Dua Garis Biru - Review
"Dua Garis Biru adalah film Indonesia terbaik versi gue di tahun ini, so far!"
Dua Garis biru itu indah, indah banget. Ibarat lo lagi duduk di sofa empuk di sebelah jendela, sambil dengerin Biru-nya Banda Neira, yang tadinya hujan gerimis lalu berhenti kemudian berganti samar senja sore yang keemasan. Sedih kenapa harus berganti, meski masih sama-sama indah.
Gue nggak pernah se-emosional ini nonton film Indonesia sebelumnya. Hati adem, anget, terus sedih sampe netesin air mata, abis itu ngakak. Gilak, gue aja baru tahu kalo ternyata gue bisa nangis sambil ketawa di satu adegan yang sama 👏🏼👏🏼👏🏼
Tapi gue bener-bener suka banget sama Dua Garis Biru. Nggak kaya film-film Starvision sebelumnya, gue suka banget sama gambarnya, sama color gradingnya yang adem, sama shot-shotnya yang cantik banget, sama scoringnya dan pilihan soundtrack yang nyatu banget sama adegannya, sama akting-aktingnya juga yang nggak dramatis dan sukses bikin nangis! Aslik yah baru seperempat film dan pas Rachel Amanda masuk langsung marah-marah, gue langsung mewek bangsattt 😭
Oke pertama-pertama, film ini nggak ada adegan wik wik ya catat. Gue gambarin dikit; dua remaja kepalanya berdekatan, lalu fade to black, adegan lanjut ke kamera menyorot kepala mereka berdua mengarah ke arah yang sama nggak berhadapan. Sama sekali nggak ada adegan yang merangsang birahi deh pokoknya. Jadi buat yang protes filmnya ngajarin yang nggak-nggak, NONTON DULU WOYYY GAK USAH KEBANYAKAN MINUM SISA KERINGET LEHER SUPIR!!!
Gue harus memuji Dua Garis Biru itu juara di visual; every frame is a painting. Apalagi untuk standar film nasional yang tergolong populer ya, di sini banyak bener adegan sunyi tanpa dialog, hanya dengan silent acting dari setiap karakternya tapi sukses bikin hati remuk redam. Lalu eksposisi adegan yang penuh metafora jenius. Coba bayangin set lagi di tempat yang kayaknya klinik aborsi, abis itu adegan orang mesen jus strawberry, dan kamera menyorot ke dalam blender yang lagi muter ngehancurin strawberry merah sampai jadi cair 😭🤯👏🏼👌🏼🤘🏼👍🏼
Adegan UKS sih yang juaraakkk!! Dari karakternya sendiri, jadi rame-rame, lalu jadi berdua, dengan dialog dan akting dan emosi yang bikin ngelus dada saking remuknya. Dan semua diambil dalam one take long shot! Coba lo inget kapan terakhir kali ada film Indonesia yang berani pakai teknik one take long shot! Ini film drama pula dan efektif banget ngaduk-ngaduk emosi.
Selain visual, Dua Garis Biru juga ciamik di telinga, gue suka banget sama detil di sound mixing dan sound design-nya - lagi-lagi hal yang jarang gue temui di film nasional. Pas adegan di kampung, bisa ada suara tok tok abang bakso di speaker kiri, suara orang ngobrol si speaker kanan, dan suara ayam berkokok di speaker belakang. Bener-bener kombinasi suara yang bikin lo berasa lagi beneran di kampung! 👏🏼👏🏼👏🏼👏🏼👏🏼
Gue suka banget dengan cara bercerita Dua Garis Biru. Isu yang dibawa emang sensitif, tapi entah kenapa jadi enak buat ngikutinnya, bahkan jadi penasaran dengan adegan selanjutnya. Oh come on, kita semua udah familiar banget sama "lagu lama" ini kan ya entah denger langsung maupun nggak langsung. Jadi kaya udah kebayang hal-hal apa aja yang akan terjadi. Tapi oh tapi, Dua Garis Biru ngebahas itu semua dengan cara yang sangat natural, dan nggak melodramatis. Catat ya, jauh dari sinetron!
