Dept. Q Season 1 - Series Review
Sinopsis
Dept. Q adalah serial crime whodunit asal Inggris–Skotlandia yang tayang di Netflix, mengisahkan sebuah unit khusus kepolisian yang menangani kasus-kasus lama (cold cases) yang bertahun-tahun tak terpecahkan. Dengan latar Skotlandia yang dingin dan muram, logat Scottish yang kental, serta pendekatan investigasi yang detail dan realistis, Dept. Q mengajak penonton menyelami proses pengungkapan kasus secara perlahan, penuh dialog, petunjuk menyesatkan (red herring), dan dinamika tim detektif yang kompleks.
Ulasan
Kalau lo tipe penonton yang suka kombinasi serial whodunit plus konten asal Inggris atau Skotlandia, menurut gue Dept. Q ini wajib masuk daftar tontonan. Begitu dengar logat Scottish yang medok sejak menit-menit awal, rasanya langsung kebawa ke atmosfer yang khas: dingin, muram, tapi tajam. Ditambah lagi fokusnya pada investigasi kasus-kasus lama yang sudah terbengkalai bertahun-tahun—formula ini memang sudah punya daya tarik sendiri.
Serial ini terdiri dari 9 episode, masing-masing berdurasi sekitar satu jam. Ritmenya bisa dibilang slow burn: banyak dialog, banyak proses, dan penuh red herring. Ini jelas bukan tipe tontonan yang menyajikan jawaban instan atau twist cepat. Tapi justru di situ nikmatnya. Penonton diajak melihat setiap tahapan investigasi—dari membaca ulang berkas lama, wawancara saksi yang ingatannya sudah kabur, sampai mengurai petunjuk yang sering kali saling bertabrakan. Bukan tipe yang tiba-tiba “jebret, ketemu pelaku”.
Yang bikin makin seru, tim penyidiknya sendiri terdiri dari empat karakter dengan kelebihan dan kekurangan yang sangat unik. Dinamikanya hidup, terasa seperti tim yang tidak sempurna tapi saling melengkapi. Masing-masing punya dab dan kebiasaannya sendiri, baik dalam berpikir maupun bersikap di lapangan. Dan buat gue pribadi, favorit mutlak jelas Akram. Udah pinter, tenang, jago berantem tangan kosong pula. Setiap kali Akram muncul di layar, rasanya langsung lebih hidup. Sampai-sampai gue jadi menunggu-nunggu momen dia lagi di setiap episode.
Satu hal yang agak bikin gue sebel sepanjang nonton adalah jumlah red herring-nya yang menurut gue kebanyakan. Beberapa kali gue sempat mikir, “Nah, ini beneran nih pelakunya,” eh ternyata masih belok lagi. Terus belok lagi. Ada momen di mana itu terasa melelahkan. Tapi setelah dipikir-pikir, mungkin justru di situlah letak realisme yang ingin ditunjukkan. Investigasi cold case memang sesulit itu: penuh petunjuk menjebak, arah palsu, dan jalan buntu yang bikin frustasi.
Di titik ini, Dept. Q berhasil membuat penonton ikut merasakan beratnya membongkar masa lalu yang sudah berdebu. Kasus-kasus lama bukan cuma soal menemukan pelaku, tapi juga soal menghidupkan kembali ingatan orang-orang yang sudah mencoba melupakan, membuka luka yang sudah lama ditutup, dan berhadapan dengan kebenaran yang sering kali tidak memuaskan siapa pun.
Episode 9 sendiri terasa cukup terbuka untuk kemungkinan lanjut ke Season 2. Tidak benar-benar menutup semua pintu, tapi juga tidak bergantung sepenuhnya pada cliffhanger. Kelanjutan ceritanya jelas sangat bergantung pada respons penonton—dan tentu saja keputusan Netflix. Kalau penontonnya kuat, peluang lanjutnya masih sangat terbuka.
Kesimpulan
Pada akhirnya, Dept. Q adalah tontonan yang paling pas dinikmati oleh penonton yang sabar dan menikmati proses. Ini bukan serial untuk yang mencari tempo cepat dan kejutan instan. Tapi buat yang suka investigasi cold cases yang pelan, detail, dan mengajak mikir bareng, Dept. Q bisa jadi pengalaman menonton yang memuaskan. Jadi, buat lo yang doyan slow-burn crime investigation dengan nuansa Inggris–Skotlandia yang kental, silakan dicicip. Siapa tahu keterusan sampai episode terakhir.
Skor Sobekan Tiket Bioskop: 4/5
Cocok untuk: drama kriminal dan serial dari Inggris
- ditonton di Netflix -

Komentar
Posting Komentar