Severance Season 2 - Series Review
Sinopsis
Severance Season 2 adalah lanjutan serial sci-fi thriller psikologis dari Apple TV+ karya kreator Dan Erickon dan disutradarai Ben Stiller. Serial ini kembali mengangkat dunia perusahaan misterius Lumon Industries, tempat para karyawannya menjalani prosedur “severance”—pemisahan total antara ingatan dan kepribadian saat bekerja (innie) dan kehidupan di luar kantor (outtie). Jika Season 1 fokus pada pembentukan dunia dan aturan main yang ganjil sekaligus menegangkan, Season 2 memperluas konflik ke dunia luar Lumon, membuka lapisan demi lapisan rahasia, sekaligus menggali lebih dalam konsekuensi emosional, psikologis, dan eksistensial dari eksperimen tersebut.
Ulasan
Gue tanpa ragu menobatkan Severance Season 2 sebagai salah satu series terbaik tahun ini. Bahkan, menurut gue, S2 ini jauh lebih bagus daripada S1. Semua 10 episode-nya terasa solid—nggak ada yang kerasa filler, semuanya punya fungsi naratif yang kuat. Dan penutupnya? Finale-nya bener-bener PETJAAAHH. Tipe episode terakhir yang bikin gue bengong, merinding, sekaligus langsung pengen muter ulang dari awal.
Kalau S1 terasa seperti proses pengenalan dunia yang aneh, dingin, dan penuh tanda tanya, maka S2 adalah fase di mana semesta Severance benar-benar “dibuka”. Cerita meluas ke dunia di luar kantor, menjawab banyak pertanyaan yang menggantung sejak S1, tapi di saat yang sama justru memunculkan dilema-dilema baru yang jauh lebih rumit. Skala konfliknya terasa naik kelas, bukan cuma soal misteri Lumon, tapi juga dampaknya ke kehidupan personal para karakter.
Yang paling gue suka dari S2 adalah bagaimana serial ini jauh lebih banyak mengeksplorasi relasi antara innie dan outtie dengan orang-orang di sekitar mereka di dunia luar. Efek dari eksperimen severance ini ternyata berbeda di setiap karakter. Ada yang justru lebih jatuh cinta pada versi innie dibanding outtie—padahal mereka berada dalam satu tubuh fisik yang sama. Dan di titik itu, cinta terasa jadi sesuatu yang ganjil: jatuh cinta pada innie terasa seperti jatuh cinta pada orang lain… tapi juga terasa seperti selingkuh. Rumit, aneh, dan pedih dalam waktu bersamaan.
Konfliknya makin menyakitkan ketika muncul dinamika cinta segitiga antara innie, outtie, dan orang lain yang sudah lebih dulu punya pasangan. Ini bukan sekadar drama romantis biasa, tapi drama identitas. Siapa sebenarnya yang “lebih berhak” dicintai ketika satu tubuh menampung dua kesadaran yang berbeda? Pertanyaan ini terus menghantui dan bikin gue sebagai penonton ikut nggak nyaman—dalam arti yang sangat efektif secara dramatis.
S2 juga mulai membedah konflik internal antara innie dan outtie dalam satu fisik yang sama. Mereka bukan lagi sekadar dua versi pasif, tapi dua subjek dengan kehendak, ketakutan, dan keinginan yang saling bertabrakan. Ada fase di mana mereka benar-benar berselisih paham, saling mencurigai, bahkan saling “menyabotase” secara emosional. Di titik inilah Severance berubah dari sekadar thriller misteri menjadi perenungan eksistensial yang kompleks: tentang identitas, kebebasan, kehendak bebas, dan makna menjadi manusia.
Yang bikin gue benar-benar tercengang adalah ketika fungsi innie sebagai “alat kerja” mulai dipertanyakan secara ekstrem. Innie diciptakan semata-mata untuk bekerja. Tapi kalau pekerjaan itu suatu hari selesai sepenuhnya… apa yang terjadi pada mereka? Di sini Severance menambah satu lapisan baru dalam sub-genre kisah kapitalisme pekerja. Sebelumnya kita sudah sering melihat kritik kapitalisme lewat robot, AI, atau kloning manusia. Tapi Severance menawarkan versi yang jauh lebih intim dan menyakitkan: tubuh manusia yang dieksploitasi dari dalam, bahkan oleh versinya sendiri.
Secara visual, serial ini juga konsisten luar biasa. Sinematografinya cantik banget—bener-bener every frame is a painting. Komposisi ruang kantor Lumon yang steril, simetris, dan menekan kontras dengan dunia luar yang terasa lebih “hidup”, tapi juga penuh luka. Visual bukan cuma jadi pemanis, tapi turut memperkuat rasa keterasingan, keterkurungan, dan absurditas yang menjadi jiwa cerita.
Perpaduan antara isu eksistensialisme, relasi emosional yang ruwet, kritik kapitalisme, dan kemasan visual yang presisi inilah yang bikin gue pengen nonton ulang setiap episodenya. Terutama episode terakhir S2—yang menurut gue bukan cuma “pecah” secara plot, tapi juga secara emosional dan konseptual. Ini tipe episode yang bukan cuma ditonton, tapi dipikirkan berhari-hari setelahnya.
Kesimpulan
Buat gue, Severance Season 2 adalah contoh langka bagaimana sebuah season lanjutan bisa melampaui pendahulunya: lebih berani, lebih dalam, lebih emosional, dan lebih menggigit secara ide. Sebuah tontonan yang bukan cuma memuaskan sebagai hiburan, tapi juga sebagai pengalaman berpikir.
Skor Sobekan Tiket Bioskop: 5/5
Cocok untuk: write here
- ditonton di Apple TV -

Komentar
Posting Komentar