Buffalo Boys - Review
"Meski unggul di segi visual, Buffalo Boys menderita di sisi penceritaaan"
Tahun 1860, Arana melarikan diri bersama dua anak Sultan Hamza dari kejaran Kapten Van Trach. Tidak berhasil menyelamatkan Sultan Hamza yang meninggal di tangan sang kapten, Arana membawa Jamar dan Suwo ke Amerika dan melatih mereka. Tibalah saatnya untuk balas dendam, dan mereka bertiga pulang ke tanah Jawa. Van Trach telah menjadi gubernur dan memiliki anak buah yang terbiasa untuk membunuh. Mereka bertiga harus cepat menyelesaikan urusan mereka, sebelum para penduduk desa terancam marabahaya.
Semenjak poster dan trailernya keluar, gue adalah salah satu yang sangat menunggu-nunggu film ini. Apalagi kalau bukan genre yang segar yang ditawarkan; koboy di tanah Jawa di era kolonial! Namun ternyata harapan tinggal harapan, karena pengalaman menonton gue tidak cukup nyaman dengan pembawaan cerita yang ada. Buffalo Boys hanya menang di tampilan luar, tetapi cukup berantakan di segi cerita.
Hal yang patut diacungi jempol dan diapresiasi setinggi mungkin adalah ide gila reimagination jaman kolonial Belanda di Indonesia, jika ada dua orang Indonesia yang telah menjadi koboy lebih dulu di AS. Ini adalah ide yang segar dan bakal keren banget kalau divisualisasikan dalam film layar lebar. Benar saja, visualisasinya memang sepenuh hati dari pembuat film. Mulai dari kostum, desain set, detil properti, hingga color grading yang ciamik! Yang gue kagum adalah set desa yang dibuat semegah dan sedetil mungkin. Untuk urusan mata dan telinga, Buffalo Boys jelas juara.
Namun entah mengapa, di tangan sutradara dan penulis naskah Mike Wiluan, Buffalo Boys sangat lemah di segi cerita, atau lebih tepatnya cara membawakan kisahnya dalam medium film layar lebar. Premisnya memang sederhana; menuntut balas dendam. Namun pembawaan ceritanya yang menjadi terlihat dragging dan terkesan lamban. Nggak cuma dragging, tapi juga ceritanya jadi ke mana-mana tanpa ada esensi yang jelas. Ada beberapa side story yang muncul di tengah cerita, tanpa kita tahu dari mana asalnya dan apa pentingnya bagi kisah utama tentang balas dendam ini.
Selain itu, hal yang sangat mengganggu gue adalah film ini sinetron banget pengambilan gambarnya! Semua shot-nya close up! Lha terus buat apa bikin set sedetil itu dan mahal pula. Kalau shot close-up di tv sih gapapa ya, lha ini di layar lebar isinya muka semua apa gak pusing itu mata.
Indonesia | 2018 | Action / Western | 102 menit | Scope Aspect Ratio 2.35 : 1
- sobekan tiket bioskop tanggal 18 Juli 2018 -
----------------------------------------------------------
Tahun 1860, Arana melarikan diri bersama dua anak Sultan Hamza dari kejaran Kapten Van Trach. Tidak berhasil menyelamatkan Sultan Hamza yang meninggal di tangan sang kapten, Arana membawa Jamar dan Suwo ke Amerika dan melatih mereka. Tibalah saatnya untuk balas dendam, dan mereka bertiga pulang ke tanah Jawa. Van Trach telah menjadi gubernur dan memiliki anak buah yang terbiasa untuk membunuh. Mereka bertiga harus cepat menyelesaikan urusan mereka, sebelum para penduduk desa terancam marabahaya.
Semenjak poster dan trailernya keluar, gue adalah salah satu yang sangat menunggu-nunggu film ini. Apalagi kalau bukan genre yang segar yang ditawarkan; koboy di tanah Jawa di era kolonial! Namun ternyata harapan tinggal harapan, karena pengalaman menonton gue tidak cukup nyaman dengan pembawaan cerita yang ada. Buffalo Boys hanya menang di tampilan luar, tetapi cukup berantakan di segi cerita.
Hal yang patut diacungi jempol dan diapresiasi setinggi mungkin adalah ide gila reimagination jaman kolonial Belanda di Indonesia, jika ada dua orang Indonesia yang telah menjadi koboy lebih dulu di AS. Ini adalah ide yang segar dan bakal keren banget kalau divisualisasikan dalam film layar lebar. Benar saja, visualisasinya memang sepenuh hati dari pembuat film. Mulai dari kostum, desain set, detil properti, hingga color grading yang ciamik! Yang gue kagum adalah set desa yang dibuat semegah dan sedetil mungkin. Untuk urusan mata dan telinga, Buffalo Boys jelas juara.
Namun entah mengapa, di tangan sutradara dan penulis naskah Mike Wiluan, Buffalo Boys sangat lemah di segi cerita, atau lebih tepatnya cara membawakan kisahnya dalam medium film layar lebar. Premisnya memang sederhana; menuntut balas dendam. Namun pembawaan ceritanya yang menjadi terlihat dragging dan terkesan lamban. Nggak cuma dragging, tapi juga ceritanya jadi ke mana-mana tanpa ada esensi yang jelas. Ada beberapa side story yang muncul di tengah cerita, tanpa kita tahu dari mana asalnya dan apa pentingnya bagi kisah utama tentang balas dendam ini.
Selain itu, hal yang sangat mengganggu gue adalah film ini sinetron banget pengambilan gambarnya! Semua shot-nya close up! Lha terus buat apa bikin set sedetil itu dan mahal pula. Kalau shot close-up di tv sih gapapa ya, lha ini di layar lebar isinya muka semua apa gak pusing itu mata.
Indonesia | 2018 | Action / Western | 102 menit | Scope Aspect Ratio 2.35 : 1
- sobekan tiket bioskop tanggal 18 Juli 2018 -
Rating Sobekan Tiket Bioskop:
----------------------------------------------------------
- review film buffalo boys
- review buffalo boys
- buffalo boys movie review
- buffalo boys film review
- resensi film buffalo boys
- resensi buffalo boys
- ulasan buffalo boys
- ulasan film buffalo boys
- sinopsis film buffalo boys
- sinopsis buffalo boys
- cerita buffalo boys
- jalan cerita buffalo boys
Komentar
Posting Komentar