass, meski kali ini disutradarai oleh Kitao Sakurai dengan menggandeng komedian Eric Andre.  Gue sih super ngakak dan sangat terhibur dengan Bad Trip. Bukan hanya dengan setiap prank yang super niat, tapi terlebih pada reaksi setiap orang yang jadi korbannya. Reaksi-reaksinya yang natural itu yang sangat menghibur, mulai dari marah-marah hingga malah membantu aktor/aktris yang ada. Konon, semua prank yang ada dan reaksi para korban itu bukan settingan alias asli! Gue sih nggak kebayang betapa ribetnya syuting setiap prank yang pasti ada aja kan memunculkan reaksi yang nggak sesuai ekspektasi, lalu harus diulang dari awal. Lebih ribet lagi editingnya untuk memillih mana prank yang berhasil dan memilih reaksi yang paling ciamik. Kemudian dirangkai menjadi satu kesatuan storytelling yang punya cerita yang asyik untuk diikuti. Ceritanya s

Love and Monsters - Netflix Review

Gambar
Dylan O'Brien lagi-lagi harus dikejar-kejar monster, demi apa? Demi cinta. Oke pertama-tama, Love and Monsters ini Zombieland (2009) banget karena premisnya yang super mirip. Seorang remaja pria cupu mencoba bertahan hidup di tengah post-apocalyptic world demi apa? Demi cinta. Trus mirip sampai ke berbagai peraturan yang harus ada agar bisa bertahan hidup di tengah berbagai spesies monster yang mengerikan. Tapi harus gue akui world building yang ada dalam Love and Monsters cukup rapi dan meyakinkan. Mulai dari intro film yang cantik dengan animasi sampai ke efek visual yang terbilang sangat rapi dalam skala film televisi. Nggak heran film ini masuk dalam nominasi Best Visual Effects di Oscar tahun 2021. Desain monsternya juga bagus bener nggak aneh-aneh tapi on point seremnya, mungkin karena ada campur tangan produser Shawn Levy yang sebelumnya pernah (dan sedang) menangani serial Stranger Things. Untuk segi ceritanya sendiri, bisa dibilang memang ini film yang ditujukan untu

Minari - Review

Gambar
Buat gue, nonton Minari itu kaya pulang ke rumah Jogja ketemu saudara yang lama nggak ketemu trus ngeteh dan makan mie godog bareng selagi hujan gerimis. Nyaman, penuh kehangatan, berhati besar, dan nggak mau cepet-cepet pulang ke Jakarta. Bukan tipikal film drama tiga babak kebanyakan, film ini nggak berusaha ngasih solusi. Memang nggak bertujuan untuk ngasih solusi atau pesan makna kehidupan, tapi kayaknya memang hanya menggambarkan dan mengeksplorasi interaksi keluarga imigran yang mencoba bertahan hidup di tanah asing. Harus gue akui, film ini semi-biografi masa kecil dari sutradara dan penulis naskah Lee Isaac Chung mungkin bukan untuk semua orang dengan gaya bercerita yang sangat lamban dan sunyi. Nggak ada satu tujuan spesifik yang hendak dituju, karena Minari hanya berkisah satu potong kehidupan yang penting bagi satu keluarga yang baru pindah dari kota besar ke daerah terpencil. Sepanjang film hanya menggambarkan keseharian mereka dalam bekerja dan bertani, ditambah interaksi

