Atambua 39 Derajat Celcius
Atambua, 13 tahun setelah referendum. Kalimat pembuka di awal film ini menjadi penegasan bahwa film ini akan mengambil latar yang bernuansa politik dan sejarah. Mengambil potret tiga orang warga pengungsi yang berada di kota Atambua, kota perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste, cara pandang mereka terhadap pengaruh peristiwa referendum tahun 1999 menjadikan film ini sebagai film dengan unsur sosio-kultural yang kuat tentang warga di pulau Timor. Ronaldo seorang supir truk, anaknya Joao yang menginjak usia remaja, dan seorang gadis Nikia yang kembali ke rumah asalnya dari Kupang. Interaksi ketiga karakter utama ini sedikit menggambarkan kehidupan para pengungsi, atau sebagian orang-orang yang kontra-referendum, terhadap kehidupannya sekarang dalam film terbaru arahan sutradara dan penulis Riri Riza, Atambua 39 Derajat Celcius.
Kehidupan Ronaldo dan Joao bisa dibilang jauh dari mencukupi. Pekerjaan Ronaldo sebagai supir truk kurang dapat memenuhi kebutuhan mereka berdua, apalagi setelah Ronaldo dipecat dari pekerjaannya karena terlalu sering minum dan mabuk-mabukan bahkan disaat sedang bekerja. Sementara Joao mengisi waktu luangnya dengan bergantian menjemur baterai-baterai kosongnya hanya untuk mengulang-ulang kaset rekaman suara ibunya yang meminta mereka berdua kembali ke kota Liquica, Timor Leste untuk bersatu kembali dengan ibu dan kedua kakak kandung Joao setelah terpisah selama 13 tahun.
Konflik dipicu oleh kedatangan Nikia dari Kupang untuk kembali ke Atambua dengan maksud menguburkan kakeknya yang meninggal. Pertemuan dengan sahabat masa kecilnya Joao pun tidak terhindarkan. Joao adalah remaja pendiam yang kaku, tidak tahu bagaimana mengungkapkan rasa ketertarikan terhadap lawan jenis. Ketika luapan perasaan Joao terlalu agresif, Nikia kabur untuk kembali ke Kupang. Joao yang tampak kehilangan arah dalam hidupnya pun bertindak impulsif, menyusul Nikia ke Kupang setelah membebaskan ayahnya dari penjara karena perkelahian di tempat bilyar. Ronaldo yang menyadari kehilangannya sepeninggalan Joao setelah mendengarkan kembali kaset rekaman dari istrinya, pun segera bertindak untuk menyelamatkan keutuhan keluarganya.
Film drama yang dihadirkan oleh duet Mira Lesmana - Riri Riza ini mungkin adalah salah satu film yang berani mengangkat peristiwa pasca-referendum yang berujung pada lepasnya Timor Leste dari NKRI. Namun Riri masih membawa ciri khasnya dengan mengambil sudut pandang dari tingkat individu dan interaksinya diantaranya. Riri ingin membawa penontonnya sedekat mungkin dengan pulau Timor, dengan menggunakan para aktor-aktris lokal yang mengawali debutnya di layar lebar. Selain itu, kebiasaan dan budaya masyarakat setempat - yang cukup dekat dengan Gereja Katolik - pun turut serta diangkat demi memberikan pandangan yang holistik mengenai kehidupan masyarakat di timur Indonesia ini. Kedekatan penonton dengan para karakter yang ada di layar ini tergambar lewat bahasa asli masyarakat setempat (Tetun dan Porto) yang konsisten digunakan sepanjang film, tentunya dengan teks terjemahan bahasa Indonesia.
Yang menarik adalah gaya tutur cerita yang dipilih oleh Riri. Narasi digulirkan lewat deretan bahasa-bahasa gambar yang indah dan artistik. Jalan cerita pun hanya digerakkan oleh untaian gerak dan tingkah laku dari para karakter-karakternya. Pikiran dan perasaan dari setiap karakter diungkapkan lewat bahasa tubuh dan ekspresi. Praktis dialog yang terungkap pun hanyalah luapan dan pernyataan baku dari emosi yang karakter tersebut rasakan. Gaya tutur cerita model ini memang bisa membuat penonton yang kurang terbiasa cenderung mudah bosan dan mengantuk. Namun gaya seperti ini justru mengundang partisipasi penonton untuk turut serta berinteraksi dengan para karakter kita di layar; mencoba memahami latar belakang dari setiap perilaku mereka, sekaligus memprediksi pilihan tingkah laku apa yang akan mereka ambil. Selain itu, Riri juga serta merta "memaksa" penonton untuk tetap memaku matanya pada layar hingga pada menit-menit akhirnya, dengan secara perlahan namun pasti membuka setiap jawaban atas kausalitas terhadap para karakter utama kita.
Walaupun latar belakang ide dalam film ini bangkit dari sebuah tragedi hitam di NKRI, Riri cukup berhati-hati dalam memasukkan unsur politik ke dalam film ini. Sudut pandang tentang referendum hanya diambil dari kacamata seorang Ronaldo, yang berideologi bahwa Timor Leste tidak akan maju jika terlepas dari Indonesia. Kesakit-hatian ini yang membuat Ronaldo membawa kabur Joao semasa kecil untuk menyeberang ke Indonesia dan terdampar di kota Atambua. Idealisme ini pun dibawa belasan tahun, sehingga memaksa Ronaldo - dan berpengaruh pada Joao - untuk tetap berpisah dari keluarganya. Tidak bermaksud membahas pro-kontra referendum tersebut dengan tidak menampilkan sudut pandang masyarakat yang pro-referendum, Riri mengarahkan filmnya kembali ke dasar dari interaksi antar-manusia; hubungan keluarga. Ketika seorang anak hanya menginginkan untuk kembali ke pelukan ibunya, idealisme pun harus dilawan dan dilunturkan. Ronaldo pun harus memilih salah satu diantara dua hal yang sangat berpengaruh dalam hidupnya; idealisme akan Indonesia, atau keluarga.
Indonesia | 2012 | Drama | 80 min | Aspect Ratio 1.85 : 1
Rating?
8 dari 10
- sobekan tiket bioskop tertanggal 11 November 2012 -
Komentar
Posting Komentar