Love for Sale - Review
"Drama romantis yang sangat jujur dan menyentuh hati tentang harga yang harus dibayar demi sebuah cinta"
Richard Achmad yang berusia 41 tahun telah terlalu lama hidup sendiri. Suatu ketika, salah seorang teman geng nobar sepak bola akan menikah, dan Richard ditantang untuk membawa pasangan ke kondangan. Taruhannya kali ini tidak lagi uang, tetapi harga diri. Kehabisan akal, Richard pun mengunjungi situs kencan dan menemukan Arini sebagai jasa menemani untuk pergi ke kondangan. Taruhan harga diri berhasil diselamatkan, tetapi berapa harga yang harus dibayar agar Arini tetap mau bersama Richard selamanya?
Ide yang dibawa Love for Sale ini sangat menarik, dan terbilang segar di perfilman Indonesia. Saking segarnya, gue jadi ingat ada halaman penawaran jasa menemani kondangan di Kaskus dengan kisaran harga Rp 200.000 - 400.000 untuk dua jam. Kisah dalam film ini bisa dibilang adalah ekstensi dari jasa menemani kondangan tersebut, yang bisa diperluas menjadi menemani yang lain-lain. Kisah yang ternyata memiliki kejujuran yang terdalam, sekaligus menyentuh hati.
Sutradara dan penulis naskah Andibachtiar Yusuf ternyata mengeksekusi film ini ke arah arthouse dan jauh dari ranah populer. Terlihat dari banyaknya bahasa-bahasa gambar yang sama sekali tidak dijelaskan dalam bentuk dialog mengenai apa yang terjadi di layar. Artinya, penonton harus menerka dan menebak sendiri apa yang sedang dialami oleh karakter Richard, dan betapa mencurigakannya karakter Arini beserta teman-teman dan keluarganya. Selain bahasa gambar, tempo film ini juga terbilang lamban. Mungkin tempo yang lambat ini ingin menyesuaikan dengan keadaan hidup Richard yang getir dan membosankan. Namun justru di antara lambannya cerita yang bergerak ini yang memberikan kesempatan lebih bagi penonton untuk menyelami sekaligus berefleksi. Hal-hal yang dialami oleh Richard, sangat mungkin juga dialami oleh orang-orang terdekat kita - atau bahkan diri kita sendiri.
Yang perlu diacungi jempol adalah keberanian para pembuat film ini menceritakan film ini secara apa adanya, bahkan bila perlu sevulgar mungkin. Hal yang gue sukai dari produksi Visinema adalah dialog-dialognya yang natural dan sangat lumrah ditemui di keseharian. Selain itu, rating LSF 21+ yang ada ternyata menyajikan adegan tanpa potongan apapun, namun dengan vulgar menggambarkan hal-hal yang sangat lazim ditemui di kehidupan sehari-hari. Mulai dari adegan aktor Gading Marten bercelana dalam, hingga adegan seks dengan aktris Della Dartyan yang terbilang sangat berani.
Banyak yang membandingkan Love for Sale dengan Her (2013), wah di sini Visinema Pictures mesti berbangga diri karena filmnya dibandingkan (secara positif) dengan karya Spike Jonze yang kelewat artistik itu. Tetapi harus gue akui, Love for Sale sedikit banyak terpengaruh oleh kisah Joaquin Phoenix yang berhubungan asmara dengan operating system itu. Dimulai dari eksekusi arthouse dengan bahasa gambar dan tempo yang lamban, hingga ke profesi karakter utama yang sama-sama bergerak di bidang percetakan. Struktur naskah dari pembuka hingga penutup juga bisa dibilang mirip, meski dalam Love for Sale ditutup dengan adegan yang menurut gue sangat bijak dan sangat representatif untuk budaya Indonesia.