Chaos Walking - Review

Gambar
Nggak sejelek itu kok! Membaca banyak review bertebaran di linimasa yang kebanyakan negatif, sempat membuat gue males nonton. Padahal Chaos Walking punya deretan cast yang brilian loh, mulai dari dua aktor utama Tom Holland dan Daisy Ridley sampai supporting cast Mads Mikkelsen, Nick Jonas, David Oyelowo, dan Demian Bichir. Sutradaranya pun Doug Liman yang sudah terbiasa menyutradarai film-film scifi seperti Jumper (2008) dan Edge of Tomorrow (2014). Kisahnya memang sains fiksi yang diadaptasi dari novel The Knive of Never Letting Go karya Patrick Ness, buku pertama dari trilogi novelnya. Premisnya pun cukup menarik, manusia bermukin di planet baru di mana planet tersebut membuat pikiran setiap pria berwujud audio visual sehingga bisa dilihat dan didengar semua orang - tapi tidak dengan pikiran wanita. Di kisah ini pikiran itu disebut " noise " yang entah ditranslasi sebagai "nurani". Konflik horizontal pun tidak dapat dihindari karena setiap pemikiran yang bahka

Crip Camp - Review

Gambar
Salah satu dokumenter yang dapat nominasi Best Documentary di Oscar 2021 ini bisa ditonton di Netflix. Harus gue akui cukup sulit untuk menonton dokumenter ini karena kebanyakan footage dari tahun 1970 dengan kualitas ala kadarnya.  Tapi memang dokumenter ini nggak jualan apa yang terlihat di mata saja melainkan hati dan pikiran - cukup sejalan dengan bagaimana kita memandang orang-orang dengan disabilitas. Mulai dari polio hingga cerebral palsy, mulai dari kursi roda hingga kehilangan salah satu atau dua anggota tubuh, mereka ini tidak bisa hanya dilihat dari luarnya saja. Dengan bodohnya gue takjub bahwa mereka bisa mencapai pendidikan gelar master atau sederetan prestasi lainnya - yang nggak semua orang "normal" bisa mencapainya. Pada dasarnya Crip Camp menceritakan bagaimana sebuah summer camp khusus orang disabilitas di tahun 1970 menjadi aksi demonstrasi besar untuk menuntut hak sipil warga disabilitas di US tahun 1980-1990. Jened Camp adalah satu-satunya acara kemping

Seaspiracy - Netflix Review

Gambar
Oke fix gue nggak akan makan seafood lagi! Gila sih dokumenter ini, bener-bener mindblowing dan eye-opening buat gue. Dokumenter tapi nontonnya bikin gemes, kesel, marah, kecewa, sambil jambak-jambak rambut. Iya sekuat dan seberpengaruh itu karena sutradara Ali Tabrizi dengan gamblang dan apa adanya ngeliatin bagaimana hiu dan paus dibantai oleh manusia demi industri perikanan. Untuk yang nggak mau dan/atau nggak berani nonton, dokumenter Seaspiracy bercerita tentang sisi gelap dibalik industri perikanan yang ternyata selain sangat menguntungkan tetapi juga sangat destruktif bagi bumi mulai dari dasar laut sampai puncak atmosfer.  Gue inget banget dulu pas SD ada seorang guru yang bilang bahwa mendingan kita makan ikan aja karena persediaan ikan melimpah ruah dan cepat berkembang biak. Satu ikan bertelur aja bisa sampai ratusan telur kan. Itu benar, tapi ternyata balik lagi tergantung pada cara "memanen"nya. Kalau nelayan tradisional yang sekali melaut hanya menangkap ikan

Seobok - Review

Gambar
Kisah dilema moral manusia kloning memang bukan hal yang baru dieksplorasi di dunia film. Tapi rasanya memang berbeda jika Korea Selatan turun tangan dan menggarap kisah ini dengan ciri khas dramatis mereka. Yang mengejutkan, tidak ada cinta-cintaan di sini. Seobok benar-benar fokus mengupas hubungan antara manusia kloning dengan seorang pengawalnya yang pada akhirnya mereka saling membantu satu dengan yang lain. Seobok tidak hanya kuat dengan gaya bercerita yang penuh dengan hati, tetapi juga menghibur mata dan telinga dengan efek visual yang luar biasa meyakinkan. Tempo berceritanya memang cenderung lamban dan sunyi, ditambah dialog-dialog yang penuh unsur filosofis mengenai hidup, mati, dan eksistensi manusia. Tapi pengalaman menonton Seobok jelas jadi pengalaman positif karena bagaimana kisah ini begitu menghargai kehidupan - lengkap dengan hal buruk seperti kesedihan dan kekecewaan yang selalu mengiringi kepasrahan dan kebahagiaan. - sobekan tiket bioskop tanggal 11 A