Gina S. Noer sebagai veteran penulis naskah Indonesia, menurut gue sih sukses banget di debut dia jadi sutradara. Apalagi kali ini dia nanganin isu yang luar biasa sensitif di Indonesia - tapi penting banget buat diangkat. Hasilnya sih surprisingly apik nian, karena ternyata Gina bisa ngebahas isu kehamilan di usia dini ini di berbagai aspek dan kemungkinan yang ada. Gue berasanya dia kaya udah bahas sebanyak mungkin kemungkinan yang bisa diambil dalam kasus ini, untuk kemudian dijalanin satu persatu secara perlahan dengan khas Indonesia. Yes, dengan orang-orang progresif yang "yaudah kasih aja ke pasangan yang belum dikaruniai anak" dan juga dengan orang-orang relijius yang "kenapa harus cerai masa agama mau dipermainkan" 👏🏼👏🏼👏🏼👏🏼👏🏼
Pilihan ending yang dipilih Gina sih mungkin nggak akan disukai sama beberapa orang ya karena terlalu "progresif". Sebagian kelompok penonton mungkin akan berpendapat kok gitu banget sih jadi ibu, gak pantes. Tapi gue pribadi kok setuju-setuju aja ya, mengingat kalau mereka yang hamil dan melahirkan pas masih muda, bukan berarti semerta-merta mereka kehilangan mimpi dan cita-cita. They can still achieve their dreams, while pregnant and giving birth is a part of life - not the end of it!
Gue suka sama porsi kedua orang tua yang banyak dan seimbang. Iyalaaaah kasus kaya gini jelas harus juga fokus ke orang tua masing-masing orang, ke gimana cara mereka yang punya cara yang berbeda untuk menghadapi hal tersebut. Tapi film ini juga mengingatkan ya balik lagi ke pasangannya sendiri, terutama gimana cara mereka menghadapi konflik.
Gue sih berterima kasih banget sama akting setiap karakter yang meyakinkan banget. Semuanya tampil rata tanpa ada yang menonjol. Zara dan Angga itu on-screen chemistry-nya sih lovable banget loh, cuma kenapa sih si Angga mesti diitemin. Udahlah nggak konsisten kelingnya, ya kan nggak semua sahabat misqueen itu item ya 😒 Para bapak di film ini yang dua-duanya pengen gue pelukkkkk; Arswendy Bening Swara dan Dwi Sasono yang sama-sama berkharisma. Lalu pujian terbesar gue jelas untuk para ibu; Cut Mini dan Lulu Tobing yang masing-masing aktingnya taikkkkkk gue dibikin nangis mulu *brb ngulek pecel 😭😭😭
Gue sukaaaakk banget sama pengembangan karakter di film ini - sebuah hal yang langka gue temui di film nasional. Enam karakter ini digambarkan nggak cuma flat satu dimensi aja sepanjang film, tapi lambat laun berubah seiring waktu dan pengalaman. Perubahannya pun smooth dan sangat logis; dari yang awalnya keliatan galak dan acuh, akhirnya bisa jadi perhatian banget. Ini jelas sangat natural ya mengingat orang bisa banget berubah setelah mengalami hal-hal yang signifikan dalam hidup.
Panjang bener gue ngereview film ya. Ya akhir kata, Dua Garis Biru adalah mutiara terlangka di perfilman Indonesia. Sebelum nonton gue bilangnya "Juno dengan Kearifan Lokal", tapi setelah nonton, nggak ah gilak gue lebih suka ini ketimbang Juno.
Buat lo yang overgeneralisasi bahwa semua film Indonesia itu nggak layak buat dibeli tiket bioskopnya, gue nggak berharap lo percaya review gue sih. Lo coba aja deh nonton ini dulu. Setidaknya biar nggak jadi lingkaran setan kalo lo ngecap semua film Indonesia itu nggak layak ditonton karena elo selalu ngelewatin film Indonesia yang apik kaya ini.
Dua Garis biru itu indah, indah banget. Ibarat lo lagi duduk di sofa empuk di sebelah jendela, sambil dengerin Biru-nya Banda Neira, yang tadinya hujan gerimis lalu berhenti kemudian berganti samar senja sore yang keemasan. Sedih kenapa harus berganti, meski masih sama-sama indah.
