Life of Pi
"Salah satu film adaptasi novel terbaik di tahun ini, yang mengisahkan seorang anak yang harus bertahan hidup di sebuah sekoci penyelamat bersama seekor harimau Bengala"
Manusia tidak pernah lepas dari cerita. Manusia bercerita mulai dari lukisan-lukisan berbahan baku alam ribuan tahun yang lalu, hingga dalam bentuk simbol huruf seperti saat ini. Berbagai hal dapat diceritakan oleh manusia, mulai dari hal kecil seperti hujan petir hingga hal besar seperti perang antar negara. Namun tantangan dari bercerita dari zaman ke zaman tetaplah sama; bagaimana membuat sebuah cerita itu menjadi menarik dan tetap diceritakan turun temurun lintas generasi. Di tahap ini, tampaknya manusia memiliki kecenderungan untuk menyukai cerita-cerita yang penuh dengan hal-hal spektakular dan dramatis, sehingga cerita tersebut lebih mudah diingat dan diceritakan kembali. Cerita tentang awan petir atau gunung meletus yang disangkut-pautkan dengan murka Sang Pencipta, cerita 300 serdadu yang menghalau serbuan dari ribuan musuh, hingga cerita seorang pertapa yang memberi khotbah kepada kawanan rusa. Ketika ilmu pengetahuan dan logika menemukan bahwa awan petir dan gunung meletus adalah hanya gejala alam dan tidak ada sangkut paut dengan entitas lain, cerita tersebut pun menjadi tidak menarik lagi, usang, kemudian mati. Namun ketika cerita pertapa tadi belum dapat dibuktikan kebenarannya, cerita tersebut masih menarik dan terus hidup selama ribuan tahun hingga saat ini.
Lalu sepenting apa untuk mengetahui kebenaran dari sebuah cerita yang terdengar terlalu spektakuler dan dramatis? Mungkin kenyataan yang terjadi memang tidak sespektakuler dan sedramatis yang diceritakan orang banyak, meskipun memiliki jalan cerita dan akhir yang sama. Lalu mengapa cerita versi spektakuler dan dramatis itu dibuat dan diceritakan? Apakah untuk menjaga agar cerita tersebut tetap menarik bagi mata dan telinga manusia sehingga tetap terus diceritakan turun temurun? Mungkin pertanyaan-pertanyaan ini yang hendak digambarkan lewat sebuah cerita yang ditulis oleh Yann Martel dalam novelnya, yang kemudian diangkat ke layar lebar oleh sutradara Ang Lee; Life of Pi.
Piscine Molitor Patel, yang biasa dipanggil Pi, adalah seorang anak yang tinggal di sebuah kebun binatang di Pondicherry, India. Masa kecil Pi dihabiskan untuk mengeksplorasi tentang spiritualitas. Dengan perjumpaannya dengan agama Hindu, Katolik, dan Islam, Pi menjalani ketiga agama itu sekaligus demi menemukan cara yang terbaik untuk menemukan dan mencintai Tuhan. Ketika keadaan politik dan ekonomi bergejolak, ayah Pi sebagai pemilik pun memutuskan untuk menjual kebun binatangnya dan membawa keluarganya beserta semua binatang ke Canada dengan sebuah kapal kargo. Namun badai menyerang kapal mereka dan kapal pun karam. Pi adalah satu-satunya orang yang selamat dan dia harus bertahan hidup di sebuah sekoci penyelamat dengan seekor zebra, orangutan, hyena, dan harimau Bengal bernama Richard Parker. Kisah bertahan hidup dari Pi di tengah lautan lepas tanpa ujung ini akan membuat Pi mempertanyakan kehadiran Tuhan, sekaligus mempercayai-Nya.
Jika anda membaca novelnya, maka tidak akan terbayangkan bagaimana jika novel ini diadaptasi menjadi sebuah film. Menempatkan binatang-binatang buas ke dalam satu sekoci penyelamat dengan seorang manusia, yang kemudian terapung di tengah lautan luas, dan sebagainya. Beruntung adaptasi film ini jatuh ke tangan sutradara visioner yang pernah memenangkan piala Oscar, Ang Lee. Dengan teknologi visual yang canggih, Mr. Lee tidak hanya mengadaptasikan kisah Pi tersebut ke dalam bentuk gambar, tetapi juga mempercantiknya dengan efek visual yang mengagumkan dan teknologi 3 dimensi yang sangat signifikan. Efek visual yang digunakan dalam film ini memang memiliki proporsi yang sangat besar, namun semua itu terlihat cukup meyakinkan. Ditambah dengan efek popping out dan depth menjadikan pengalaman visual mengagumkan untuk ditonton di layar lebar.
