Collateral Beauty
"Sudut pandang filosofis praktis terhadap rasa duka yang terlalu menahan diri agar tetap tampil populer"
Ketika seorang eksekutif agen periklanan mengalami tragedi, ia menyingkir dari kehidupan. Teman-teman kerjanya yang peduli padanya pun ingin melakukan sesuatu untuknya. Namun Howard menginginkan jawaban dari alam semesta, maka ia pun menulis surat untuk Time, Love, dan Death. Hal yang tidak disangka adalah ketika surat tersebut mendapatkan jawaban - dalam bentuk manusia. Howard pun harus menghadapi itu semua, ditambah tragedi masa lalunya.
Ide cerita Collateral Beauty adalah sebuah ide klasik tentang personifikasi dari hal-hal yang tak berwujud dalam alam semesta. Hal-hal filosofis yang dijadikan praktis, dan seakan-akan dapat berinteraksi dengan kita. Isi percakapannya? Tentu saja hal-hal filosofis yang mengawang-awang dan multi-interpretasi. Dialog-dialog yang seakan absurd jika hanya diperdengarkan atau dibaca sekali lewat saja. Semua ini hendak dicapai dalam bentuk film. Yup, bukan teater ataupun drama panggung.
Maka tidak heran jika pihak studio menyewa aktor dan aktris dengan kaliber setinggi mungkin. Mulai dari Will Smith yang tampak mulai terbiasa membawakan kisah drama kehidupan penuh makna, hingga nama-nama besar seperti Helen Mirren, Edward Norton, Kate Winslet, dan Keira Knightley. Nama-nama besar ini sangat efektif dan signifikan dalam menekan absurditas dan kehampaan yang ada dalam setiap dialognya. Ketika dialog-dialog tersebut keluar dari Helen Mirren, pastinya kita sebagai penonton akan semakin atentif dan mendengarkan dengan seksama.
Di luar itu, film ini (hanyalah) kisah lain tentang grief, seperti deretan film lain yang berkisah hal yang sama dengan akhir perkembangan karakter yang sama. Namun jelas film ini mengambil sudut pandang baru dalam melihat ini, lewat interaksi filosofis yang kemudian dipraktiskan. Sudut pandang baru atau gimmick ini memang menarik dan segar. Mereka tidak bermaksud untuk menceramahi, tetapi mau tidak mau harus bersikap absurd dan multi-interpretatif. Sebuah hasil yang baik memang, tapi terkesan tanggung dan tidak sepenuh hati. Biasanya hal seperti ini akan maksimal dalam bentuk teater dengan deretan dialog yang puitis.
Collateral Beauty jelas membuktikan bahwa adalah mungkin untuk membuat hal teatrikal atau filosofis menjadi populer dan dapat ditonton oleh tidak hanya kalangan niche. Yup, terima kasih kepada nama-nama besar para pemerannya. Terima kasih pula pada latar belakang waktu yang menggunakan waktu liburan favorit kebanyakan orang; Natal. Meski terlalu menahan diri, setidaknya film ini sanggup mengetuk hati orang-orang yang tergolong susah move on, atau memaksa mereka menghadapi ketakutan terbesarnya.
USA | 2016 | Drama | 97 mins | Scope Aspect Ratio 2.35 : 1
Rating?
7 dari 10
- sobekan tiket bioskop tanggal 16 Desember 2016 -
----------------------------------------------------------
Search Keywords:
Ketika seorang eksekutif agen periklanan mengalami tragedi, ia menyingkir dari kehidupan. Teman-teman kerjanya yang peduli padanya pun ingin melakukan sesuatu untuknya. Namun Howard menginginkan jawaban dari alam semesta, maka ia pun menulis surat untuk Time, Love, dan Death. Hal yang tidak disangka adalah ketika surat tersebut mendapatkan jawaban - dalam bentuk manusia. Howard pun harus menghadapi itu semua, ditambah tragedi masa lalunya.
Ide cerita Collateral Beauty adalah sebuah ide klasik tentang personifikasi dari hal-hal yang tak berwujud dalam alam semesta. Hal-hal filosofis yang dijadikan praktis, dan seakan-akan dapat berinteraksi dengan kita. Isi percakapannya? Tentu saja hal-hal filosofis yang mengawang-awang dan multi-interpretasi. Dialog-dialog yang seakan absurd jika hanya diperdengarkan atau dibaca sekali lewat saja. Semua ini hendak dicapai dalam bentuk film. Yup, bukan teater ataupun drama panggung.
Maka tidak heran jika pihak studio menyewa aktor dan aktris dengan kaliber setinggi mungkin. Mulai dari Will Smith yang tampak mulai terbiasa membawakan kisah drama kehidupan penuh makna, hingga nama-nama besar seperti Helen Mirren, Edward Norton, Kate Winslet, dan Keira Knightley. Nama-nama besar ini sangat efektif dan signifikan dalam menekan absurditas dan kehampaan yang ada dalam setiap dialognya. Ketika dialog-dialog tersebut keluar dari Helen Mirren, pastinya kita sebagai penonton akan semakin atentif dan mendengarkan dengan seksama.
Di luar itu, film ini (hanyalah) kisah lain tentang grief, seperti deretan film lain yang berkisah hal yang sama dengan akhir perkembangan karakter yang sama. Namun jelas film ini mengambil sudut pandang baru dalam melihat ini, lewat interaksi filosofis yang kemudian dipraktiskan. Sudut pandang baru atau gimmick ini memang menarik dan segar. Mereka tidak bermaksud untuk menceramahi, tetapi mau tidak mau harus bersikap absurd dan multi-interpretatif. Sebuah hasil yang baik memang, tapi terkesan tanggung dan tidak sepenuh hati. Biasanya hal seperti ini akan maksimal dalam bentuk teater dengan deretan dialog yang puitis.
Collateral Beauty jelas membuktikan bahwa adalah mungkin untuk membuat hal teatrikal atau filosofis menjadi populer dan dapat ditonton oleh tidak hanya kalangan niche. Yup, terima kasih kepada nama-nama besar para pemerannya. Terima kasih pula pada latar belakang waktu yang menggunakan waktu liburan favorit kebanyakan orang; Natal. Meski terlalu menahan diri, setidaknya film ini sanggup mengetuk hati orang-orang yang tergolong susah move on, atau memaksa mereka menghadapi ketakutan terbesarnya.
USA | 2016 | Drama | 97 mins | Scope Aspect Ratio 2.35 : 1
Rating?
7 dari 10
- sobekan tiket bioskop tanggal 16 Desember 2016 -
----------------------------------------------------------
Search Keywords:
- review film collateral beauty
- review collateral beauty
- collateral beauty review
- resensi film collateral beauty
- resensi collateral beauty
- ulasan collateral beauty
- ulasan film collateral beauty
- sinopsis film collateral beauty
- sinopsis collateral beauty
- cerita collateral beauty
- jalan cerita collateral beauty
Komentar
Posting Komentar