Gue nggak pernah se-emosional ini nonton film Indonesia sebelumnya. Hati adem, anget, terus sedih sampe netesin air mata, abis itu ngakak. Gilak, gue aja baru tahu kalo ternyata gue bisa nangis sambil ketawa di satu adegan yang sama 👏🏼👏🏼👏🏼
Tapi gue bener-bener suka banget sama Dua Garis Biru. Nggak kaya film-film Starvision sebelumnya, gue suka banget sama gambarnya, sama color gradingnya yang adem, sama shot-shotnya yang cantik banget, sama scoringnya dan pilihan soundtrack yang nyatu banget sama adegannya, sama akting-aktingnya juga yang nggak dramatis dan sukses bikin nangis! Aslik yah baru seperempat film dan pas Rachel Amanda masuk langsung marah-marah, gue langsung mewek bangsattt 😭
Oke pertama-pertama, film ini nggak ada adegan wik wik ya catat. Gue gambarin dikit; dua remaja kepalanya berdekatan, lalu fade to black, adegan lanjut ke kamera menyorot kepala mereka berdua mengarah ke arah yang sama nggak berhadapan. Sama sekali nggak ada adegan yang merangsang birahi deh pokoknya. Jadi buat yang protes filmnya ngajarin yang nggak-nggak, NONTON DULU WOYYY GAK USAH KEBANYAKAN MINUM SISA KERINGET LEHER SUPIR!!!
Gue harus memuji Dua Garis Biru itu juara di visual; every frame is a painting. Apalagi untuk standar film nasional yang tergolong populer ya, di sini banyak bener adegan sunyi tanpa dialog, hanya dengan silent acting dari setiap karakternya tapi sukses bikin hati remuk redam. Lalu eksposisi adegan yang penuh metafora jenius. Coba bayangin set lagi di tempat yang kayaknya klinik aborsi, abis itu adegan orang mesen jus strawberry, dan kamera menyorot ke dalam blender yang lagi muter ngehancurin strawberry merah sampai jadi cair 😭🤯👏🏼👌🏼🤘🏼👍🏼
Adegan UKS sih yang juaraakkk!! Dari karakternya sendiri, jadi rame-rame, lalu jadi berdua, dengan dialog dan akting dan emosi yang bikin ngelus dada saking remuknya. Dan semua diambil dalam one take long shot! Coba lo inget kapan terakhir kali ada film Indonesia yang berani pakai teknik one take long shot! Ini film drama pula dan efektif banget ngaduk-ngaduk emosi.
Selain visual, Dua Garis Biru juga ciamik di telinga, gue suka banget sama detil di sound mixing dan sound design-nya - lagi-lagi hal yang jarang gue temui di film nasional. Pas adegan di kampung, bisa ada suara tok tok abang bakso di speaker kiri, suara orang ngobrol si speaker kanan, dan suara ayam berkokok di speaker belakang. Bener-bener kombinasi suara yang bikin lo berasa lagi beneran di kampung! 👏🏼👏🏼👏🏼👏🏼👏🏼
Gue suka banget dengan cara bercerita Dua Garis Biru. Isu yang dibawa emang sensitif, tapi entah kenapa jadi enak buat ngikutinnya, bahkan jadi penasaran dengan adegan selanjutnya. Oh come on, kita semua udah familiar banget sama "lagu lama" ini kan ya entah denger langsung maupun nggak langsung. Jadi kaya udah kebayang hal-hal apa aja yang akan terjadi. Tapi oh tapi, Dua Garis Biru ngebahas itu semua dengan cara yang sangat natural, dan nggak melodramatis. Catat ya, jauh dari sinetron!
