The Last Of Us Season 2 - Series Review

Sinopsis

The Last of Us Season 2 melanjutkan kisah pasca-kehancuran dunia akibat wabah Cordyceps dengan fokus yang bergeser dari Joel ke Ellie. Berlatar beberapa tahun setelah peristiwa Season 1, musim ini menyoroti perjalanan emosional Ellie dalam menghadapi kehilangan, dendam, cinta, dan identitas diri, sekaligus memperluas dunia konflik antarkelompok penyintas. Diadaptasi dari gim The Last of Us Part II, Season 2 mengedepankan perubahan sudut pandang, relasi yang lebih kompleks, serta ketegangan moral yang lebih kelam dan personal.

Ulasan

Sebagai orang yang bukan pemain gamenya, gue harus jujur: The Last of Us Season 2 ini bikin gue kurang puas. Gue paham betul S2E7 ditutup dengan cliffhanger yang super nyebelin—dan mungkin itu efektif buat sebagian penonton. Tapi masalahnya, kita disuruh nunggu dua tahun untuk Season 3, yang kabarnya justru bakal mundur buat nyeritain Abby. Artinya, buat benar-benar melanjutkan kisah dari titik S2E7, kita kemungkinan harus nunggu sampai Season 4. Dua tahun nunggu, lalu dua tahun nunggu lagi… rasanya kejam juga buat penonton 😭. Secara emosional, ketegangan yang dibangun di Season 2 jadi terasa “menggantung terlalu lama”.

Kalau bicara kualitas per episode, menurut gue The Last of Us Season 2 itu juaranya ada di Episode 2 dan Episode 6. E2 itu rasanya seperti episode awal dengan skala emosi setara finale—brutal, menghantam, dan langsung mengubah arah cerita secara drastis. Sementara E6, menurut gue, bahkan bisa berdiri sebagai film panjang tersendiri. Gue rela banget nonton dua jam sambil nangis melihat kompleksitas hubungan “bapak dan anak perempuan” ala Joel dan Ellie. Relasi mereka itu bukan cuma soal perlindungan, tapi juga soal trauma, rasa bersalah, cinta yang timpang, dan ketergantungan emosional yang tidak sehat tapi manusiawi.

Salah satu hal yang secara konsep sebenarnya keren adalah keberanian serial ini mengganti point of view karakter utama di setiap season. Kalau Season 1 sepenuhnya dari POV Joel, maka Season 2 ini benar-benar berpindah ke POV Ellie. Gue paham, di gimnya juga memang begitu. Tapi dalam format series, ini tetap terasa sebagai langkah yang berani. Dan memang terasa perbedaannya. Treatment ceritanya jadi jauh lebih sensitif, lebih emosional, dan lebih subjektif mengikuti gejolak batin Ellie. Dunia The Last of Us yang dulu kita lihat lewat mata Joel yang protektif, kini terasa lebih getir dan impulsif lewat sudut pandang Ellie.

Season 2 juga terasa “gaspol” dalam isu representasi dan relasi personal. Hubungan Ellie dan Dina dieksplorasi dengan intensitas yang menurut gue memang tidak main-main. Ini bukan sekadar tempelan agenda, tetapi benar-benar dijadikan tulang punggung emosional cerita. Beda dengan beberapa series lain—terutama yang sering terasa seperti checklist—relasi mereka di sini justru jadi sumber ketegangan utama. Penonton jadi ikut deg-degan, bukan karena ancaman monster semata, tapi karena takut kalau salah satu dari mereka kenapa-napa.

Di sisi lain, di sinilah juga muncul dilema utama gue sebagai penonton non-gamer. Karena perubahan struktur cerita dan penundaan resolution yang terlalu panjang, Season 2 terasa seperti “bab tengah” yang dipatahkan paksa sebelum klimaks utamanya benar-benar tuntas. Sebagai pengalaman menonton mandiri, ia terasa lebih sebagai jembatan panjang yang indah, tapi juga bikin frustrasi karena payoff-nya sengaja ditunda terlalu jauh.

Secara emosional, The Last of Us Season 2 tetap kuat. Produksi kelas atas, akting yang solid, dan penulisan karakter yang tajam masih jadi kekuatan utamanya. Tapi secara kepuasan naratif sebagai sebuah season yang berdiri sendiri, gue pribadi merasa ini belum sepenuhnya terbayar. Terlalu banyak emosi yang “digantung” dalam jangka waktu yang terlalu lama.




Kesimpulan

Pada akhirnya, The Last of Us Season 2 tetaplah karya yang ambisius, berani, dan emosional. Tapi sebagai penonton yang tidak datang dengan bekal pengalaman dari gimnya, gue merasakannya sebagai musim yang menyakitkan sekaligus membuat penasaran—bukan karena misterinya, tapi karena harus menunggu begitu lama untuk menemukan kelanjutannya. Dan itu, jujur saja, capek juga di hati.

Skor Sobekan Tiket Bioskop: 4/5
Cocok untuk: pecinta kisah zombie





- ditonton di HBO Max -

Komentar