Dalam novelnya, jelas Mr. Martel ingin menyampaikan makna yang berlapis dan cukup dalam mengenai kisah Pi. Jika dibaca sepintas, kisah ini seakan sebuah kisah survival. Namun rasanya bukan itu yang ingin disampaikan, mengingat bagaimana twist yang ada di akhir novel. Menurut interpretasi saya, Mr. Martel ingin menyampaikan bahwa bagaimana kemasan cerita yang akan menentukan si pendengar akan percaya, ingat, dan cenderung meneruskan cerita tersebut ke orang lain. Cerita seperti apa yang akan membuat orang tertarik, ingat, dan meneruskan cerita tersebut? Di akhir cerita, pembaca diberikan dua macam karakter; karakter staf perusahaan kapal asal Jepang dan karakter si penulis. Kedua karakter ini memilih cara pandang yang berbeda terhadap cerita Pi dan Richard Parker. Kedua orang Jepang yang hendak mencari kebenaran dan logika tentang bagaimana kapal kargonya bisa karam kurang dapat menerima kisah Pi yang penuh dengan hal-hal spektakuler, dan memilih kisah Pi yang cukup realistis. Sementara karakter penulis lebih menyukai kisah Pi yang spektakuler, bersama binatang-binatang, pulau kanibal yang berisi ribuan meerkat, serangan ikan terbang, dan sebagainya. Akhir dari dua versi cerita itu sama; Pi selamat, dan prosesnya pun sama; sama-sama menderita dan kesulitan. Namun bagaimana cara pandang dalam menerima cerita itu yang berbeda; ada yang dengan kacamata logika dan ada yang dengan kacamata perasaan. Tentunya Mr. Martel cukup sopan dalam menyampaikan perbedaan cara pandang ini. Dia hanya memberikan gambaran kedua cara pandang ini dan bagaimana pengaruhnya dalam hidup, selanjutnya menyerahkan kepada pembaca mau memilih yang mana.
Ketika menerjemahkan sebuah novel sekaliber Life of Pi yang memenangkan penghargaan Man Booker Prize for Fiction, tugas penulis naskah yang bertugas mengadaptasi isi novel ke dalam bentuk skenario dan tugas sutradara menjadi sangat penting. David Magee dan Ang Lee bisa dibilang telah menghasilkan salah satu pekerjaan terbaik mereka. Alasan saya sederhana, mereka berdua tidak hanya dengan sukses membawa kisah Pi dan segala detil kecil yang ada di novel ke dalam layar, tetapi mereka juga berhasil membawa serta "juice" yang ada dalam novelnya. Mr. Magee dan Mr. Lee berhasil membawa serta rasa dan nyawa dari kisah Pi yang dirangkai dengan kata, menjadi sebuah untaian visual dengan narasi yang nyaris sempurna. Yes, cukup jarang film-film adaptasi novel yang berhasil membawa serta rasa atau "juice" yang ada dalam novelnya ke dalam film. Dalam film ini, Mr. Lee berhasil menyuguhkan kisah Pi akan pencariannya akan Tuhan lewat derita bertahan hidup di tengah lautan bersama seekor harimau Bengala.
Menarik untuk melihat bagaimana interpretasi Mr. Lee akan untaian kata Mr. Martel ketika mengisahkan Pi yang terombang-ambing di lautan. Dengan efek visual yang sangat indah, Mr. Lee memberikan gambaran interpretasinya tentang laut dan langit yang mengelilingi Pi di tengah lautan; permukaan air laut seakan-akan cermin bagi langit yang berada diatasnya. Atau ketika malam hari bagaimana binatang-binatang dasar laut yang menyala dalam gelap, seakan cermin bagi bintang-bintang yang ada di langit. Semua pemandangan yang ada ketika Pi berada di tengah laut, seakan-akan sebuah realitas alternatif yang ada pada dunia Pi. Bagi penonton yang melihatnya di layar, pemandangan alam itu seakan-akan sebuah mimpi, atau bahkan sebuah imajinasi tersendiri bagi Pi. Mungkin ini adalah simbolik yang hendak dibawa oleh Mr. Lee; bahwa mungkin saja orang-orang Jepang itu benar. Betul, mungkin saja zebra, hyena, orangutan, dan harimau Bengala adalah imajinasi dari Pi sebagai coping terhadap peristiwa "nyata" yang terjadi dalam sekoci itu (dimana ibunya dibunuh oleh koki, dan Pi harus membunuh koki itu, menjadikan Pi sebagai "Richard Parker"). Imajinasi itu yang kemudian dipertegas oleh Mr. Lee dalam keadaan alam disekitar Pi selama dia terapung-apung di lautan.
Setidaknya itu interpretasi saya.
Lalu bagaimana dengan interpretasi anda?
Nominated for Best Cinematography, Best Directing, Best Editing, Best Original Score, Best Original Song, Best Production Design, Best Sound Editing, Best Sound Mixing, Best Visual Effects, Best Adapted Screenplay, Best Picture, Academy Awards, 2013.
Won for Best Original Score, Nominated for Best Director, Best Picture - Drama, Golden Globe, 2013.
USA | 2012 | Drama / Adventure | 127 mins | Aspect Ratio 1.33 : 1
Rating?