Indonesia | 2018 | Drama / Komedi | 104 menit | Scope Aspect Ratio 2.35 : 1
- sobekan tiket bioskop tanggal 7 Maret 2018 -
----------------------------------------------------------
Richard Achmad yang berusia 41 tahun telah terlalu lama hidup sendiri. Suatu ketika, salah seorang teman geng nobar sepak bola akan menikah, dan Richard ditantang untuk membawa pasangan ke kondangan. Taruhannya kali ini tidak lagi uang, tetapi harga diri. Kehabisan akal, Richard pun mengunjungi situs kencan dan menemukan Arini sebagai jasa menemani untuk pergi ke kondangan. Taruhan harga diri berhasil diselamatkan, tetapi berapa harga yang harus dibayar agar Arini tetap mau bersama Richard selamanya?
Ide yang dibawa Love for Sale ini sangat menarik, dan terbilang segar di perfilman Indonesia. Saking segarnya, gue jadi ingat ada halaman penawaran jasa menemani kondangan di Kaskus dengan kisaran harga Rp 200.000 - 400.000 untuk dua jam. Kisah dalam film ini bisa dibilang adalah ekstensi dari jasa menemani kondangan tersebut, yang bisa diperluas menjadi menemani yang lain-lain. Kisah yang ternyata memiliki kejujuran yang terdalam, sekaligus menyentuh hati.
Sutradara dan penulis naskah Andibachtiar Yusuf ternyata mengeksekusi film ini ke arah arthouse dan jauh dari ranah populer. Terlihat dari banyaknya bahasa-bahasa gambar yang sama sekali tidak dijelaskan dalam bentuk dialog mengenai apa yang terjadi di layar. Artinya, penonton harus menerka dan menebak sendiri apa yang sedang dialami oleh karakter Richard, dan betapa mencurigakannya karakter Arini beserta teman-teman dan keluarganya. Selain bahasa gambar, tempo film ini juga terbilang lamban. Mungkin tempo yang lambat ini ingin menyesuaikan dengan keadaan hidup Richard yang getir dan membosankan. Namun justru di antara lambannya cerita yang bergerak ini yang memberikan kesempatan lebih bagi penonton untuk menyelami sekaligus berefleksi. Hal-hal yang dialami oleh Richard, sangat mungkin juga dialami oleh orang-orang terdekat kita - atau bahkan diri kita sendiri.
Yang perlu diacungi jempol adalah keberanian para pembuat film ini menceritakan film ini secara apa adanya, bahkan bila perlu sevulgar mungkin. Hal yang gue sukai dari produksi Visinema adalah dialog-dialognya yang natural dan sangat lumrah ditemui di keseharian. Selain itu, rating LSF 21+ yang ada ternyata menyajikan adegan tanpa potongan apapun, namun dengan vulgar menggambarkan hal-hal yang sangat lazim ditemui di kehidupan sehari-hari. Mulai dari adegan aktor Gading Marten bercelana dalam, hingga adegan seks dengan aktris Della Dartyan yang terbilang sangat berani.
Banyak yang membandingkan Love for Sale dengan Her (2013), wah di sini Visinema Pictures mesti berbangga diri karena filmnya dibandingkan (secara positif) dengan karya Spike Jonze yang kelewat artistik itu. Tetapi harus gue akui, Love for Sale sedikit banyak terpengaruh oleh kisah Joaquin Phoenix yang berhubungan asmara dengan operating system itu. Dimulai dari eksekusi arthouse dengan bahasa gambar dan tempo yang lamban, hingga ke profesi karakter utama yang sama-sama bergerak di bidang percetakan. Struktur naskah dari pembuka hingga penutup juga bisa dibilang mirip, meski dalam Love for Sale ditutup dengan adegan yang menurut gue sangat bijak dan sangat representatif untuk budaya Indonesia.
Indonesia | 2018 | Drama / Komedi | 104 menit | Scope Aspect Ratio 2.35 : 1
Rating Sobekan Tiket Bioskop:
- sobekan tiket bioskop tanggal 7 Maret 2018 -
----------------------------------------------------------
- review film love for sale gading marten
- review love for sale gading marten
- love for sale gading marten movie review
- love for sale gading marten film review
- resensi film love for sale gading marten
- resensi love for sale gading marten
- ulasan love for sale gading marten
- ulasan film love for sale gading marten
- sinopsis film love for sale gading marten
- sinopsis love for sale gading marten
- cerita love for sale gading marten
- jalan cerita love for sale gading marten
Komentar
Posting Komentar