Adolescence - Limited Series Review
Sinopsis
Adolescence adalah limited series Netflix berdurasi 4 episode yang mengangkat kisah seorang remaja yang dituduh membunuh teman sekolahnya. Namun alih-alih berfokus pada “siapa pelakunya”, serial ini justru memilih menguliti lapisan-lapisan sosial di balik tragedi tersebut: bullying di sekolah dan media sosial, pengaruh algoritma terhadap pembentukan pola pikir misoginis, rapuhnya relasi orangtua–anak, hingga trauma lintas generasi dalam pola asuh. Dengan pendekatan visual ekstrem berupa one continuous shot di setiap episode, Adolescence menjadi salah satu tontonan paling berani dan mengguncang secara emosional tahun ini.
Ulasan
Gue sepakat kalau Adolescence pantas banget masuk jajaran series terbaik tahun ini—meski jujur gue masih galau ngebandinginnya sama Severance Season 2. Cuma empat episode, tapi topik yang dibahasnya padat, berat, dan relevan banget dengan kondisi remaja sekarang. Bullying, misoginis, efek gelap algoritma dan media sosial, sampai kelalaian dalam parenting—all in. Rasanya kayak ditampar berkali-kali dalam waktu yang singkat.
Secara teknis, dari luarnya aja serial ini sudah “pecah”. Setiap episode disyuting dengan konsep one continuous shot, tanpa jahitan tersembunyi sama sekali. Jadi benar-benar satu jam pengambilan gambar tanpa jeda. Setiap episode membutuhkan 10 sampai 16 kali take, dengan maksimal dua take per hari. Dan yang bikin gue melongo: kameranya bukan cuma ngikutin karakter jalan kaki atau naik mobil, tapi juga “terbang”. Gerakan kameranya ambisius, presisi, dan tetap terkendali. Secara teknis, ini pencapaian yang gila.
Karena pendekatan one shot ini, setiap episode punya fokus waktu yang sangat spesifik dalam satu premis besar: seorang remaja dituduh membunuh teman sekolahnya. Ada episode tentang proses penangkapan, episode investigasi di sekolah, episode asesmen dengan psikolog, sampai episode tentang dampak peristiwa ini terhadap keluarga si terduga pelaku. Keempatnya terasa unik, punya tensi masing-masing, dan sama-sama ciamik.
Yang menarik—dan justru jadi kekuatan utama Adolescence—serial ini sama sekali tidak tertarik membahas “siapa yang membunuh”. Fokusnya bukan pada misteri kriminal, tapi pada pertanyaan yang jauh lebih mengganggu: “kenapa ini bisa terjadi?”. Dan yang bikin tidak nyaman, tidak pernah ada jawaban tunggal yang lugas. Adolescence hanya menyodorkan potongan-potongan realitas, lalu membiarkan penonton menyusun dan menanggung kesimpulannya sendiri.
Isu-isu yang diangkat terasa sangat dekat dengan kehidupan sekarang: bullying yang tidak lagi berhenti di lingkungan sekolah, tapi terus hidup di media sosial; algoritma yang pelan-pelan menggiring remaja ke konten-konten misoginis dan penuh kebencian; trauma lintas generasi dari pola asuh orangtua; sampai soal pencarian penerimaan sosial di usia yang rentan. Semua ini ditanamkan sedikit demi sedikit di tiap episode, dan mencapai titik paling terang sekaligus paling menyakitkan di episode keempat.
Sebagai orang dewasa yang menonton, gue justru merasa peran orangtua di era sekarang ini digambarkan sebagai sesuatu yang “nyaris mustahil”. Orang tua dituntut bukan cuma paham dunia nyata, tapi juga harus update terhadap dunia algoritma, tren konten, bahkan arti emoji. Gue sampai ketawa getir karena di series ini banyak istilah dan simbol yang bikin gue sendiri roaming. Ujung-ujungnya harus googling dulu buat paham maksudnya. Kebayang betapa jauhnya jarak bahasa antara generasi.
Pelan-pelan gue juga paham kenapa pembuatnya memilih konsep one continuous shot. Menurut gue, ini bukan semata-mata pamer teknis. Filmmaker seperti ingin menangkap satu jam peristiwa yang kompleks sedetail mungkin—tapi tetap menunjukkan bahwa meski sudah “seutuh itu”, kita tetap tidak pernah benar-benar bisa memahami sebuah kejadian secara holistik. Selalu ada bagian yang luput dari kamera, dari sudut pandang, dari kesadaran kita.
Di titik ini, konsep visual Adolescence terasa seperti analogi yang telak terhadap media sosial. Kita terbiasa menilai hidup orang lain dari potongan video 30–60 detik, seolah itu cukup untuk memahami semua alasan, emosi, dan latar belakang di baliknya. Padahal realitas manusia jauh lebih berlapis, lebih rumit, dan sering kali tidak bisa diringkas dalam satu “bingkai”.
Kesimpulan
Dan mungkin di situlah pesan paling pahit dari serial ini berada: kalau mau benar-benar memahami sebuah persoalan secara utuh, kita tidak bisa hanya mengandalkan layar gawai. Mau tidak mau, kita harus angkat kaki, angkat dagu, dan benar-benar hadir—berinteraksi langsung dengan manusia lain di dunia nyata. Sesuatu yang terdengar sederhana, tapi justru makin langka di era sekarang.
Skor Sobekan Tiket Bioskop: 5/5
Cocok untuk: pecinta drama kriminal remaja
- ditonton di Netflix -
Komentar
Posting Komentar