Tersanjung the Movie - Review

Gambar
Tersanjung the Movie jauh lebih 90-an daripada film sebelah yang pakai embel-embel 90-an di judulnya. Gue nonton dengan ekspektasi serendah mungkin dan keluar dengan kepuasan berlebih. Intinya gue suka! Apa karena gue jarang nonton sinetron atau gimana ya, yang jelas gue gak nonton sinetron Tersanjung sama sekali jadi ga tau jalan ceritanya gimana. Tapi konon versi film panjang ini juga adaptasi bebas dari sinetronnya. Nah menurut gue film ini punya storytelling yang menarik! Gue sih sama sekali nggak bisa nebak jalan ceritanya, dan selalu ternganga-nganga ketika jalan cerita dipelintir sedemikian rupa.  Nggak kaya film sebelah, film ini sama sekali nggak jualan kesedihan atau terlalu menye-menye. Porsi drama dan romansanya pas, bahkan dengan perkembangan karakter yang cukup meyakinkan jadi enak buat naruh investasi emosi. Berasa banget kalau film ini punya hati, ketimbang pamer barang-barang melankolia nostalgia sembilan puluhan. Hal lain yang menarik adalah gue sama sekali nggak kena

Trainwreck - Review

Gambar
Ini adalah film sebagai obat gue after-effect nonton Greenland yang bikin mood gue down. Maaf jangan disambat dulu kenapa gue belum nonton Trainwreck dari dulu. Gue sadar akan reputasi film ini karena ditulis dengan hati oleh Amy Schumer, dan terima kasih Netflix Indonesia karena akhirnya merilis film ini sehingga bisa gue akses dengan mudah. Ya ampun gue suka banget sama film ini. Bukan cuma karena ceritanya yang nggak hanya seputar romansa aja, tapi juga elemen komedinya yang bikin gue ngakak parah - sendirian di rumah di depan tv! Iya ini bukan film romcom biasa yang penuh dengan klise, it's more than that! Ini kaya cerita dari hati seorang Amy Schumer tentang wanita yang (tadinya) nggak percaya dengan monogami dan sudah terbiasa dengan gaya hidup open relationship + alcohol + pot. Di samping romansa, dia juga harus memperbaiki hubungannya dengan kakak dan sang ayah. Belum lagi ditambah lingkungan kerja yang cukup toxic.  Cast di Trainwreck sih gila-gilaan loh. Ada Tilda Swinton

Greenland - Review

Gambar
Sebenarnya gue udah cukup kenyang dan begah dengan segala macam disaster movie. Mulai dari gempa bumi, tsunami besar, serangan alien, serangan asteroid, monster kaiju, dan lain sebagainya. Tapi berhubung Greenland mendapat banyak review positif, jadi rasanya nggak ada salahnya untuk ngasih kesempatan itu lagi. Ternyata benar, belum sampai setengah jam pantat gue nyentuh kursi bioskop, gue udah dibuat deg-degan dan cemas dengan bencana yang sedang dan akan terjadi. Lima belas menit awal dihabiskan dengan penjelasan singkat namun sederhana mengenai bedanya komet dengan asteroid, dan bencana yang akan datang ketika komet Clarke - fiktif tentunya - memasuki atmosfer dan menghujam bumi.  Ada banyak sudut pandang dalam menceritakan film bencana, mulai dari sudut pandang atas yang menceritakan reaksi pemerintah seperti Armageddon atau Independence Day. Ada pula sudut pandang bawah yang fokus pada warga sipil seperti 2012 dan The Day After Tomorrow, atau kombinasi keduanya.  Nah menurut gue