10 dari 10
- sobekan tiket bioskop tertanggal 20 Desember 2012 -
Manusia tidak pernah lepas dari cerita. Manusia bercerita mulai dari lukisan-lukisan berbahan baku alam ribuan tahun yang lalu, hingga dalam bentuk simbol huruf seperti saat ini. Berbagai hal dapat diceritakan oleh manusia, mulai dari hal kecil seperti hujan petir hingga hal besar seperti perang antar negara. Namun tantangan dari bercerita dari zaman ke zaman tetaplah sama; bagaimana membuat sebuah cerita itu menjadi menarik dan tetap diceritakan turun temurun lintas generasi. Di tahap ini, tampaknya manusia memiliki kecenderungan untuk menyukai cerita-cerita yang penuh dengan hal-hal spektakular dan dramatis, sehingga cerita tersebut lebih mudah diingat dan diceritakan kembali. Cerita tentang awan petir atau gunung meletus yang disangkut-pautkan dengan murka Sang Pencipta, cerita 300 serdadu yang menghalau serbuan dari ribuan musuh, hingga cerita seorang pertapa yang memberi khotbah kepada kawanan rusa. Ketika ilmu pengetahuan dan logika menemukan bahwa awan petir dan gunung meletus adalah hanya gejala alam dan tidak ada sangkut paut dengan entitas lain, cerita tersebut pun menjadi tidak menarik lagi, usang, kemudian mati. Namun ketika cerita pertapa tadi belum dapat dibuktikan kebenarannya, cerita tersebut masih menarik dan terus hidup selama ribuan tahun hingga saat ini.
Lalu sepenting apa untuk mengetahui kebenaran dari sebuah cerita yang terdengar terlalu spektakuler dan dramatis? Mungkin kenyataan yang terjadi memang tidak sespektakuler dan sedramatis yang diceritakan orang banyak, meskipun memiliki jalan cerita dan akhir yang sama. Lalu mengapa cerita versi spektakuler dan dramatis itu dibuat dan diceritakan? Apakah untuk menjaga agar cerita tersebut tetap menarik bagi mata dan telinga manusia sehingga tetap terus diceritakan turun temurun? Mungkin pertanyaan-pertanyaan ini yang hendak digambarkan lewat sebuah cerita yang ditulis oleh Yann Martel dalam novelnya, yang kemudian diangkat ke layar lebar oleh sutradara Ang Lee; Life of Pi.
gambar diambil dari RottenTomatoes |
Jika anda membaca novelnya, maka tidak akan terbayangkan bagaimana jika novel ini diadaptasi menjadi sebuah film. Menempatkan binatang-binatang buas ke dalam satu sekoci penyelamat dengan seorang manusia, yang kemudian terapung di tengah lautan luas, dan sebagainya. Beruntung adaptasi film ini jatuh ke tangan sutradara visioner yang pernah memenangkan piala Oscar, Ang Lee. Dengan teknologi visual yang canggih, Mr. Lee tidak hanya mengadaptasikan kisah Pi tersebut ke dalam bentuk gambar, tetapi juga mempercantiknya dengan efek visual yang mengagumkan dan teknologi 3 dimensi yang sangat signifikan. Efek visual yang digunakan dalam film ini memang memiliki proporsi yang sangat besar, namun semua itu terlihat cukup meyakinkan. Ditambah dengan efek popping out dan depth menjadikan pengalaman visual mengagumkan untuk ditonton di layar lebar.
gambar diambil dari RottenTomatoes |
Ketika menerjemahkan sebuah novel sekaliber Life of Pi yang memenangkan penghargaan Man Booker Prize for Fiction, tugas penulis naskah yang bertugas mengadaptasi isi novel ke dalam bentuk skenario dan tugas sutradara menjadi sangat penting. David Magee dan Ang Lee bisa dibilang telah menghasilkan salah satu pekerjaan terbaik mereka. Alasan saya sederhana, mereka berdua tidak hanya dengan sukses membawa kisah Pi dan segala detil kecil yang ada di novel ke dalam layar, tetapi mereka juga berhasil membawa serta "juice" yang ada dalam novelnya. Mr. Magee dan Mr. Lee berhasil membawa serta rasa dan nyawa dari kisah Pi yang dirangkai dengan kata, menjadi sebuah untaian visual dengan narasi yang nyaris sempurna. Yes, cukup jarang film-film adaptasi novel yang berhasil membawa serta rasa atau "juice" yang ada dalam novelnya ke dalam film. Dalam film ini, Mr. Lee berhasil menyuguhkan kisah Pi akan pencariannya akan Tuhan lewat derita bertahan hidup di tengah lautan bersama seekor harimau Bengala.
Setidaknya itu interpretasi saya.
Lalu bagaimana dengan interpretasi anda?
Nominated for Best Cinematography, Best Directing, Best Editing, Best Original Score, Best Original Song, Best Production Design, Best Sound Editing, Best Sound Mixing, Best Visual Effects, Best Adapted Screenplay, Best Picture, Academy Awards, 2013.
Won for Best Original Score, Nominated for Best Director, Best Picture - Drama, Golden Globe, 2013.
USA | 2012 | Drama / Adventure | 127 mins | Aspect Ratio 1.33 : 1
Rating?
10 dari 10
- sobekan tiket bioskop tertanggal 20 Desember 2012 -
3D-nya super kan mo? gue masih kebayang yang ada orang berenang pas dicerita ttg bokapnya ke hotel2 di Eropa...
BalasHapus