X-Men: Apocalypse
"Sekuel ketiga dan penutup yang harus tenggelam di bawah dua prekuelnya"
Sejak dari awal peradaban, Apocalypse telah dipuja sebagai tuhan. Setelah ribuan tahun, kini Apocalypse bangkit kembali dan berniat "membersihkan" bumi untuk kembali menyembahnya. Dia pun merekrut empat anak buah yang akan membantunya menjalankan misinya; Angel, Storm, Psylocke, dan Magneto. Ketika bumi berada di ujung tanduk, Raven / Mystique dan Charles Xavier harus kembali memimpin para X-Men muda untuk menyelamatkan umat manusia.
Tidak ada yang belum pernah anda lihat ketika menonton film ketiga dan terakhir dari franchise X-Men yang menceritakan masa muda para mutan ini. Kehancuran massal dan musuh dengan kekuatan yang luar biasa, semuanya bukanlah hal baru dan tidak ada yang mengejutkan. Jika harus dibandingkan dengan First Class (2011) dan Days of Future Past (2014), maka jelas Apocalype justru menjadi yang paling lemah.
First Class karya Matthew Vaughn unggul karena menceritakan origin story serta lebih fokus pada perkembangan karakter Charles Xavier dan Erik Lehnserr. Days of Future Past karya Brian Singer pun unggul karena mempertemukan cast dari dua generasi X-Men serta ceritanya yang melibatkan perjalanan waktu. Namun bagaimana untuk melampaui dua prekuel tersebut? Apakah cukup dengan satu musuh besar dengan kekuatan yang maha dahsyat? Atau Apocalypse harus pasrah untuk jatuh dalam ucapan "the third one's always the worst"?
Karakter-karakter barunya memang sangat menarik. Penonton jelas akan dihibur oleh aksi Nightcrawler yang kali ini mendapatkan porsi yang lebih banyak ketimbang X2 (2003). Ditambah lagi aksi Quicksilver yang dikerjakan khusus untuk melampaui aksinya di DOFP (2014), yang kali ini (lagi-lagi) dibungkus dengan soundtrack Sweet Dreams (Are Made Of This) oleh Eurythmics. Kekuatan Apocalypse memang mengerikan, ditambah dengan suaranya yang berlipat seakan kerasukan setan a la Exorcism. Cyclops muda, Storm muda, serta Psylocke jelas mencuri perhatian.
Namun semua itu harus dibungkus dalam jalan cerita yang panjang, fokus cerita yang berpindah-pindah, plot holes, dan keputusan para karakter yang menimbulkan pertanyaan. Kalau sudah seperti ini, rasanya penulis naskah Simon Kinberg yang harus bertanggung jawab. Ada beberapa adegan yang terlihat tidak koheren dengan jalan cerita secara keseluruhan, atau terkesan dipaksakan. Yaaa kalau demi memunculkan cameo si "satu" itu di tengah film, mungkin hal ini bisa dimaafkan. Tapi dalam durasi 2 jam 24 menit rasanya terlalu panjang untuk melihat aksi para X-Men menumpas Apocalypse.
Kalau merujuk pada arsitek X-Men generasi muda ini, Simon Kinberg mengutarakan bahwa serial ketiga ini mempertemukan dua frenemy yang telah sama-sama matang untuk kemudian dihadapkan pada musuh yang lebih kuat. Ya, First Class (2011) memang difokuskan pada perkembangan karakter Erik Lehnserr dan bagaimana ia mendapatkan kekuatannya, kemudian DOFP (2014) yang lebih fokus pada pada perkembangan karakter Charles Xavier. Namun clash idelogi dan kekuatan dari dua karakter tersebut tampak tenggelam dengan fokus cerita yang silih berganti antara idealisme Raven / Mystique dan pengembangan karakter Apocalypse sendiri. Film ini pun kehilangan pondasi utamanya, dan membuat penonton cukup lelah untuk mengikuti setiap plot yang ada.
Sayang seribu sayang bahwa trilogi X-Men yang berdarah segar ini sejatinya memiliki potensi yang kuat. Dua prekuelnya fokus pada kondisi psikologis dan dilema idealisme yang sangat rasional dalam jalan cerita. Pendekatan ini jelas terbilang cukup segar diantara film-film manusia super lainnya yang hanya mengandalkan adegan-adegan aksi yang berlebihan. X-Men: Apocalypse jelas jatuh kembali pada formula standar Hollywood, yang rasanya seakan tribute (dalam konotasi negatif) pada X-Men: The Last Stand (2016) yang sama-sama menjadi penutup trilogi.
USA | 2016 | Action / Superheroes | 144 mins | Scope Aspect Ratio 2.35 : 1
Rating?
