All Her Fault - Series Review
Sinopsis
Ulasan
Baru selesai nonton All Her Fault, dan gue suka bangettt! Gila sih ini series. Episode 1 langsung tancap gas tanpa basa-basi. Tidak ada pengantar manis, tidak ada pemanasan lambat—langsung dibuka dengan krisis: “anak gue hilang, panggil polisi.” Titik. Dari situ ceritanya langsung melesat tanpa nge-rem. Rasanya baru sebentar nonton, tahu-tahu sudah sampai episode 8 dan… puas banget!
Premis dasarnya sebenarnya simpel, tapi dampaknya brutal secara emosional. Seorang ibu kehilangan anaknya setelah si anak dijemput oleh ART dari orang tua lain di sekolah. Dari situ, semua yang tadinya terlihat normal langsung runtuh. Seperti layaknya kisah misteri pada umumnya, setiap episode menyuguhkan red herring—jebakan palsu yang mengarahkan kecurigaan kita ke karakter-karakter tertentu. Dan itu dilakukan dengan rapi. Kita dibuat yakin pada satu arah, lalu dibelokkan lagi. Berkali-kali.
Yang gue suka, serial ini tidak menumpuk eksposisi di awal. Latar belakang keluarga, relasi pertemanan, hingga konflik personal masing-masing karakter dikupas perlahan melalui episode-episode berikutnya. Struktur ceritanya banyak menggunakan flashback yang mengiringi peristiwa masa kini. Teknik ini bukan cuma efektif untuk membangun misteri, tapi juga bikin kita terus merevisi penilaian terhadap setiap karakter. Orang yang tampaknya “baik” di awal bisa berubah sangat mencurigakan di tengah jalan. Dan yang tampak menyebalkan pun bisa jadi korban dari situasi yang lebih besar.
Secara penulisan naskah, menurut gue ini salah satu kekuatan utama All Her Fault. Pacing-nya padat, hampir tidak ada episode yang terasa seperti pengisi. Setiap satu jam selalu ada informasi baru, konflik baru, atau twist kecil yang menggeser peta permainan. Ini tipe serial yang bikin kita bilang, “Oke, satu episode lagi deh,” sampai akhirnya lupa waktu.
Dari sisi pemain, hampir semua cast tampil ciamik. Favorit gue jelas Sophia Lillis—yang dulu gue kenal dari IT (2017)—dan di sini dia mendapat porsi yang sangat signifikan. Penampilannya matang dan emosional. Tapi juaranya tetap Sarah Snook. Range emosi yang dia tampilkan di serial ini benar-benar dahsyat: dari keputusasaan, kemarahan, rasa bersalah, sampai kegilaan yang nyaris tak terkendali. Menonton aktingnya rasanya seperti ditarik masuk ke pusaran psikologis karakter itu sendiri. Elle Fanning juga mendapat banyak porsi dan tampil solid—memberi lapisan emosi yang berbeda dalam konflik yang terus menggelinding.
Yang lebih menarik, All Her Fault bukan cuma soal “siapa pelakunya”, tapi juga tentang rasa bersalah, pengasuhan, kepercayaan, dan bagaimana satu keputusan kecil bisa berantai menjadi bencana besar. Serial ini pelan-pelan menguliti relasi antarorang tua, kecemburuan sosial, ketimpangan emosi, serta bagaimana citra keluarga “ideal” sering kali hanya ilusi dari luar.
Kesimpulan
Pada akhirnya, All Her Fault adalah contoh thriller yang tahu persis apa yang ingin ia lakukan: langsung menghantam dari awal, menjaga tensi tanpa kendur, lalu menuntaskannya dengan kepuasan emosional di akhir. Bukan serial yang mengandalkan satu twist besar, tapi rangkaian kejutan kecil yang terus memelintir emosi penonton. Buat yang suka thriller misteri dengan pacing cepat, permainan psikologis, dan karakter-karakter yang tidak pernah sepenuhnya bisa dipercaya, All Her Fault adalah tontonan yang sangat layak—dan berbahaya karena gampang banget dibabat dalam satu atau dua hari.
- ditonton di HBO Max -
Komentar
Posting Komentar