Gina S. Noer sebagai veteran penulis naskah Indonesia, menurut gue sih sukses banget di debut dia jadi sutradara. Apalagi kali ini dia nanganin isu yang luar biasa sensitif di Indonesia - tapi penting banget buat diangkat. Hasilnya sih surprisingly apik nian, karena ternyata Gina bisa ngebahas isu kehamilan di usia dini ini di berbagai aspek dan kemungkinan yang ada. Gue berasanya dia kaya udah bahas sebanyak mungkin kemungkinan yang bisa diambil dalam kasus ini, untuk kemudian dijalanin satu persatu secara perlahan dengan khas Indonesia. Yes, dengan orang-orang progresif yang "yaudah kasih aja ke pasangan yang belum dikaruniai anak" dan juga dengan orang-orang relijius yang "kenapa harus cerai masa agama mau dipermainkan" 👏🏼👏🏼👏🏼👏🏼👏🏼
Pilihan ending yang dipilih Gina sih mungkin nggak akan disukai sama beberapa orang ya karena terlalu "progresif". Sebagian kelompok penonton mungkin akan berpendapat kok gitu banget sih jadi ibu, gak pantes. Tapi gue pribadi kok setuju-setuju aja ya, mengingat kalau mereka yang hamil dan melahirkan pas masih muda, bukan berarti semerta-merta mereka kehilangan mimpi dan cita-cita. They can still achieve their dreams, while pregnant and giving birth is a part of life - not the end of it!
Gue suka sama porsi kedua orang tua yang banyak dan seimbang. Iyalaaaah kasus kaya gini jelas harus juga fokus ke orang tua masing-masing orang, ke gimana cara mereka yang punya cara yang berbeda untuk menghadapi hal tersebut. Tapi film ini juga mengingatkan ya balik lagi ke pasangannya sendiri, terutama gimana cara mereka menghadapi konflik.
Gue sih berterima kasih banget sama akting setiap karakter yang meyakinkan banget. Semuanya tampil rata tanpa ada yang menonjol. Zara dan Angga itu on-screen chemistry-nya sih lovable banget loh, cuma kenapa sih si Angga mesti diitemin. Udahlah nggak konsisten kelingnya, ya kan nggak semua sahabat misqueen itu item ya 😒 Para bapak di film ini yang dua-duanya pengen gue pelukkkkk; Arswendy Bening Swara dan Dwi Sasono yang sama-sama berkharisma. Lalu pujian terbesar gue jelas untuk para ibu; Cut Mini dan Lulu Tobing yang masing-masing aktingnya taikkkkkk gue dibikin nangis mulu *brb ngulek pecel 😭😭😭
Gue sukaaaakk banget sama pengembangan karakter di film ini - sebuah hal yang langka gue temui di film nasional. Enam karakter ini digambarkan nggak cuma flat satu dimensi aja sepanjang film, tapi lambat laun berubah seiring waktu dan pengalaman. Perubahannya pun smooth dan sangat logis; dari yang awalnya keliatan galak dan acuh, akhirnya bisa jadi perhatian banget. Ini jelas sangat natural ya mengingat orang bisa banget berubah setelah mengalami hal-hal yang signifikan dalam hidup.
Panjang bener gue ngereview film ya. Ya akhir kata, Dua Garis Biru adalah mutiara terlangka di perfilman Indonesia. Sebelum nonton gue bilangnya "Juno dengan Kearifan Lokal", tapi setelah nonton, nggak ah gilak gue lebih suka ini ketimbang Juno.
Buat lo yang overgeneralisasi bahwa semua film Indonesia itu nggak layak buat dibeli tiket bioskopnya, gue nggak berharap lo percaya review gue sih. Lo coba aja deh nonton ini dulu. Setidaknya biar nggak jadi lingkaran setan kalo lo ngecap semua film Indonesia itu nggak layak ditonton karena elo selalu ngelewatin film Indonesia yang apik kaya ini.
- sobekan tiket bioskop tanggal 27 Juni 2019 -
----------------------------------------------------------
review film dua garis biru
review dua garis biru
dua garis biru movie review
dua garis biru film review
resensi film dua garis biru
resensi dua garis biru
ulasan dua garis biru
ulasan film dua garis biru
sinopsis film dua garis biru
sinopsis dua garis biru
cerita dua garis biru
jalan cerita dua garis biru
----------------------------------------------------------
review film dua garis biru
review dua garis biru
dua garis biru movie review
dua garis biru film review
resensi film dua garis biru
resensi dua garis biru
ulasan dua garis biru
ulasan film dua garis biru
sinopsis film dua garis biru
sinopsis dua garis biru
cerita dua garis biru
jalan cerita dua garis biru
Ini film bagus bgt ya ngasih edukasi, nyesel banget nih kl belum nonton film indonesia ini
BalasHapus