Mad Unicorn - Series Review

Sinopsis

Mad Unicorn adalah serial drama Thailand produksi GDH yang terinspirasi dari kisah nyata pendirian startup logistik raksasa Flash Express. Serial ini mengikuti perjalanan seorang kuli pasir yang bertransformasi menjadi pendiri perusahaan logistik modern di tengah kerasnya persaingan bisnis, intrik kompetitor, dan jatuh bangun membangun usaha dari nol. Dibungkus dengan dramatisasi khas Thailand, Mad Unicorn mencoba memperlihatkan sisi gelap dunia startup—di mana ambisi, sabotase, dan pengkhianatan berjalan beriringan dengan mimpi besar untuk sukses.

Ulasan

Baru beres nonton Mad Unicorn, dan secara garis besar: menarik sih. Apalagi ini buatan GDH, rumah produksi Thailand yang reputasinya sudah nggak perlu diragukan lagi. Tapi jujur, buat gue pribadi, serial ini terasa terlalu dramatis dan terlalu “sinetron” 🤣. Dari awal sampai akhir, emosi penonton terus ditekan—entah untuk ikut sedih, ikut marah, atau sekadar ikut geregetan.

Ceritanya sendiri sebenarnya bagus. Seorang kuli pasir yang membangun startup logistik dari nol sampai besar. Secara konsep, ini menambah daftar serial adaptasi kisah nyata tentang tumbuh-kembang startup yang memang selalu menarik untuk ditonton. Sebelumnya kita sudah punya The Playlist (kisah lahirnya Spotify) dan The Billion Dollar Code (tentang startup yang idenya “dicuri” untuk menjadi Google Earth). Mad Unicorn jelas ingin berdiri di jalur yang sama: kisah mimpi besar, kerja keras, dan pertarungan di dunia bisnis modern.

Masalahnya, Mad Unicorn ini Thai banget. Dalam arti yang paling harfiah: dramatisasi maksimal ala sinetron. Tipikal nasib sial yang datang bertubi-tubi, masalah yang seolah tidak ada habisnya, konflik yang terus ditumpuk tanpa banyak jeda. Secara emosional, ini memang efektif memancing reaksi penonton. Ada momen-momen yang bikin pengen ngelempar HP atau remote ke TV—entah karena emosi sama ceritanya, atau emosi karena dramanya yang kebangetan 🤣.

Serial ini juga menggambarkan betapa kerasnya dunia persaingan bisnis. Bangun usaha sendiri itu sudah susah, tapi di sini ditambah lagi dengan manuver-manuver kotor dari kompetitor. Bersaing secara sehat saja sudah bikin ngos-ngosan, apalagi kalau lawan main curang: nyontek program promo, nanam “cepu” di dalam perusahaan, sampai sabotase terang-terangan. Semua itu memang terasa sangat didramatisasi, tapi kalau dipikir-pikir, banyak juga praktik semacam ini yang memang terjadi di dunia nyata—meski mungkin tidak sesensational itu cara penyajiannya.

Yang ingin ditekankan Mad Unicorn, menurut gue, cukup jelas: jadi pengusaha itu jauh dari kata mudah dan glamor. Ada jauh lebih banyak jatuh ketimbang bangun. Kegagalan datang lebih sering daripada sukses. Dan meskipun ujungnya bisa “to the moon”, jalur menuju ke sana penuh luka, pengkhianatan, tekanan mental, dan risiko kehilangan segalanya.

Di titik itu, Mad Unicorn memang bekerja sebagai kisah reflektif. Ia mengingatkan bahwa dunia startup bukan cuma soal presentasi keren, valuasi fantastis, dan headline media. Ada biaya emosional dan psikologis yang besar di baliknya. Bahkan, kalau mau ditarik lebih dekat ke kehidupan sehari-hari, serial ini cocok juga jadi bahan renungan buat para karyawan yang sedang punya niat resign demi buka franchise ayam geprek 😅—bahwa dunia usaha itu keras, nggak seindah yang sering terlihat di media sosial.




Kesimpulan

Pada akhirnya, Mad Unicorn adalah tontonan yang niat, emosional, dan tematiknya kuat, tapi dengan gaya penceritaan yang mungkin tidak cocok untuk semua orang. Buat yang tahan dengan dramatisasi ala Thailand dan suka kisah perjuangan startup, serial ini masih layak dicicip. Tapi buat yang lebih suka pendekatan realistis dan subtil, siap-siap sedikit kelelahan emosi sepanjang tontonan.

Skor Sobekan Tiket Bioskop: 3/5
Cocok untuk: pecinta kisah from zero to hero





- ditonton di Netflix -

Komentar