7 dari 10
Scene During Credits? Tidak
Scene After Credits? Ya
Sejak dari awal peradaban, Apocalypse telah dipuja sebagai tuhan. Setelah ribuan tahun, kini Apocalypse bangkit kembali dan berniat "membersihkan" bumi untuk kembali menyembahnya. Dia pun merekrut empat anak buah yang akan membantunya menjalankan misinya; Angel, Storm, Psylocke, dan Magneto. Ketika bumi berada di ujung tanduk, Raven / Mystique dan Charles Xavier harus kembali memimpin para X-Men muda untuk menyelamatkan umat manusia.
Tidak ada yang belum pernah anda lihat ketika menonton film ketiga dan terakhir dari franchise X-Men yang menceritakan masa muda para mutan ini. Kehancuran massal dan musuh dengan kekuatan yang luar biasa, semuanya bukanlah hal baru dan tidak ada yang mengejutkan. Jika harus dibandingkan dengan First Class (2011) dan Days of Future Past (2014), maka jelas Apocalype justru menjadi yang paling lemah.
First Class karya Matthew Vaughn unggul karena menceritakan origin story serta lebih fokus pada perkembangan karakter Charles Xavier dan Erik Lehnserr. Days of Future Past karya Brian Singer pun unggul karena mempertemukan cast dari dua generasi X-Men serta ceritanya yang melibatkan perjalanan waktu. Namun bagaimana untuk melampaui dua prekuel tersebut? Apakah cukup dengan satu musuh besar dengan kekuatan yang maha dahsyat? Atau Apocalypse harus pasrah untuk jatuh dalam ucapan "the third one's always the worst"?
Karakter-karakter barunya memang sangat menarik. Penonton jelas akan dihibur oleh aksi Nightcrawler yang kali ini mendapatkan porsi yang lebih banyak ketimbang X2 (2003). Ditambah lagi aksi Quicksilver yang dikerjakan khusus untuk melampaui aksinya di DOFP (2014), yang kali ini (lagi-lagi) dibungkus dengan soundtrack Sweet Dreams (Are Made Of This) oleh Eurythmics. Kekuatan Apocalypse memang mengerikan, ditambah dengan suaranya yang berlipat seakan kerasukan setan a la Exorcism. Cyclops muda, Storm muda, serta Psylocke jelas mencuri perhatian.
Namun semua itu harus dibungkus dalam jalan cerita yang panjang, fokus cerita yang berpindah-pindah, plot holes, dan keputusan para karakter yang menimbulkan pertanyaan. Kalau sudah seperti ini, rasanya penulis naskah Simon Kinberg yang harus bertanggung jawab. Ada beberapa adegan yang terlihat tidak koheren dengan jalan cerita secara keseluruhan, atau terkesan dipaksakan. Yaaa kalau demi memunculkan cameo si "satu" itu di tengah film, mungkin hal ini bisa dimaafkan. Tapi dalam durasi 2 jam 24 menit rasanya terlalu panjang untuk melihat aksi para X-Men menumpas Apocalypse.
Kalau merujuk pada arsitek X-Men generasi muda ini, Simon Kinberg mengutarakan bahwa serial ketiga ini mempertemukan dua frenemy yang telah sama-sama matang untuk kemudian dihadapkan pada musuh yang lebih kuat. Ya, First Class (2011) memang difokuskan pada perkembangan karakter Erik Lehnserr dan bagaimana ia mendapatkan kekuatannya, kemudian DOFP (2014) yang lebih fokus pada pada perkembangan karakter Charles Xavier. Namun clash idelogi dan kekuatan dari dua karakter tersebut tampak tenggelam dengan fokus cerita yang silih berganti antara idealisme Raven / Mystique dan pengembangan karakter Apocalypse sendiri. Film ini pun kehilangan pondasi utamanya, dan membuat penonton cukup lelah untuk mengikuti setiap plot yang ada.
Sayang seribu sayang bahwa trilogi X-Men yang berdarah segar ini sejatinya memiliki potensi yang kuat. Dua prekuelnya fokus pada kondisi psikologis dan dilema idealisme yang sangat rasional dalam jalan cerita. Pendekatan ini jelas terbilang cukup segar diantara film-film manusia super lainnya yang hanya mengandalkan adegan-adegan aksi yang berlebihan. X-Men: Apocalypse jelas jatuh kembali pada formula standar Hollywood, yang rasanya seakan tribute (dalam konotasi negatif) pada X-Men: The Last Stand (2016) yang sama-sama menjadi penutup trilogi.
USA | 2016 | Action / Superheroes | 144 mins | Scope Aspect Ratio 2.35 : 1
Rating?
7 dari 10
Scene During Credits? Tidak
Scene After Credits? Ya
- sobekan tiket bioskop tanggal 18 May 2016 -
Komentar
Posting Komentar